Demi menjaga nama baik, kampus seolah tak peduli
pada penanganan kasus pelecehan seksual. Sebagai kampus Islam, hendaknya norma
agama dapat ditegakkan dan menjadi tempat aman bagi seluruh civitas academica.
Maraknya kasus pelecehan seksual oleh dan pada mahasiswa kembali
menyangkut Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebelumnya
di tahun 2017, sesuai dengan catatan Institut, salah seorang mahasiswa baru UIN
Jakarta sempat melaporkan kasus pelecehan yang menimpa dirinya ke pihak
universitas, tetapi prosedur peleraian kasus tersebut dialihkan ke pihak
fakultas yang bersangkutan. Di tahun 2020, kasus-kasus pelecehan seksual
kembali tersiar di kalangan Mahasiswa UIN Jakarta.
Pada awal Maret 2020, kasus begal payudara sempat menjadi
bahan pembicaraan mahasiswa. Berawal
dari tersebarnya pesan terusan melalui Whatsapp yang menyatakan bahwa
ada mahasiswi yang mendapat perlakuan tak senonoh dari orang tak dikenal. Sesuai
pernyataan korban dari pesan tersebut, kejadian itu berlangsung pada Rabu
(4/3) usai sang korban membeli obat di apotik samping Rumah Sakit Hermina,
Ciputat.
Dari arah yang berlawanan, korban mendapati oknum tengah
menyerong ke arahnya dengan motor dan kemudian secara tiba-tiba menyentuh area
dadanya. Kejadian itu berlokasi di belakang Gedung Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah, Jalan Haji Nipan, Ciputat Tangerang Selatan. Dilansir dari berita
Kompas.com “Polisi Selidiki Kasus Pelecehan Seksual Mahasiswi UIN”,
pihak Kepolisian Tangerang Selatan sudah turun ke lokasi kejadian untuk meminta
keterangan para saksi setelah kasus tersebut viral.
Tak hanya kasus tersebut, kasus pelecehan seksual lain juga
dirasakan oleh seorang mahasiswi UIN Jakarta. Kali ini aksi yang dilakukan
pelaku juga berbeda dari sebelumnya. Pada Rabu (11/3), seseorang yang tak
diketahui identitasnya memamerkan alat kelaminnya ke hadapan mahasiswi. Halte
UIN Jakarta menjadi lokasi pelaku melakukan hal tersebut.
Menyadur dari laman Jakarta.tribunnews.com “Dugaan
Motif Pelaku Pelecehan Seksual Pamer Kelamin di Halte UIN Jakarta”, Kapolsek Ciputat
Komisaris polisi Endy Mahandika mengungkapkan kejadian itu terjadi pukul 16.00
WIB, saat mahasiswa ramai di halte pelaku juga berada disana. Ketika bus
Transjakarta melintas, para mahasiswa naik dan hanya tersisa seorang mahasiswa
dengan pelaku. Sesuai pernyataan korban, tiba-tiba pelaku berinisial AW ini berdiri
dan mengeluarkan alat kelaminnya di depan korban sambil digenggam dan ditujukan
ke arah korban.
Institut berhasil mendapatkan pernyataan dari salah seorang penyintas
pelecehan seksual yang mengaku sudah tiga kali kedapatan pelaku yang mengumbar
alat kelaminnya. Peristiwa tersebut selalu Mawar —bukan nama sebenarnya—temui
di persilangan Jalan Pesanggrahan, Ciputat. “Dari sudut mataku, aku melihat dia
tengah memegang alat vitalnya, dan menyodorkannya ke arahku, padahal disana
banyak orang berlalu-lalang,” ungkap Mawar, Minggu (18/10). Menurut dugaan
Mawar, pelaku menggencarkan aksinya secara terjadwal karena sudah dua kali ia
melihat modus tersebut di minggu yang berbeda pada tiap hari Rabu.
Dua bulan lalu kasus pelecehan seksual kembali terjadi.
Nahasnya, pelaku pelecehan seksual sendiri merupakan mahasiswa UIN Jakarta. Ia
menggencarkan aksinya tatkala masa Kuliah Kerja Nyata berlangsung. Insiden
tersebut berlangsung pada Jumat (14/8). Namun, kasus pelecehan yang terjadi
oleh dan pada sesama mahasiswa UIN Jakarta itu diakhiri secara kekeluargaan
dari kedua belah pihak. “Alhamdulillah, semua perkara sudah selesai.
Sudah dibicarakan baik-baik pihak internal,” ujar pelaku berinisial FD ketika
dihubungi oleh Institut, Senin (17/8).
Penanganan Kasus Pelecehan Seksual di UIN Jakarta
Berdasarkan keterangan Kepala Pusat Studi Gender dan Anak
(PSGA) UIN Jakarta Ulfah Fajarini, PSGA sudah melakukan penelitian tentang human
geografi dan pelecehan seksual terhadap perempuan di UIN Jakarta dengan
melibatkan 300 mahasiswa. Sejumlah 35% mahasiswa pernah menjadi subjek
pelecehan seksual secara fisik sedangkan 70% mahasiswa mengalaminya secara
verbal. Adapun sejumlah 29% mahasiswa mendapatkan pelecehan seksual secara
isyarat dan sebanyak 39% mahasiswa mendapatkannya secara tertulis. Adapun sebanyak
25% mahasiswa mendapatkan pelecehan seksual secara psikologis.
Ulfah sendiri menyatakan dengan tegas untuk mendukung pencegahan
pelecehan seksual. PSGA juga telah bergabung diskusi dalam membentuk pedoman
penanganan pelecehan seksual. “Kami ikut berdiskusi serta urun rembuk Forum
Group Discussion (FGD) dengan diterbitkannya pedoman penanganan pelecehan
seksual oleh Kemenag,” ungkap Ulfah ketika diwawancarai via Whatsapp,
Rabu (30/9).
Kendati demikian, para Mahasiswa UIN Jakarta masih merasa
resah akan bertambahnya kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus. Berangkat
dari keresahan ini, para mahasiswa akhirnya membentuk Tim Khusus (Timsus)
Penanganan Kekerasan dan Pelecehan Seksual. Hal ini telah ditetapkan oleh Surat
Keputusan Senat Mahasiswa (Sema) UIN Jakarta pada Senin (7/9).
Koordinator Timsus Penanganan Kekerasan dan Pelecehan Seksual
Siska Irma Diana menyatakan, urgensi dari pembentukan Timsus ini untuk merespon
keluhan dari mahasiswa tentang rendahnya tingkat kepedulian universitas
terhadap kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. “Sangat disayangkan
apabila sudah dibentuk lembaga penanganan kekerasan seksual namun tak
dimaksimalkan,” keluh Siska, Rabu (30/9).
Menanggapi hal tersebut, Ulfah menyatakan bahwa PSGA sudah
berusaha maksimal jika ada pengaduan. Contohnya, ketika ada aktivis UIN Jakarta
Wulan Sari Aliyatus Sholikhah yang mengadukan terjadinya pelecehan seksual pada
mahasiswi yang dilakukan oleh ojek online. “Kami sangat terbuka dengan aduan
dari mahasiswa dan membantu dalam menangani kasus pelecehan seksual,” tuturnya,
Rabu (30/9).
Siska menambahkan, beberapa kasus pelecehan seksual yang
terjadi di UIN Jakarta tidak pernah diselesaikan hingga ke jalur hukum di
universitas. Ia juga menyarankan agar PSGA bisa bekerjasama dengan sebuah
lembaga yang dapat menangani kasus pelecehan seksual. “PSGA bisa bekerja sama
dengan lembaga eksekutif kampus atau komunitas yang fokus dengan isu pelecehan
seksual,” saran Siska melalui Whatsapp.
Sebagai aktivis, Wulan menyatakan bahwa gerakan apapun jika
memiliki tujuan yang sama akan bagus sekali untuk sinergi. “Terkadang isu-isu
pelecehan seperti ini bahkan korban sendiri abai untuk mengungkap karena
menganggap ini menjadi aibnya,” ungkap Wulan ketika diwawancarai via Whatsapp,
Selasa (29/9).
Penanganan Kasus Pelecehan Seksual di Kampus Lain
Kasus pelecehan seksual juga terjadi di berbagai kampus di
Indonesia. Seperti kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh alumni Universitas
Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan kasus pelecehan seksual yang sempat viral
di media sosial oleh mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Dilansir dari laman uii.ac.id, sesuai dengan peraturan
disiplin yang berlaku di UII, tindakan pelecehan dan kekerasan seksual dalam
bentuk apapun tidak dapat diterima dan tergolong dalam pelanggaran berat. Pihak
UII juga berkomitmen untuk memberikan empati, dukungan, dan perlindungan kepada
korban atau penyintas. Pihak UII juga menunjuk Lembaga Konsultasi dan Bantuan
Hukum (LKBH) Fakultas Hukum UII untuk memfasilitasi korban yang berkeinginan
untuk menempuh jalur hukum.
Menurut kepala Bidang Etika dan Hukum (BEH) UII Syarif
Nurhidayat, Menanggapi dugaan tindak pelecehan dan kekerasan seksual yang
dilakukan oleh IM, pihak UII sudah mengeluarkan pernyataan sikap secara tegas
melalui rilis resmi di laman web UII. “Kami sudah melakukan tindakan upaya yang
cukup dan sifatnya final,” tegas Syarif Nurhidayat yang diwawancarai melalui
sambungan telepon, Selasa (13/10).
Tidak hanya di UII, kasus pelecehan seksual juga menyangkut
mahasiswa Unair. Mengutip dari laman persmercusuar.com, Pihak
universitas juga mengadakan sidang komite etik sekaligus mediasi bersama pihak
keluarga pelaku yang diwakili ibu dan kakaknya, dan memutuskan bahwa jajaran
pimpinan Unair resmi memberikan sanksi tegas berupa drop out kepada
mahasiswa Fakultas Ilmu dan Budaya (FIB) tersebut.
Menurut Menteri Kajian Aksi dan Strategis Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) FIB Putu Ayu Agung Amoretta, BEM FIB juga berkomitmen untuk
mengupayakan sosialisasi terkait kekerasan seksual dan pelecehan melalui cara
edukasi baik dengan pengadaan diskusi, podcast, atau kajian. Selain itu
pihaknya juga melakukan upaya advokasi dan pendampingan korban ketika terjadi
kasus kekerasan atau pelecehan seksual. “Dalam periode ini, kami mengupayakan
sebisa mungkin untuk melakukan sosialisasi terkait kasus-kasus seperti ini,”
pungkas Amoretta via Whatsapp, Sabtu (17/10).
Roshiifah Bil Haq, Aldy Rahman