Pandemi melumpuhkan berbagai sektor, salah satunya pariwisata—termasuk
para penangan seni. Pameran dalam jaringan menjadi alternatif mereka untuk tetap
menyajikan karya dalam satu genggam gawai.
Saat mengunjungi laman galnasonline.id, pengunjung akan disambut latar
abstrak dan tulisan besar “Jelajahi Pameran Daring”. Tinggal menggulir ke
bawah, poster pameran tersebut akan muncul beserta beberapa detail lainnya.
MANIFESTO VII “PANDEMI” 8 Agustus 2020—6 Desember 2020, begitu katanya. Tombol “Kunjungi Pameran” yang menonjol
cukup menjadi petunjuk untuk pengujung meneruskan penelusuran mereka.
Ketika masuk ke menu “Jelajah Karya”, laman
akan menyuguhi beberapa usulan keluku dari karya yang tersedia. Pihak penyelenggara—Galeri Nasional Indonesia—tak menggunakan paginasi untuk memuat keluku-keluku tersebut, semuanya berada dalam
satu halaman. Namun, satu layar gawai tentu tak bisa menampakkannya secara keseluruhan sehingga pengunjung dapat menggeser layar dan memilih karya yang ingin mereka lihat. Halaman pun dapat menampilkan usulan keluku yang berbeda
jika dimuat ulang.
Medium penyajian karya berbentuk video
dengan durasi 2 hingga 5 menit, tetapi dengan konten berbeda-beda. Terdapat 218
karya yang memang sinematik, ada pula yang hanya menggunakan video sebagai
perantara dokumentasi. Sebanyak 204 peserta pameran harus tetap menjaga esensi seni
yang ada walau karya hanya dinikmati dalam jaringan (daring).
Seperti salah seorang seniman Galangmonsart, karya berjudul “New Normal New Hope”
merupakan hal yang tergolong baru baginya. Sebelumnya, ia hanya berkutat di
bidang seni lukis manual maupun digital. Akan tetapi, kali ini Galangmonsart
menuangkan karya dalam bentuk video selang waktu (time-lapse) dari
sebuah proses membuat lukisan digital itu sendiri. Di dalamnya, juga terdapat
narasi penggambaran keadaan para penangan seni yang tak bisa mempersiapkan
pameran secara aktual. Ia mencurahkan rasa rindu akan pekerjaannya sebagai
seorang seniman dan harapan jika pandemi telah usai.
Menurut Galangmonsart, unsur
sosialisasilah yang paling membedakan antara pameran daring dan luar jaringan
(luring). Pada pameran luring, antar pengunjung bisa berinteraksi dan peserta pameran pun akan mendapat apresiasi
secara langsung. “Itulah yang tidak bisa dirasakan dari pameran daring,
termasuk esensi dari suasana ramai pameran,” ungkap seniman asal Bekasi
tersebut melalui Instagram, Kamis (24/9).
Beda halnya dengan Galangmonsart, Tytton
Sishertanto tak membatasi karyanya pada satu media spesifik saja. Walau
biasanya kerap melukis di atas kanvas, kali ini ia membuat karya sinematik berjudul
“Sound of Pandemic”. Tampak seorang anak perempuan bermain komedi putar dengan latar suara riuh
pemberitaan pandemi. Dalam kolom deskripsi, Tytton menulis bahwa pandemi
mengingatkan manusia akan berharganya kehidupan. “Melalui kedekatan emosi
personal, visual menyajikan ketenangan dari audio yang saya hadirkan,” ujarnya,
Kamis (24/9).
Seniman asal Jakarta itu juga berpendapat,
pameran daring merupakan suatu alternatif, bukan untuk menggantikan atau menjadi
perbandingan dengan pameran luring. “Pameran daring akan terus berlangsung
pasca pandemi dan menjadi cara berpameran baru,” kata Tytton. Ia pun menambahkan, dua
teknis pameran tersebut memiliki khas, lebih, dan kurang masing-masing.
Bagaimanapun teknis pelaksanaannya,
tentu terdapat para kurator yang berperan. Kurator MANIFESTO VII “PANDEMI” Bayu
Genia Krishbie mengatakan, mereka sudah mempersiapkan pameran sejak Januari
2020 dengan tema seni dan lingkungan hidup—berkenaan dengan isu global
kebakaran hutan di Australia. Konsep pameran pun masih dirancang secara luring
karena tak mengira Covid-19 akan menjadi pandemi global. “Mulai Maret 2020,
pemerintah melarang operasional objek pariwisata sehingga kami menetapkan untuk
beralih ke ranah daring,” cerita Bayu kepada Institut, Sabtu (26/9).
Ini adalah pertama kalinya Bayu
menguratori pameran daring. Tantangannya, para kurator harus bisa memberikan
pengalaman berpameran yang unik kepada pengunjung. Bentuk tur virtual sempat
menjadi diskusi, tetapi pola tersebut dinilai minim pengalaman ruang untuk
pengunjung. Maka dari itu, mereka lebih memilih video untuk menyampaikan pesan
dari karya para seniman. “Karya tetap dapat dinikmati jika seniman betul-betul
mengeksplorasi media internet dan teknologi informasi,” pungkas Bayu.
Menurut salah seorang pengunjung, tema
yang diusung sangat menarik karena para seniman berkesempatan untuk menuangkan
karya mereka pada kondisi pandemi. Secara keseluruhan, tampilan laman sudah
cukup informatif dan memudahkan pengunjung guna melihat konten beserta deskripsinya. “Saran saya, mungkin perlu ada kolom komentar untuk
perihal apresiasi seni,” ungkap Talitha Luthfira Nuswantari, Kamis (24/9).
Muhammad Silvansyah Syahdi Muharram