Indeks terorisme Indonesia belakangan mengalami tren kemerosotan.
Merujuk pada hasil penelitian Global Terorism Index (GTI) yang dirilis oleh
Intitute for Economics and Peace pada tahun 2020,
Indonesia hanya mencatatkan
skor sebesar 4,629. Dengan
perolehan angka tersebut, Indonesia hanya mampu bertengger di peringkat ke-37 secara global dan keempat se-Asia Pasifik.
Penelitian
GTI berfokus pada analisis pelbagai wilayah terdampak terorisme dari 163 negara di dunia dan 19 negara di Asia
Pasifik. Di Indonesia
sendiri, aksi terorisme sempat mengejutkan pada awal 2021 lalu. Minggu
(28/3) pagi,
aksi bom bunuh diri terjadi di depan gerbang Gereja Katedral Makassar. Pelakunya: sepasang suami istri simpatisan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Selang
dua hari kemudian, aksi
penyerangan pun kembali berlanjut. Tak tanggung-tanggung, targetnya adalah Markas
Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Rabu petang (31/3). Adapun
pelakunya, seorang
gadis bernama Zakiah Aini yang diketahui
berafiliasi
dengan kelompok teroris Islamic State of Iraq and Syria
(ISIS).
Tersangkut Baiat
Belum
lama ini, isu terorisme juga
kembali
menyeret nama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sebulan belakangan. Kuasa Hukum bekas pentolan Front Pembela Islam
Muhammad Rizieq
Shihab, Munarman, dituding telah
terlibat dalam prosesi baiat ISIS di
Medan, Makassar, dan UIN
Jakarta. Munarman ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri
pada
Selasa sore (27/4) di kediamannya, di Pamulang, Tangerang Selatan.
Melansir dari berbagai sumber, saat
penangkapan, Densus 88 juga menyita sejumlah barang bukti, seperti buku-buku keagamaan,
gawai, bendara-bendera organisasi, hingga empat kaleng bubuk putih yang diduga biasa digunakan untuk meracik bahan
peledak. Penangkapan tersebut ditengarai karena keterlibatan
Munarman dalam baiat anggota ISIS di Gedung Syahida Inn, UIN Jakarta pada tahun 2014.
Prosesi baiat itu sendiri berhasil dikamuflase dengan
acara seminar. Sementara
untuk menyewa aula tersebut, pelaku melibatkan pihak dari luar Wisma Syahida
Inn.
Kala itu UIN Jakarta pun
mengaku kecolongan, mereka sama sekali tidak mengetahui rincian kegiatan
tersebut.
Wakil
Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Jakarta Arief Subhan, membenarkan kejadian pada 2014 itu, pada Rabu (28/4). Terkait perkara
tersebut, ia juga mengatakan
ISIS berada
di balik pembaiatan. Sehubungan dengan penangkapan Munarwan atas tuduhan keterlibatannya dengan ISIS,
Arief menerka penangkapan itu
ditengarai pembaiatan pada 2014 silam. Menurutnya, tidak ada satu pun kegiatan yang
diselenggarakan di
lingkungan kampus belakangan ini.
“Tidak ada satu pun kegiatan,” kata Arief.
Di Ujung Tanduk
Menurut Pengamat Intelijen dan
Terorisme Universitas Indonesia, Stalianus Riyandi, terorisme adalah musuh
nyata, tidak ada
seluk-beluk permainan intelijen ataupun fiktif dalam kasus terorisme. Dalam rentang
waktu 2000-2018, terdapat
sekitar 1.800 narapidana terorisme yang berhasil diamankan negara. Dari 2004 hingga Maret 2021, sebanyak
1.149 narapidana telah selesai
menjalani hukuman. Namun, 70 orang di antaranya kembali melakukan
terorisme usai dibebaskan,
"(Sudah jelas) Indonesia menganut asas sistem peradilan terbuka,"
kata Stalianus, Minggu malam (11/4).
Stalianus
mengungkapkan pula, dirinya sangat khawatir soal pencegahan dini terorisme di
Indonesia. Penindakan
terorisme,
menurutnya sudah sering
digencarkan,
tapi
tidak diiringi dengan
pencegahan. Karena itulah
duduk perkara terorisme masih menjamur di Indonesia. Keluarga, sahabat, dan masyarakat sekitar, kata Stalianus, merekalah yang paling dini mampu mendeteksi
perubahan perilaku seseorang yang terpapar terorisme, "Aparat pemerintah
tak mampu melakukan (pencegahan dini)," ucapnya kepada Institut.
Gawatnya
pencegahan terorisme di Indonesia yang menjadi sorotan Stalianus, bisa ditekan
dengan menggandeng anak
muda untuk meningkatkan jiwa nasionalisme. Selain itu, pemerintah harus membuat program pemberdayaan
keluarga serta masyarakat, terutama
yang berhubungan dengan paham-paham terorisme dan bagaimana
mekanisme pelaporannya kepada pihak-pihak terkait, "Perlu kolaborasi antar pemerintah dan
semua elemen masyarakat," tutur
mahasiswa doktor
kebijakan publik itu.
Mengutip Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019
tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Pelindungan terhadap Penyidik,
Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan, pencegahan tindak terorisme
dilakukan melalui kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan
deradikalisasi.
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme Indonesia, Irfan Idris mengatakan, program kesiapsiagaan nasional
baru diluncurkan. Sedangkan kontra radikalisasi dan deradikalisasi sudah
dilaksanakan sejak dulu, "Adanya regulasi tersebut, akan terlihat semua
(penyebab terorisme di Indonesia)," tulisnya via WhatsApp, Selasa (13/4).
Menyusuri
Kisah
Mantan Ketua Jemaah Islamiyah (JI), Nasir Abas, hanya
ingin menjadi mujahid yang turut dalam peperangan di Afganistan. Saat berusia
18 tahun, ia direkrut oleh Abu Bakar Baasyir. Kemudian dikirim ke Afghanistan
untuk pelatihan militer. Selama tiga tahun, ia mengaku lebih banyak belajar
agama ketimbang pelatihan militer. Upaya indoktrinisasi paham terorisme pun tak
tercium di sana. Namun siapa sangka, Nasir lantas tergabung dengan kelompok
teroris Negara Islam Indonesia (NII).
Baasyir menitip pesan kepada Nasir remaja, agar tetap
ingat tanah airnya Indonesia dan tidak gugur saat berperang di Afganistan.
Baasyir juga mengingatkannya supaya membawa pulang ilmu ke Indonesia, “Guna membangun
NII di Indonesia,“ ucap Nasir, ketika diwawancarai Institut via Zoom, Sabtu
(11/4).
Nasir menegaskan, para mujahidin tidak membunuh warga
sipil. Faktanya, kata dia, di Indonesia kelompok JI justru menyeleweng dari ideologi
nenek moyangnya, yakni Al-Qaeda. Mereka salah kaprah dalam memahami esensi
jihad dan syariat Islam. Padahal, JI tidak mengajarkan kekerasan karena
bertentangan dengan esensi tersebut. Hal itu sebatas pengakuan mereka atas
pemahaman jihad yang keliru, “Jihadnya (menjadi) abal-abal,”
ungkap Nasir.
Pada 2003, polisi menangkap Nasir atas dugaan
terorisme dan keterlibatannya dengan JI pasca rentetan aksi bom Bali 2002 dan
beberapa gereja di Jakarta. Saat hendak diberondong, enam polisi menodongnya
dengan pistol. Ia juga diserbu pelbagai pertanyaan. Dalam benaknya, ia merasa
lebih baik mati saat itu. "Saya lebih baik mati ketimbang ditangkap,” ujar
Nasir.
Tapi ternyata takdir berkata lain, polisi justru
menangkapnya hidup-hidup. Nasir mengaku tidak terlibat dalam perencanaan aksi
bom, tetapi malah ia yang tertangkap. Sebelum ditangkap, dirinya justru menentang
aksi bom yang menyasar tempat umum dan ibadah, karena itu Nasir memutuskan
untuk keluar dari lingkaran terorisme, “Bersama kepolisian, saya mengajak
(orang-orang terpapar terorisme) hal baik dan mencegah hal buruk,” ucap Nasir.
Nasir juga mengungkapkan bahwa terorisme dan
radikalisme akan lebih mudah mempengaruhi orang yang terkena frustasi, depresi,
dan anak broken home. “Merekalah sasarannya,”
katanya.
Penyintas tragedi Bom Kuningan 2004, Iwan Setiawan saat dihubungi Institut pada Selasa
(6/4), menceritakan ingatan kelam yang menimpanya. Saat itu, Iwan sedang
membonceng istrinya untuk memeriksa kandungan yang sudah berusia delapan bulan
menuju klinik di Manggarai, Jakarta Selatan. “Kalau cerita tentang ini, terasa
baru kemarin. Padahal sudah belasan tahun terjadi,” ungkapnya.
Saat berkendara di Jalan Rasuna Said, Kuningan, sebuah
bom meledak di depan Kedutaan Besar Australia. Ledakan bom tersebut, membuat
kaca gedung berhamburan mengenai Iwan dan istrinya. Bola mata sebelah kanannya
rusak karena kemasukan besi bara. Tanpa memikirkan kondisinya yang seperti itu,
Iwan sontak membawa istrinya ke rumah sakit terdekat. Nahas, ketika sampai di
rumah sakit, mereka justru tidak mendapatkan penanganan karena pihak rumah
sakit malah mempersoalkan urusan administrasi.
Iwan mengatakan, ia dan istrinya dapat ditangani
karena berlagak seperti orang kaya. “Saya di sini banyak saudara yang mapan dan
pejabat. Tangani dulu saja, dokter tidak usah khawatir,” kata Iwan kepada
dokter yang mempermasalahkan administrasinya. Setelah menjalani perawatan
khusus, Iwan dinyatakan mengalami kebutaan pada mata kanannya, dan istrinya meninggal dunia dua bulan kemudian.
Departemen Kesehatan hanya menanggung dua minggu
pengobatan tanggap darurat untuk Iwan dan istrinya. Mereka juga sama sekali
tidak mendapatkan penanganan dan bantuan lebih lanjut dari pemerintah, “Bantuan
berupa materil, psikis, dan medis tidak ada. Bahkan sampai penyembuhan total
pun tidak ada,” tutur Iwan. Sebab, saat itu belum ada lembaga yang menaungi
penyintas terorisme.
Kala itu, Iwan berusaha ikhlas dengan pengalaman pahit yang diterimanya. Ia berusaha memaafkan pelaku teroris yang membuat dirinya cacat, serta kehilangan istri tercintanya. Sangat berat, ucap Iwan, untuk bisa memaafkan, "Kekerasan jangan dibalas kekerasan,” pungkas Iwan. Dengan keikhlasan dan ketabahannya, ia pun dinobatkan menjadi Duta Perdamaian.
Agama
dan Budaya
Kepada
Institut, Direktur Center Study
Religion and Culture Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Irfan Abubakar mengatakan, agama itu ibarat dua mata pisau, ia bisa dipakai secara persuasif maupun koersif. Bagaimanapun dalihnya, Irfan berkata bahwa tujuan agama adalah satu: membentuk tatanan sosial yang adil dan damai. Tetapi, menurutnya ajaran yang termaktub dalam Al-Qur'an dan
Hadis harusnya tidak
serta merta dijadikan sebagai koersi atau paksaan, "Bukannya
menciptakan suasana aman, justru ketakutan," katanya pada Jumat sore
(9/4).
Menurut irfan, budaya juga
menjadi salah satu pemicu terorisme. Agama, kata Irfan, mengandung kebudayaan yang mengatur
perilaku serta tatanan nilai kehidupan sebuah masyarakat. Meski begitu, tidak semua budaya mengacu pada agama. Ekonomi,
pendidikan,
dan politik misalnya, sistemnya condong merujuk pada negara-negara maju. Irfan
menambahkan,
dunia telah banyak mengalami perubahan termasuk dalam hal kebudayaan, "Terorisme menginginkan
kebudayaan tadi, diwujudkan dengan sistem yang terdahulu (menyanggah
perubahan)," ujar dosen Bahasa
dan Sastra
Arab
itu.
Ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, Fachri Fachrezi berpendapat, agama menjadi instrumen yang tepat untuk menangkal budaya terorisme di Indonesia. Menurutunya kaum muda harus waspada dan lebih selektif dalam belajar, bergaul, serta menggali informasi, “Tidak ada satupun agama yang mengajarkan penganutnya untuk bertindak jahat serta membunuh,” tandasnya kepada Institut, Rabu (7/4).
Syifa Nur
Layla & Nur Hana Putri