Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak
dilaksanakan pada Rabu (9/12) lalu. Penyelenggaraan Pilkada sempat menjadi pro kontra
karena diperkirakan dapat membuat angka positif Corona Virus Disease 2019
(Covid-19) melunjak. Namun demikian,
Pilkada akhirnya tetap berjalan di beberapa daerah yang telah ditetapkan,
termasuk Kota Tangerang Selatan.
Pemerintah Kota Tangerang
Selatan tetap melaksanakan Pilkada dengan segala keterbatasan akibat Covid-19. Guna menyiasatinya, pemerintah menganjurkan agar warga yang ikut memilih untuk tetap
mengikuti protokol kesehatan. Sebelum masuk Tempat Pemungutan Suara (TPS), warga yang akan memilih harus mencuci tangan dan dicek suhu tubuhnya. Area TPS pun tak boleh terlalu padat. Bangku-bangku yang berjarak disemprot disenfektan secara berkala.
Panitia Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara
(KPPS) tentu harus menaati aturan tersebut di setiap TPS, tak terkecuali TPS 62, Kelurahan Rawabuntu, Kecamatan
Serpong, Tangerang Selatan. Para panitia dan pemilih yang hadir menjaga jarak, menggunakan masker, bahkan juga face shield. Usai memilih, jika biasanya pemilih menyelupkan
jari mereka ke dalam wadah tinta, kini tinta tersebut diteteskan ke jari mereka
menggunakan pipet.
Salah seorang Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta Angga Surya turut membagikan pengalamannya ketika
menjadi relawat hitung cepat di TPS 62 Serpong. Ia membenarkan, setiap beberapa menit atau
beberapa jam sekali akan ada petugas
yang menyemprotkan disinfektan di sekitar TPS untuk meminimalisasir terjadinya kontaminasi virus. Masker dan sarung tangan pun disediakan. “Ada dua jenis sarung
tangan, pemilih dapat memilih ingin menggunakan sarung tangan plastik atau
lateks,” imbuh Angga, Kamis (10/12).
Meski telah mengupayakan berbagai
rangkaian protokol kesehatan, nyatanya cukup banyak pemilih yang tak hadir ke TPS 62 untuk menggunakan hak suaranya. Angga menjelaskan, pemilih yang hadir hanya sekitar 60 hingga 70 persen dari total keseluruhan. Suara warga yang masuk ada
sekitar 210 dari 370.
Bergeser ke TPS lain, masih banyak masyarakat yang tampak antusias dalam Pilkada kali ini walau berada di tengah Covid-19. Kendati demikian, Aulia—salah seorang Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunkasi—mengungkapkan rasa kecewa
terhadap Panitia KPPS di lingkungan RT 08, Pamulang
Timur. Banyak warga yang menonton penghitungan suara cepat sampai menimbulkan kerumunan. “Sayang sekali, panitia kurang tegas. Bahkan, warga yang berkerumun juga melepas masker,” ujar Aulia, Rabu (9/12).
Demi mengurangi kontak fisik
antara panitia dan pemilih, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kini menerapkan sistem baru dengan media elektronik secara online,
yaitu Sipangsi dan Sirekap. Sipangsi merupakan situs web yang dibuat untuk mempermudah KPPS mengisi daftar pemilih akan mencoblos. Sipangsi juga memudahkan dalam menghitung jumlah pemilih.
Seperti yang diungkapkan oleh
Mahasiswa UIN Jakarta Cut Raudhatul Zahbi yang menjadi Panitia KPPS di TPS 31 Ciputat, terdapat barcode dalam undangan yang
panitia sebar kepada pemilih. Jika telah mencoblos, barcode tersebut
akan dipindai menggunakan Sipangsi hingga nama pemilih akan muncul pada situs
web tersebut. “Kalau Sirekap, itu aplikasi yang digunakan untuk menghitung hasil suara, rekapitulasi
dari hasil perhitungan suara, dan juga mencantumkan foto hasil suara,” ujar Cut, Kamis (10/12).
Pilkada Kala Pandemi Menurut Pengamat
Menurut salah seorang Pengamat Politik UIN Jakarta Ali Irfani, penurunan angka partisipasi
pemilih Pilkada 2020 tak hanya disebabkan Covid-19 melainkan karena faktor-faktor lain. “Seperti hujan saat pelaksanaan, suasana Pilkada yang kurang menarik, pemilih yang merasa partisipasinya tak penting,” kata Ali, Kamis (10/12). Walau sebelumnya ada kontravensi tentang Pilkada yang akan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19, Ali berkata bahwa hal tersebut tidak perlu terlalu dikhawatirkan.
Selain angka partisipasi
pemilih yang menurun, permasalahan lain ialah kondisi Indonesia yang sedang mengalami resesi ekonomi. Aktivitas produksi dan
konsumsi masyarakat menjadi melambat, termasuk tingkat pengangguran yang
meningkat. Beberapa pihak khawatir situasi pandemi akan meningkatkan politik dalam Pilkada tahun ini. Masyarakat yang ikut memilih bukan untuk
memenuhi hak politiknya melainkan untuk kebutuhan ekonomi sesaat.
Politik uang bukanlah fenomena baru. Bahkan pada situasi normal pun, politik uang tak bisa dihindari. Hal
tersebut dapat mengancam kualitas hasil Pilkada. Oleh karena itu, aparat hukum harus tegas dan
konsisten agar politik uang dapat dicegah. “Beberapa hasil survei juga menunjukkan, masyarakat yang semakin permisif
terhadap politik uang, termasuk di Tangerang
Selatan. Bahkan, terdapat beberapa daerah yang tingkat permisif politik uangnya mencapai 80 hingga 90 persen,” imbuh Ali.