Pohon beringin berdiri tegak diterangi lampu sorot di
tengah panggung. Kain poleng khas Bali yang terbentang pada sisi kiri dan kanan
pohon menggambarkan latar kejadian. Suasana yang gelap dan sepi menambah kesan
kelam. Tak berapa lama secercah cahaya memecah keheningan. Nampak seorang gadis
muncul di atas panggung meliukkan badan menarikan tarian janger.
Lakon dimulai dengan kemunculan Srengi, wanita tua yang
dulunya seorang penari janger. Terlihat Srengi memiliki trauma terhadap musik
dan tarian janger. Sebab dulunya Ia dipinta menarikan tarian tersebut di atas
pusara suaminya. Sang suami terbunuh karena dituduh simpatisan Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Terlihat Srengi tak mampu menyembunyikan ketakutannya.
Matanya terbelalak setiap Ia melihat berita tentang pembantaian simpatisan PKI.
Berita yang dapat membuka kembali luka lama yang Ia simpan rapat.
Jalanan di depan SDN 3
Batuagung menjadi saksi bisu para warga yang dibunuh karena dituduh antek PKI. Di
tempat itu menjadi persemayaman terakhir suami Srengi. Terlihat begitu banyak
kuburan yang tak berbentuk sebagaimana mestinya. Jangankan memiliki batu nisan
sebagai penanda, sekedar gundukan tanah pun tak ada. Kuburan itu hanya jalanan
beraspal. Melihat situasi itu, tokoh adat setempat menginisiasi pembongkaran
makam. Memindahkan mayat dan melakukan upacara penghormatan.
Tak berselang lama, muncul dua hantu tanpa kepala. Mereka
merasa resah akibat seseorang yang membunuhnya tak kunjung ditemukan. Sepasang
hantu tanpa kepala itu saling melempar guyonan sembari menanyakan mengapa
kepalanya hilang. Kehadiran sepasang hantu tanpa kepala itu pada awalnya
menghadirkan hawa mistis dan tegang, namun berubah menjadi penuh tawa sebab
tingkahnya yang menghibur. Kedua hantu tanpa kepala itu berharap inisiasi
pembongkaran pusara segera direalisasikan, sebab mereka ingin beristirahat
dengan tenang.
Pementasan ini ditutup dengan terselenggaranya
pembongkaran pusara dan ritual penyucian. Sekelompok orang berduyun-duyun
menyembah pohon beringin, ritual berlangsung dengan sakral.
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Syahid
menyelenggarakan pentas teater dengan tema “Janger Merah” yang berlokasi di
Aula Insan Cita, Ciputat pada Jumat (1/10). Lakon ini merupakan adaptasi dari
karya Ibed Surgana Yuga, seorang sutradara sekaligus penulis lakon pada
Kalanari Theater Movement. Pementasan ini berlatar di Dusun Masean, Desa
Batuagung, Jembrana, Bali. Pagelaran ini erat kaitannya dengan tragedi G30S PKI
atau gerakan 30 September yang menjadi mimpi buruk puluhan tahun silam.
Menurut Rusydi Jamil Fiqri Sutradara Janger Merah,
pihaknya ingin menyampaikan makna rekonsiliasi yang mendalam kepada penonton.
“Kita sepakat mau mengangkat tentang rekonsiliasi atau menjalin hubungan
kembali,” kata Rusydi, Jumat (1/10).
Rusydi juga menuturkan, pohon beringin sebagai latar
panggung tidak bisa dilihat hanya sebatas pohon saja. Karena pohon itu memiliki
makna lain seperti menjadi sesajen, penyucian dan lain-lain.
Menurut Nur Qoyimah Ketua Tim Produksi Janger Merah,
proses persiapan pagelaran tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang,
sekitar 4 bulan lamanya. “Sejak bulan mei sampai september ada proses bedah naskah,
pemilihan naskah, aktor, sutradara, produksi, fundraising,” ungkap Qoyi kepada
Institut, Jumat (1/10).
Ia melanjutkan bahwa pandemi menjadi salah satu hambatan
dalam proses penyelenggaraan pementasan ini, sebab segala sesuatunya jadi
terbatas. Sebelum pandemi, pementasan kita diapresiasi sekitar 100 sampai 200
orang per harinya, namun sekarang hanya 30 hingga 40 orang.
Sandi yang merupakan salah seorang penonton Janger Merah
menuturkan bahwa dirinya sangat menyukai pementasan teater lantaran darah seni
telah mengalir di dalam dirinya. Ia
menambahkan, adanya pementasan ini dapat menjadi ajang silaturahmi antar
pegiat seni yang lainnya, “Saya sendiri orang teater, nonton teater dijadikan
sebagai bahan referensi dan tolak ukur bagi diri sendiri,” tutur Sandi, Jumat
(1/10).
Haya Nadhira Zikri, Nadhifah Qotrunnada