Kinerja KPK terbilang semakin tumpul
dari tahun ke tahun. Data yang dihimpun oleh ICW itu pun direspons oleh
beberapa pihak terkait keakuratannya.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi sorotan heboh masyarakat beberapa bulan
belakangan. Salah satunya hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) yang
menunjukkan, dalam periode 1 Januari hingga 31 Desember 2020, penindakan kasus korupsi
oleh KPK yang semula menargetkan 120 kasus, hanya berjalan 13 persen atau 15
kasus. Selanjutnya, pada kurun waktu 2015-2020, tren penindakan kasus korupsi
anjlok serta meroketnya nilai kerugian negara yang musababnya dari korupsi.
Menanggapi
hal tersebut, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, data dari
ICW itu salah lantaran data penindakan yang ada di KPK tidak masuk ke ICW. Kinerja
lembaga antirasuah itu, tutur Ali, telah melakukan 111 penyelidikan, 91
penyidikan, 75 tuntutan, 92 kekuatan hukuman tetap, dan 108 pelaksanaan
tuntutan.
Pengembalian
kerugian kepada negara bidang penindakan KPK, imbuh Ali, pada 2020 telah
berhasil diselamatkan Rp293,9 Miliar. Sedangkan potensi kerugian keuangan
negara dari bagian pencegahan KPK, berhasil mengembalikannya kepada negara
sebesar Rp592,4 Triliun.
Belum
lama ini, banyak beredar berita ihwal survei yang menunjukkan, kepercayaan
publik menciut terhadap KPK. Merespons hal itu, Ali bertutur, itu hanyalah
persepsi masyarakat. Walau begitu, hal tersebut ia lihat sebagai penyemangat untuk
KPK bekerja lebih baik. “Kami tidak alergi terhadap kritikan dan saran (dari
masyarakat).” ujarnya pada Kamis lalu (24/6).
Namun,
menurut Peneliti Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Muhammad Reza Baihaki, ICW
hanya melihat kinerja KPK secara parsial atau penindakan. Padahal, kinerja KPK
haruslah dilihat pula secara inparsial atau pencegahan dalam hal administrasi,
audit, serta pengembalian kerugian negara.
Dalam
kurun waktu 2009-2014, KPK hanya mampu menyelamatkan kerugian negara dengan
total Rp728,445 miliar. Sedangkan anggaran penindakan KPK yang terealisasi
Rp3,02 triliun. “Tidak adil, jika ICW hanya melihat data dari 2015. Cobalah
lihat data sedari 2002,” kata Reza pada Selasa (11/5).
Ketua
Umum Ruang Publik Politik UIN Jakarta, Muhammad Haekal Rafif menyayangkan hasil
kinerja tersebut. Lantaran revisi Undang-Undang (UU) KPK yang diklaim
merepresentasikan keroposnya KPK dalam meringkus kejahatan korupsi. Sehingga
menurutnya, tak ayal jika kinerja KPK 2020 itu mendapat predikat buruk. “Memudahkan
para koruptor untuk menghilangkan jejak serta banyak celah agar tidak diproses,”
ucapnya, Senin (17/5).
Hukuman para koruptor pun tak luput dari tatapan Haekal. Ia berpandangan, kalau hukuman koruptor terbilang rendah dan denda yang dikenakan masih secuil. Kendati para koruptor sudah diringkus, negara tetap mengalami kerugian. Namun untuk memiskinkan koruptor –misalnya tidak diberi akses membuat perusahaan, dan kartu ktedit agak sukar lantaran terbentur kebijakan. Padahal menurut Haekal, itu bisa membuat jera para koruptor.
Syifa Nur Layla & Irvan Fatchurrohman