Selama pandemi dampak yang paling sering disorot adalah kesehatan dan perekonomian. Tak banyak yang menyadari bahwa meningkatnya kasus pernikahan anak juga menjadi salah satu dampak Covid-19. Berdasarkan data dari Badan Anak-anak PBB (UNICEF), 12 juta anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun setiap tahunnya dan diperkirakan meningkat selama pandemi.
Pernikahan anak
menjadi masalah yang tak pernah usai di negeri ini, terlebih selama pandemi Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19). Menurut Viva.co.id terdapat 9.453 kasus
pernikahan anak selama pandemi di Jawa Timur, sedangkan data lain yang dimuat
makassar.sindonews.com menunjukan 70 kasus baru mengenai pernikahan anak di Goa
pada Oktober 2020 silam.
Angka perkawinan anak di Indonesia menempati posisi tertinggi ke-7 di dunia dan tertinggi ke-2 di kawasan Asia Tenggara . Menurut koordinator anak Pusat Studi
Gender dan Anak (PSGA) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Diana Mutiah pernikahan dini tidak berdiri sendiri melainkan diiringi beberapa
faktor seperti kemiskinan, nilai budaya, globalisasi, dan lingkungan pergaulan.
Tak hanya kemerosotan ekonomi, peningkatan pernikahan dini pun kerap
menjadi dampak yang dirasakan selama pandemi Covid-19. Hal ini diakui oleh
Indah Furba selaku asisten konseler hukum Pusat Pelayanan Terpadu Pemerdayaan
Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang Selatan. ''Kami bisa pastikan di setiap
daerah selama pandemi ada,'' ujarnya ketika diwawancarai via Whatsapp Call,
Rabu (17/02).
Salah satu efek yang dirasakan anak-anak di Indonesia ketika Covid-19
melanda ialah ditiadakannya belajar tatap muka yang beralih menjadi belajar via
online. Menurut wakil dekan bidang kemahasiswaan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Ida Rosyida banyak orang tua di wilayah pedesaan yang beranggapan sekolah
melalui daring tidak efektif sehingga orang tua memilih anak mereka untuk
bekerja kemudian menikah.
Mantan ketua Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Jakarta ini juga menambahkan
penyebab lain dari pernikahan dini, yakni menguatnya follower gerakan
hijrah yang mempromosikan perkawinan anak. Selain itu, Ida Rosyida
mengungkapkan negara belum mampu menangani masalah ini dengan baik. ''Belum
semua jajaran kelembagaan negara mampu melakukan sosialisasi secara efektif
tentang pernikahan anak,'' ungkapnya, Minggu (14/02).
Dampak dari pernikahan dini menurut Diana Mutiah ialah terputusnya akses
pendidikan, menimbulkan stunting, kemiskinan baru, bahaya kesehatan reproduksi,
dan mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia. Oleh karena
itu, Diana mengatakan perlu adanya kesadaran masyarakat mengenai bahaya yang
ditimbulkan oleh pernikahan dini.
Dosen Fakultas Psikologi ini juga menambahkan bahwa aspek kognisi atau
pola pikir masyarakat yang dipercayai secara turun temurun mengenai anak itu
beban merupakan suatu kekeliruan. ''Kalau anak-anak dikawinkan apakah mereka
bisa terlepas dari kemiskinan? Bagaimana dengan aspek kesehatan dan
kesejahteraannya?'' Tutur Diana, Selasa (16/02).
Dalam segi hukum, pernikahan dini atau pernikahan di bawah umur 18 tahun
tidak dibenarkan. Hal ini dinyatakan Indah Furba dengan memaparkan UU no 17
tahun 2016 tentang perlindungan anak. ''Dalam undang-undang tersebut jelas
dikatakan anak yang usianya di bawah 18 tahun tidak boleh ada paksaan apapun
termasuk dengan pemaksaan perkawinan,'' ujarnya.
Anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Anggrek ini juga menambahkan dalam
kasus pernikahan dini sering terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
pada pasangan yang menikah di usia dini. ''Bantuan yang bisa LBH Anggrek lakukan
adalah mediasi orang tuanya dan memberikan pemahaman karena bisa jadi mereka
tidak tahu bahwa hal itu melanggar hukum,'' ungkap Indah Furba.
Sementara itu, salah satu mahasiswi UIN Jakarta Vira –bukan nama
sebenarnya– mengatakan dirinya memang meniatkan diri untuk menikah muda karena
pernikahan merupakan suatu ibadah. Menurut Vira, mereka tak perlu khawatir untuk
urusan ekonomi karena rezeki bisa datang dari mana saja. Ia memutuskan untuk tidak
melanjutkan perkuliahannya karena tengah mengandung anak pertama yang berusia
enam minggu. ''Aku harus fokus ke anak karena anak butuh banget bimbingan orang
tuanya,'' tuturnya, Sabtu (13/02).
Pernikahan dini juga dilakukan oleh mahasiswi UIN Jakarta lainnya Dita –bukan nama sebenarnya– yang memutuskan untuk menikah di usia 19 tahun. Menurut keterangannya, Dita mengaku sudah memikirkan untuk menikah muda sejak di bangku SMK. ''Aku sudah niat gak mau pacaran lama-lama takut juga digosipin yang engga-engga,'' jelasnya, Sabtu (13/02). Dita juga mengatakan tidak ada paksaan dari keluarga untuk menikah. Sama halnya dengan Vira, Dita juga memutuskan berhenti kuliah karena kendala biaya.
Firda Amalia