Beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) merupakan program bantuan pemerintah kepada calon mahasiswa yang memiliki
keterbatasan ekonomi. Sebelumnya, beasiswa ini dikenal dengan nama Bewasiswa Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi
(Bidikmisi). Pada dasarnya, KIP-K sama dengan Bidikmisi, hanya saja secara
prosedural terdapat perbedaan.
Syarat utama Bidikmisi adalah Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dan penghasilan orang tua yang di bawah standar Upah Minimum
Regional (UMR). Sedangkan itu, KIP-K diutamakan bagi mahasiswa baru (maba) yang sebelumnya sudah memiliki KIP yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Selain KIP, maba juga bisa menggunakan Kartu Keluarga Sejahtera. “Umumnya, Peserta KIP-K sudah punya sejak dari bangku sekolah atau mereka minta ke dinas
pendidikan,” tutur Kepala Bagian Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta Ikhwan, Rabu (30/12/2020). Ia pun menambahkan, ada pula persyaratan tambahan yaitu terkena dampak pandemi Covid-19.
Ikhwan mengatakan, pihak kemahasiswaan memprioritaskan bagi maba yang mempunyai KIP sejak sekolah. Namun karena ada
kuota penerima yang masih kosong, akhirnya ia memperbolehkan beberapa maba yang hanya menggunakan SKTM. “Pada dasarnya, SKTM tidak dipersyaratkan. Syarat SKTM khusus untuk mahasiswa yang Uang Kuliah
Tunggalnya golongan 1 sampai 3,” imbuh Ikhwan.
Dalam prosesnya, setiap institusi memiliki
prosedur tersendiri. Akan tetapi, kerap kali
kebijakan yang diberikan pihak kemahasiswaan memperumit para penerima KIP-K, termasuk di UIN Jakarta. Salah seorang penerima KIP-K 2020 Wahyudi turut mengeluhkan hal tersebut. “Pemberkasan KIP-K bertele-tele, seperti pemberkasan yang tidak disatukan sekalian,” ujar Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir tersebut, Selasa (29/12/2020).
Hal itu juga dinyatakan oleh Mahasiswi Pendidikan Agama Islam Sumiati. Menurutnya, pihak kemahasiswaan kurang begitu jelas dalam
memberikan informasi mengenai beasiswa ini. “Tidak jarang memberikan Informasi setengah-setengah,” imbuhnya, Kamis (31/12/2020). Ia pun menambahkan,
pengiriman berkas dilakukan melalui jasa pos agar mahasiswa tak perlu datang
langsung ke kampus. Namun pada prakteknya, intruksi pihak
kemahasiswaan tak begitu jelas, sehingga sempat terjadi pengiriman ulang
berkas. “Sering terjadi miskomunikasi,” ungkap Sumiati.
Selain melalui pos, pihak kemahasiswaan juga memerintahkan untuk mengirim
hasil scan berkas melalui e-mail kemahasiswaan. Pengiriman berkas
ini sangat membantu bagi peserta yang berasal dari luar Pulau Jawa, terutama saat terjadi kesalahan dalam
pemberkasan. “Jadi tidak perlu mengirim
pos dua kali,” ucap Ibnu Nur Rahman, Mahasiswa Sejarah dan
Peradaban Islam yang tinggal di Sumatera Barat, Kamis (31/12/2020).
Selain prosedur pemberkasan, sempat pula terjadi miskoordinasi internal antara pengelola dan penerima KIP-K. Diketahui, salah seorang Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora tiba-tiba menerima uang KIP-K yang masuk ke rekeningnya. Uang sebesar Rp6.600.000 itu pun harus dikembalikan ke pihak kemahasiswaan. Saat Institut hubungi, mahasiswa tersebut tak berkenan memberi keterangan. Menurut Ketua Forum Mahasiswa Bidikmisi UIN Jakarta, masalah tersebut telah selesai dan tak ada pihak yang dirugikan.
AAR, MZ, MR