Oleh:
Sekar Rahmadiana Ihsan*
Baru-baru ini, isu pelecehan seksual kembali menjadi
perbincangan publik. Hal tersebut dipicu oleh mencuatnya kasus perundungan dan
pelecehan seksual yang dialami MS, salah seorang karyawan Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI). Telah berlangsung selama 9 tahun, pelecehan tersebut dilakukan oleh
delapan orang yang juga merupakan karyawan di lingkungan kerja KPI. Selama itu
pula ia telah mengadukan apa yang ia alami pada beberapa pihak, namun tak
membuahkan hasil.
Kasus di atas akhirnya ditindaklanjuti oleh kepolisian
setelah menjadi perbincangan publik. MS melaporkan lima diantara pelaku. Namun,
pelaku malah berencana membuat laporan balik atas pelanggaran Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), karena MS menyebarkan identitasnya
pada publik.
Kasus lainnya dipicu oleh keluarnya Saipul Jamil
(SJ) dari penjara. SJ merupakan artis pelaku pelecehan seksual terhadap anak
dibawah umur tahun 2016 lalu. Tetapi ia malah disambut oleh para penggemar dan
keluarga dengan cara dikalungi bunga, lalu kemudian diarak menggunakan mobil
ferrari, sambil dielu-elukan namanya bak pahlawan. Penyambutan pada SJ ini dapat
disebut dengan istilah glorifikasi. Glorifikasi merupakan tindakan yang
melebih-lebihkan sesuatu sehingga terkesan istimewa.
Kedua kasus di atas merupakan pelepasan konteks
kritis atas kekerasan seksual yang pelaku lakukan. Hal tersebut dapat berakibat
pada keterbiasaan masyarakat apabila melihat tindak kasus pelecehan seksual. Jika
masyarakat terbiasa, pelaku tidak akan merasa malu dan bersalah apabila
melakukan pelecehan. Apabila terjadi, berarti tidak akan adanya sanksi sosial pada
pelaku yang malah menimbulkan normalisasi tindak pelecehan seksual.
Menurut Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas
Maret Monika Yuliarti dilansir dari Narasi.tv, hal buruk lain yang mungkin akan
terjadi adalah semakin takutnya korban pelecehan seksual untuk buka suara. Akan
timbul rasa takut apabila masalah yang korban alami diremehkan dan malah
menyingkap kehidupan pribadi korban.
Ade Iva Wicaksono, Dosen Fakultas Psikologi
Universitas Pancasila melalui akun Twitter-nya mengungkapkan, bahwa penerimaan
dan pemaafan pelaku pelecehan seksual hanya bisa dilakukan oleh korban, bukan
masyarakat. Jika pemaafan dan penerimaan bukan dilakukan oleh korban, sama saja
menekan korban agar tetap diam. Hal tersebut dapat menyebabkan lepasnys pelaku
dari tanggung jawab.
Melihat kasus di atas, sudah semestinya Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) disahkan. Hal ini untuk
memberikan sandaran hukum bagi korban pelecehan seksual. Tak kunjung
disahkannya RUU-PKS ini berakibat pada kesulitan dari pengacara dan pelapor
mencari pasal yang pas untuk menjerat pelaku. Seperti kasus pelecehan seksual
KPI di atas, laporan korban malah menjadi bumerang karena pelaku menjeratnya
dengan pelanggaran UU ITE.
Sebagai masyarakat, kita perlu untuk pintar dalam menilai suatu kasus. Jangan menormalisasi tindakan pelaku pelecehan seksual dengan menerima dan mendukung apa yang mereka lakukan untuk menghilangkan hak korban untuk merasa aman dan tenang. Sebagai pemilik suara terbanyak, masyarakat harus menyadari dan menyuarakan setiap kejanggalan yang ada. Karena kini banyak kasus terabaikan yang baru ditindaklanjuti apabila sudah menjadi perbincangan publik.
*Penulis merupakan mahasiswi
jurusan Jurnalistik Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta