Belum lama ini, pemerintah tengah serius menggarap Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Revisi tersebut menggemparkan banyak pihak, lantaran mengusung wacana Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Pelbagai elemen masyarakat pun menilai jika pasal itu akan membungkam kebebasan berpendapat. Terlebih lagi draf RKUHP tidak dapat diakses publik.
Wacana tersebut bukanlah hal baru. Pada 2015 periode
pertama Jokowi, pasal penghinaan pernah menjadi kicauan ramai di khalayak.
Percobaan menghidupkan kembali pasal tersebut ke dalam RKUHP, bakal berbeda
dengan yang pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006. Namun
pada 2019, pengesahannya tertunda di Rapat Paripurna DPR. Kini, pasal penghinaan naik lagi ke permukaan
dengan narasi yang sama.
Melihat huru-hara atas wacana itu, Institut menilai
isu tentang pasal penghinaan itu layak untuk dibahas lebih lanjut. Kepada
Wartawan Institut Syifa Nur Layla, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti,
Abdul Fickar Hadja, menyampaikan kekhawatirannya terhadap pasal penghinaan
hingga prediksinya jika pasal tersebut benar-benar disahkan. “Yang sudah
terjadi sekarang, kritik terhadap gagasan membuat para aktivis ditangkap,” ujar
Fickar pada Minggu malam, 20 Juni lalu.
Sebelumnya pasal itu telah dibatalkan oleh MK pada
2006 silam lantaran tafsirnya rentan dimanipulasi. Kini pasal itu kembali merdu
dengan perubahan menjadi delik aduan bukan delik biasa. Bagaimana komentar Anda
terkait hal itu?
Bagaimanapun bentuknya, baik delik aduan—pidana yang
dituntut jika ada pengaduan ataupun delik biasa—pidana yang dituntut tanpa
pengaduan, tetaplah delik. Artinya, tetap tergantung pada presiden dan wakil
presiden yang bersangkutan. MK justru mengkhawatirkan pasal tersebut menjadi
alat represif.
Keputusan MK bersifat final dan mengikat. Dan kini,
pasal itu masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2021. Bagaimana perspektif
hukum memandang hal itu?
MK membatalkan pasal itu bukan semata-mata terbatas
pada ketentuannya, tetapi dari segi substansi. Menurut Saya, bila substansi
kembali dihadirkan, tetap saja bertentangan dengan keputusan MK. Hal ini juga
nantinya berimbas pada kerentanan untuk digugat ulang.
Negara seperti Denmark, Islandia, serta Belgia masih
mempertahankan pasal penghinaan terhadap kepala negara atau raja, dengan
ancaman delik mencapai tiga sampai empat tahun. Apakah Indonesia perlu merujuk
kepada ketiga negara itu untuk penerapannya?
Tidak perlu repot-repot menerapkan pasal itu. Menurut
saya, rakyat Indonesia itu amat sopan santun. Kendati demikian, mereka acap
mengajukan keberatan hingga menghina presiden dan wakil presiden. Namun hal itu
dimaksudkan pada jabatan, bukan orangnya. Inilah yang menjadi bukti demokrasi
Indonesia berada pada tahap kedewasaaan.
Menurut Anda, adakah perbedaan antara pasal penghinaan
yang sudah dibatalkan MK, dengan pasal penghinaan yang baru di RKUHP?
Menurut Saya, tidak ada perbedaan sama sekali. RKUHP
yang digetolkan pemerintah itu, menyamakan jabatan presiden dan wakil presiden
dengan subjek atau pribadi yang menjabatnya. Selagi itu hujatan pada jabatan
presiden dan wakil presiden, bukan pada hal-hal pribadinya—misal mengatai
pesek, pincang dan lain-lain, maka itu sama sekali bukan bentuk kejahatan.
Bagaimana urgensi harkat dan martabat presiden dan
wakil presiden pada pasal tersebut?
Terdapat kekeliruan dalam mengidentifikasi jabatan
dengan pribadi. KUHP warisan Belanda alias kolonial itu, kepala negaranya
dipimpin oleh ratu. Impaknya, masa jabatannya menjadi seumur hidup monarki lantaran dilindungi dengan hadirnya pasal penghinaan.
Di Indonesia sendiri, kita sudah sepakat sebagai negara demokrasi—memilih
kepala negara dalam tempo lima tahun sekali. Sehingga Saya katakan, pasal
penghinaan tidak relevan. Lantaran yang dilindungi adalah subjek atau orang.
Apa yang membedakan kritik dengan hinaan?
Keberatan terhadap suatu gagasan hingga pelaksanaan
program, itulah kritik. Namun jika keberatan terhadap subjek atau orang, maka
pantas disebut penghinaan. Seperti pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
misalnya, terdapat gambar kerbau yang tertuliskan nama SBY pada sebuah kalung.
Itulah penghinaan.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Asfinawati mengusung jika pelbagai kasus penghinaan itu dimasukkan sebagai
perkara perdata. Tanggapan Anda?
Sangat cocok. Lantaran kerugian yang didapat itu
bersifat privat. Sehingga masuk ke ranah keperdataan bukan jabatan.
Banyak pihak yang khawatir akan multitafsir dalam
pasal tersebut. Bagaimana perspektif hukum untuk menghindari multitafsir dari
penerapan pasal itu?
Agar tidak ada multitafsir, lebih baik meniadakan
pasal penghinaan. Apabila presiden dan wakil presiden merasa tersinggung, bisa
menutut pelaku yang bersangkutan dengan pasal KUHP yang sudah ada: pasal 310
atau 311 tentang Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik.
Dalam KUHP ditengarai terdapat Pasal 315 ihwal
Penghinaan Ringan. Menurut Anda, apakah pasal itu sudah cukup untuk
merepretasikan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam RKHUP?
Sudah sangat cukup.
Bagaimana pandangan anda, soal penghinaan yang menjadi
delik pidana? Mulai dari Undang-Undang
(UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hingga RKUHP di era
Jokowi-Ma'ruf?
Pandangan Saya setali tiga uang —sama, dengan MK:
tidak perlu ada pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Lantaran
berpotensi digunakan sebagai alat pemukul oposisi, biarpun mengkritik presiden
dan wakil presiden—jabatannya.
Selanjutnya UU ITE Pasal 27 ayat 3 yang disebut-sebut
pasal karet, lantaran multitafsir sehingga dimanfaatkan oleh penguasa untuk
menggebuk oposisi. Kini, pasal tersebut digaungkan sedang proses koreksi.
Bagaimana prediksi Anda terhadap Jokowi-Ma'ruf jika
pasal tersebut sudah disahkan?
Mungkin Jokowi-Ma’ruf tidak sekejam yang diduga untuk
menuntut rakyatnya yang kritis. Namun keberatan pasal penghinaan ini bukan
jatuh kepada yang berjuanda—berkuasa,
tetapi watak kekuasaan yang cenderung berhasrat memukul mundur dan
memberangus oposisi. Oleh karena itu, hukum tidak dibenarkan sebagai alat
kekuasaan dan fasilitas kepada subjek. (Syifa Nur Layla: INS.021)
Tulisan telah dimuat dalam Majalah Institut Edisi ke-45