Memperingati perayaan Hari Bahasa Ibu
Internasional pada 21 Februari lalu, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, E Aminudin Aziz kembali
mengingatkan masyarakat akan pentingnya melestarikan bahasa ibu. Bahasa ibu,
menurutnya, berbeda dengan bahasa daerah. Sebab, kedua hal itu sering
disamaartikan oleh orang awam.
Aminudin berkata, bahasa ibu adalah
bahasa pertama yang diperoleh manusia ketika berinteraksi dalam lingkungan
keluarga. Sedangkan bahasa daerah lebih dinisbatkan kepada bahasa-bahasa yang
digunakan oleh kelompok masyarakat atau suku bangsa tertentu, yang secara
sosiologis berhubungan.
Lebih lanjut, ia menambahkan, bahasa
daerah bukanlah penanda keberadaan dan batas sebuah wilayah. Menurutnya, bahasa
daerah lebih mengacu kepada keterikatan dan kesatuan budaya dari para penuturnya.
“Melalui bahasa ibu, manusia diasah rasa, emosi, nalar, logika, dan etikanya
sebagai dasar untuk perkembangan mereka berikutnya,” jelas Aminudin, Rabu
(24/2).
Survei Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa menunjukkan, ada 718 bahasa daerah yang tersebar di seluruh
Indonesia. Dari jumlah tersebut, hampir 90 persen tersebar di wilayah timur
Indonesia—428 di Papua, 80 di Maluku, 72 di Nusa Tenggara Timur, dan 62 di
Sulawesi. Dari hasil survei tersebut, delapan bahasa dikategorikan punah, lima
bahasa kritis, 24 bahasa terancam punah, 12 bahasa mengalami kemunduran, 24
bahasa dalam kondisi rentan, dan 21 bahasa berstatus aman.
Menanggapi hal itu, Pakar Bahasa dan
Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Hindun mengatakan,
banyak faktor yang menyebabkan bahasa bisa punah. Bencana alam, kata dia,
adalah salah satu penyebab kepunahan suatu bahasa. Hindun menambahkan, faktor kemajuan
zaman dan perpindahan geografis manusia juga membuat bahasa ibu sang penutur
semakin terkikis. “Manusia adalah user (penutur bahasa ibu), ketika user-nya hilang dari muka bumi maka
bahasanya pun hilang,” jelas Hindun, Senin (22/2).
Seperti yang dirasakan Mahasiswi Ilmu
Politik UIN Jakarta, Lala Kamila Latip. Sejak mengenyam pendidikan di sekolah
menengah hingga merantau ke Ibu Kota, Lala merasa kemampuan berbahasa ibunya
mengalami penurunan, karena kurangnya intensitas berkomunikasi dalam bahasa ibu
selain kepada keluarga di rumah. “Sudah makin berkurang, karena enggak ada
lawan bicaranya,” keluh Lala, Rabu (24/2).
Sementara itu, Mahasiswa Sastra Arab
UIN Jakarta, Thifal, justru menyoroti sistem pendidikan di Indonesia yang
mengharuskan siswa belajar bahasa Indonesia lebih dalam daripada bahasa ibu.
Mahasiswa kelahiran Palembang ini menilai, bahasa ibu harusnya tetap
dipelajari. “Bangku pendidikan yang menggunakan bahasa formal mengharuskan kita
mempelajari bahasa Indonesia lebih dalam daripada bahasa ibu,” ujar Thifal
mahasiswa Sastra Arab UIN Jakarta, Rabu (24/2).
Thifal juga mengajak masyarakat untuk melestarikan bahasa ibu. Ia juga berbagi tips supaya masyarakat lebih cinta kepada bahasa ibunya. Pertama, kata dia, seseorang harus merasa bangga dengan bahasa ibunya. Kedua, mendengarkan lagu-lagu berbahasa ibu, kemudian berkomunikasi dengan keluarga menggunakan bahasa ibu. “Komunikasi dengan keluarga menggunakan bahasa ibu,” ajak Thifal.
Anggita Raissa Amini, Firda Rahma