Mengacu
pada Global Food Security Index (GFSI) 2020 yang beberapa hari lalu
dirilis, Indonesia menduduki peringkat ke-65 dari 113 negera perihal ketahanan
pangan secara komprehensif. Ada tiga kategori dalam penilaian GFSI. Kategori
ketersediaan, Indonesia di peringkat 34. Kategori keterjangkauan, Indonesia
berada pada urutan 55 namun anjlok pada kategori Sumber Daya Alam (SDA) dan
ketahanannya di posisi 109.
Dalam
hal ini, era pemerintahan Jokowi kembali menggaungkan program Food Estate
guna mendorong ketahanan pangan nasional, terlebih di masa pandemi. Jokowi lantas
memilih Sumatra Utara dan Kalimantan Tengah untuk membangun kerajaan Food
Estate-nya.
Melansir
dari wartaekonomi.co.id, Ahli Pangan Sujarwo menerangkan, Food Estate
condong menyinergikan tanaman pangan, perkebunan, peternakan serta hortikultura
di lahan yang tersedia. Food Estate patut berasas pada partisipatif
petani, keberlanjutan dan tujuan kesejahteraan pangan nasional.
Sayangnya
di Indonesia, pelaksanaan Food Estate ini, acap kali gagal.
Seperti pada era Soeharto (1996) dan Susilo Bambang Yudhoyono (2011 dan 2013).
Selain itu, para aktivis lingkungan pun menilai kalau Food Estate
berpotensi menghempas hutan secara besar-besaran. Lalu Food Estate juga
dituding belum mampu menjawab persoalan angka malnutrisi yang tinggi di
Indonesia.
Berhubungan
dengan peristiwa tersebut, Institut berhasil mewawancarai Bayu Krisnamurthi,
Selasa petang (9/3). Ia merupakan Ketua Asosiasi Agribisnis Indonesia 2019-2023
sekaligus pernah menduduki kursi Wakil Menteri Perdagangan 2011-2014. Berikut
pertanyaan dan pernyataannya:
1. Bagaimana solusi agar Indonesia dapat meningkatkan indikator ketiga dari ketahanan pangan, yakni SDA dan ketahanannya?
Iklim yang berubah dan cenderung kian ekstrim adalah musuh nyata. Indonesia perlu melakukan adaptasi dan mitigasi, termasuk di bidang pertanian dan produksi pangan. Banyak teknik pertanian konvensional yang sudah tidak memadai lagi. Sebagai penggantinya, pertanian harus menggunakan teknik yang lebih modern.
2. Dalam sejarah pelaksanaan program Food Estate di Indonesia, terus mengalami kegagalan. Bagaimana cara agar pemerintahan yang sekarang tidak jatuh ke lubang yang sama?
Pelajari apa penyebab kegagalan masa lalu dan usahakan untuk diantisipasi dan atau dihindari. Misalnya persoalan iklim, pertanian yang masih memberlakukan teknik konvensional harus di modernisasi. Dengan cara itu, Food Estate tak menjadi pupus.
3. Aktivis lingkungan mengatakan Food Estate cenderung merusak lingkungan. Sebenarnya Food Estate itu bagus atau tidak untuk diterapkan?
Bagus atau tidak tergantung pada bagaimana rancangannya, bagaimana rencana kerjanya, dan bagaimana implementasinya. Food Etate tentunya memiliki batasan. Yakni membuka hutan adalah salah satu kemungkinan, lalu memanfaatkan lahan terlantar atau semak belukar adalah kemungkinan lain. Perlu dilihat secara lebih seksama.
4. Ada artikel yang mengatakan, Food Estate tidak menjawab persoalan angka malnutrisi yang tinggi di Indonesia. Bagaimana tanggapan Anda?
Perlu diketahui, Food Estate adalah production approach (pendekatan produksi), bukan langsung ke konsumsi. Artinya, Food Estate itu berfokus pada bagaimana menciptakan nilai tambah pada lahan produksi. Adapun nilai tambah yang dimaksudkan, ialah selisih nilai produksi dengan nilai biaya bahan baku dan bahan penolong. Maka dari itu, Food Estate berpusat pada menaikkan jumlah cadangan pangan nasional.
5. Bagaimana penilaian Anda terhadap ketahanan pangan dan pelaksanaan Food Estate di Indonesia?
Food Estate yang sudah diterapkan luas lahannya kurang lebih 150 ribu hektar. Sedangkan luas lahan sawah yang sudah ada di Indonesia sekitar 7,5 juta hektar. Lantas dapat Saya katakan, baru sekitar 2% saja penerapan Food Estate.
6. Selain Food Estate, sebenarnya adakah cara lain yang bisa dilakukan guna meningkatkan ketahanan pangan nasional?
Food Estate bukanlah satu-satunya cara. Ada banyak cara lain seperti memberdayakan petani, investasikan pertanian yang lebih besar dan produktif, tingkatkan produktivitas, kembangkan integrasi hulu hilir lebih kuat. Semua hal tersebut, masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
Syifa Nur Layla