Oleh : Firda Amalia Putri
Berbicara berkenaan dengan perempuan memang tidak ada habisnya. Selalu ada hal menarik perihal masalah perempuan. Salah satunya ialah peran media dalam memberitakan perempuan yang menjadikan perempuan sebagai objek untuk keperluan berita.
Media memiliki peran dalam membentuk
prespektif masyarakat. Dengan sajian berita yang cenderung mengkelaskan
perempuan di kelas bawah, mempengaruhi alam bawah sadar masyarakat bahwa yang
disajikan media tersebut adalah hal yang lumrah. Hingga akhirnya perempuan
dijadikan omzet oleh media dengan pemberitaan yang sangat memojokan dan
mengobjektifkan perempuan.
Dalam salah satu jurnal Citra
Perempuan dalam Media penulis mengatakan, media merupakan salah satu lembaga
yang memiliki kekuatan dalam menyebarluaskan pesan-pesan memengaruhi, merefleksi
budaya masyarakat, hingga menumbuhkan ideologi gender kepada masyarakat. Pemahaman bias gender
dalam masyarakat terbentuk salah satunya juga melalui media massa yang terus
menerus memproyeksikan peran-peran
gender secara stereotip.
Media massa menampilkan perempuan
dalam gambaran sebagai individu yang feminin yang secara tegas memiliki
perbedaan dengan sosok laki-laki maskulin. Dengan bingkai stereotip gender
tersebut media massa berperan turut memperkokoh nilai-nilai budaya patriarki
yang telah berlaku sesuai nilai-nilai masyarakat.
Salah satu tajuk pemberitaan yang
cukup kontroversial adalah judul berita pada laman rctiplus.com yang berbunyi Adu Seksi Celine Evangelista dan Georgina
Rodriguez Kenakan Dress Ketat, Menggoda Banget! Dalam pemberitaan tersebut
dituliskan bahwa Celine Evangelista dan Georgina Rodrigues seorang istri
dan ibu rumah tangga yang memiliki tubuh
aduhai nan seksi (15/03/2021). Jelas pemberitaan ini sama sekali
tidak bernilai kecuali hanya menjadikan perempuan sebagai komoditas untuk menghasilkan
berita-berita murahan. Lalu menjadikan perempuan sebagai korban dari pengobjekan
media.
Lain hal dengan berita yang diturunkan
oleh Kompas.com berjudul Ratna
Sarumpaet: Aku Mau Istirahat Saja Mengurus Cucu, Kapok. Dalam pemberitaan
ini seharusnya memberikan gambaran mengenai Ratna yang tersandung kasus
penyebaran berita bohong (21/06/2019). Alih-alih menyajikan berita sesuai
dengan kasus yang sedang berkembang Kompas justru membelokan pemberitaan yang
lebih terkesan pengaitan peranan perempuan dengan urusan domestik. Di mana
tempat terbaik perempuan adalah di rumah, berita ini juga menanamakan nilai patriarki yang mempertegas
bahwa publik bukanlah ranah perempuan, melainkan laki-laki.
Selain itu konotasi negatif yang
dibuat media untuk perempuan adalah julukan perempuan yang sudah menikah atau
memiliki anak atau perempuan ibu rumah tangga dengan julukan emak-emak. Dalam
pemberitaan mengenai emak-emak, media mengkontruksikan bahwa emak-emak adalah
sosok perempuan yang kurang intelektual. Namun ingin memiliki kedigdayaan di
atas laki-laki. Dalam hal ini media sangat gencar menjadikan diksi emak-emak
sebagai bahan berita candaan atau justru penghinaan kepada kaum mak.
Baru-baru ini media kembali
memframing perempuan dengan sangat bias gender. Julukan ''perawan'' kerap kali
dipakai oleh beberapa media untuk membungkus berita mengenai perempuan. Seperti
pada berita yang dikeluarkan Viva.co.id berjudul Profil Fatimah Calon Istri
UAS, Santri Asal Jombang yang Masih Perawan (26/04/2021). Bukannya
mencocokan dengan isi berita, Viva justru membuat judul yang sangat
mengkomersilkan perempuan hanya untuk menarik pembaca tanpa memikirkan orang
yang diberitakannya.
Media juga sangat suka menggunakan
kata ''perawan'' untuk jenis berita yang berkaitan dengan perempuan, entah apa
alasannya tetapi penggunaan kata ''perawan'' merupakan sebuah bentuk
objektivitas terhadap perempuan. Yang jadi pertanyaan adalah mengapa kata
''perjaka'' tidak banyak digunakan media dalam pemberitaan terhadap laki-laki.
Hal ini semakin membuktikan adanya ketimpangan gender terhadap pemberitaan
perempuan dalam media massa.
Mengutip salah satu jurnal yang menuliskan bahwa media massa memang bukan yang melahirkan ketidaksetaraan
gender melainkan memperkokoh, melestarikan,bahkan memperburuk segenap
ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat. Media melakukan framing
melalui pemilihan diksi, bahasa dan konstruksi berita disertai dengan bumbu
kata-kata yang bombastis serta kontradiktif (kejam, tega, stres, dan
lain-lain) sebagai pengingkaran.
Konstruksi perempuan yang bias oleh
media perlu dikoreksi karena media memiliki kekuatan untuk mengkonstruksi realitas
dalam masyarakat. Media perlu didorong menuju sensitif gender dengan cara
memfokuskan pemberitaannya dalam sisi-sisi humanis.