Indonesia merupakan negara yang begitu majemuk dan plural. Terkadang
kemajukan itu menciptakan gesekan sosial akibat cara pandang masalah keagamaan.
Moderasi beragama sudah menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN 2020-2024) yang artinya seluruh program kementerian dan lembaga akan
diisi penanaman moderasi beragama. Hal ini menimbulkan pro-kontra di kalangan
masyarakat, terlebih masyarakat yang mengidentifikasikan dirinya sebagai
penganut ekstrem kanan.
Moderasi beragama menjadi polemik ketika sebagian orang tidak
setuju dengan hal ini, dengan alasan bahwa moderasi agama sama saja menjauhkan
dari ajaran agama dan tidak menjalankan ketentuan agama secara kaffah. Ini merupakan suatu kekeliruan yang harus
diluruskan karena pada dasarnya semua agama sudah moderat. Tidak ada pembahasan
dan isu lagi mengenai hal itu. Setiap agama sudah sempurna dan semua agama
mengajarkan kebaikan, terutama agama Islam.
Saat ini yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita menjalani
hidup sebagai umat beragama, inilah yang menjadi pembeda. Contohnya setiap
agama mengajarkan saling menghargai, menghormati, membantu antar sesama dan
lain-lain. Ketika hal itu tersampai kepada masyarakat maka beragam bentuk ekspresi
yang masyarakat keluarkan untuk mengimplementasikan ajaran tersebut. Misalnya,
ada yang beranggapan mengucapkan natal adalah bagian dari menghargai teman atau
kerabatnya yang sedang merayakan. Namun ada pula yang lebih memilih untuk tidak
mengucapkan atau menyampaikan selamat kepada umat beragama lain yang sedang
merayakan hari rayanya, dengan keyakinan bahwa hal itu adalah bentuk
penghormatan terhadap agamanya sendiri. Mereka yang tidak sepemahaman dengan
kelompok ini, biasanya akan diberi labelling murtad atau bahkan kafir,
dengan dalih telah mencemari kemurnian tauhid.
Menurut Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama Indonesia tahun
2014-2019), istilah moderasi beragama harus dipahami bahwa yang dimoderasi bukan
agamanya, melainkan cara kita beragama. Hanya saja ketika agama membumi, lalu
hakikatnya menjadi sesuatu yang dipahami oleh manusia yang terbatas dan
relatif. Oleh karena itu, moderasi beragama menjadi bentuk upaya strategis untuk
menghindari penafsiran yang berlebihan dan paham keagamaan yang ekstrem. Agama
Islam tidak perlu dimoderasi lagi, melainkan cara pengamalannya yang senantiasa
harus dijaga pada koridornya yang moderat.
Untuk menjadi moderat, kita tidak boleh terlalu ke kiri atau ke
kanan. Pemerintah sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan moderasi beragama,
tidak sedikit masyarakat yang menganggap ada megaproyek di balik kampanye
moderasi beragama ini.
Dalam pandangan kalangan yang menolak beranggapan bahwa moderasi dan
modernisasi Islam pada akhirnya meninggalkan akar turats (peninggalan
intelektual) Islam, meninggalkan "rumah" lama dan membangun
"rumah" baru. Moderasi Islam juga dianggap bukan berbicara prinsip tawazun,
tawasuth dan tasamuh secara tepat, tetapi mengarah pada liberalisasi
pemikiran Islam. Modernisasi dan moderasi Islam, bagi mereka, hakikatnya adalah
sesuatu di luar Islam.
Kelompok ini juga mengecam banyaknya gerakan moderasi beragama yang
dibangun di perguruan-perguruan tinggi Islam. Menurut mereka program pemerintah
menghidupkan moderasi beragama di perguruan-perguruan tinggi Islam sama saja
menyiapkan generasi yang jauh dari ajaran Islam dan melahirkan generasi Islam
yang liberal. Berdasarkan survei United Nations Development Programme dan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, pengguna internet dari kalangan milenial cenderung
memiliki pandangan yang lebih intoleran dan radikal, dibandingkan mereka yang
tidak terlalu sering berselancar di media sosial. Survei ini membantah
anggapan-anggapan di atas. Pada kenyataannya, jauh lebih banyak pemuda atau
generasi muda Indonesia yang terancam terpapar paham radikal dan intoleran.
Menurut Oman Fathurahman, mantan Ketua Kelompok Kerja Moderasi Beragama
Kementerian Agama RI, moderasi beragama itu penting untuk Indonesia karena Indonesia adalah negara yang masyarakatnya
sangat religius sekaligus majemuk. Meskipun bukan negara berdasar agama
tertentu, masyarakat Indonesia sangat lekat dengan kehidupan beragama. Nyaris
tidak ada satu pun urusan sehari-hari yang tidak berkaitan dengan agama. Itu
mengapa, kemerdekaan beragama juga dijamin oleh konstitusi negara. Selanjutnya
yang menjadi tugas bersama adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara
kebebasan beragama itu dengan komitmen kebangsaan untuk menumbuhkan cinta tanah
air.
Pada akhirnya jangan sampai terjadi kekeliruan mengenai moderasi
beragama ini. Ingat yang dimoderasi itu adalah tata cara pengamalan agamanya,
bukan inti ajarannya. Tokoh pembaharu Mesir Muhammad Abduh pernah berkisah.
Suatu ketika, Abduh tengah berada di Paris. Ia berkata bahwa dirinya melihat
Islam di sana, padahal Paris bukanlah negeri Islam. Sedikit pula umat Islam
yang tinggal di sana. Yang dimaksud Abduh adalah keindahan, kedisplinan,
keramahan, dan kebaikan-kebaikan lainnya yang selama ini ia yakini bersumber
dari Islam hadir di Paris. Hal ini menunjukan bahwa Islam memang sudah sempurna
dari awal dan mampu hadir di manapun. sekalipun negeri itu tidak ada orang
Islamnya.
Untuk menerapkan moderasi beragama setidaknya diperlukan
pengetahuan, tidak selalu emosi dalam artian gantilah emosi keagamaan dengan
cinta, dan selalu berhati-hati dalam bersikap. Sedangkan seseorang bisa
dikatakan tidak moderat ketika ia mencederai nilai kemanusiaan, melanggar
kesepakatan bersama, dan melanggar hukum.