Pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi mengenai paham
radikalisme oleh pemuda good
looking sempat menuai perbincangan. Hingga, sertifikasi penceramah pun digaungkan
demi menjaga kapasitas para penyuluh agama.
Isu
radikalisme kian marak di kalangan masyarakat. Radikalisme diartikan dengan
paham yang menginginkan perubahan dalam tatanan sosial dan politik dengan
drastis. Dalam perkembangannya secara global, isu radikalisme sering dikaitkan
dengan ranah keagamaan. Pasalnya, sering ditunjukan kepada masyarakat Indonesia
dengan mendoktrin keyakinan.
Desas-desus radikalisme kembali mencuat semenjak
beredarnya pernyataan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi yang mengungkapkan paham radikal masuk
melalui pemuda berpenampilan baik atau good looking. Bukan hanya itu,
Menag pun mengusulkan adanya program sertifikasi penceramah. Sontak, pernyataan
tersebut santer diperbincangkan oleh publik. Pernyataan akan pemuda good looking
dan kaitannya dengan isu radikal disampaikan oleh Menag dalam seminar web bertajuk
Strategi Menangkal Radikalisme Pada Aparatur Sipil Negara dalam kanal YouTube
Kemenpan RB, Rabu (2/9).
Seiring beredarnya pernyataan Fachrul Razi, isu radikalisme
menjadi stigma negatif dan sering
dianggap salah sasaran. “Caranya masuk mereka gampang; pertama
dikirimkan seorang anak yang good looking, penguasaan
Bahasa Arabnya bagus, hafiz (penghafal Alquran), mereka mulai masuk,” begitu tutur
Menag yang beredar. Walau sudah menyatakan maaf, beragam reaksi kian muncul menanggapi
pernyataan Menag tersebut yang dinilai salah sasaran.
Salah satu mahasiswa Perbandingan Madzhab Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Maulana Rifqi mengkritik pernyataan Menag Fachrul
Razi. Menurutnya, pernyataan Menag tersebut dinilai aneh mengingat kasus
seperti ini tidak ada buktinya. Bahkan, belum ada jejaknya. Mengenai masalah
radikalisme pun masih sangat problematik, baik dalam tataran definisi maupun
ciri-ciri-nya. “Ciri-ciri yang diutarakan Menag tidak bisa dijadikan tolak ukur
untuk melabeli seseorang menganut paham radikalisme,” tutur Rifqi ketika
diwawancarai via WhatsApp, Rabu (7/10).
Namun Rifqi menambahkan, ia mendukung program Menag terkait sertifikasi
penceramah dan pelibatan pemerintah dalam kepengurusan masjid. Mengingat pada era
disrupsi ini sangat mudah seseorang menyebar konten-konten ceramah yang banyak
keluar dari sanad-sanad kelimuan dalam Islam. Bahkan banyak bermunculan ustaz-ustaz
dadakan yang tidak diketahui sanad keilmuannya. Juga beberapa pengurus masjid yang
tidak kompeten dalam mengurusi masjid. “Secara esensial perlu adanya
keterlibatan pemerintah dalam kepengurusan masjid dan sertifikasi dai,” jelas
Rifqi.
Mahasiswi lain, Karima dari Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga
Dakwah Kampus, menuturkan pernyataan Menag adalah hal yang jenaka. Pasalnya, hal
tersebut jauh dari gambaran tentang diri mereka. Tahfiz Alquran seperti Karima
akan menganggap pernyataan Menag hanya angin lalu. “Para penghafal Alquran
memandang pernyataan Menag adalah hal yang lucu. Mereka menghafal Alquran untuk
tujuan akhirat bukan penyebar paham radikal,” ungkap Karima, Selasa (6/10).
Terkait sertifikasi penceramah, anggota Dewan Penasihat (Advisory
Board) Center for Study of Relegion and Culture (CSRC) UIN Jakarta,
Irfan Abu Bakar buka suara mengenai hal tersebut. Menurutnya, Kemenag berfungsi
sebagai fasilitator yang berkontribusi dalam menyediakan sumber dana dan sumber
daya demi mendukung program-program dakwah moderasi di kalangan para juru
dakwah.
Tak hanya itu, Irfan menambahkan peran Kemenag seharusnya memberikan
apresiasi para pengurus masjid berupa bentuk pengakuan, memberikan hadiah, penghargaan
atau sertifikat. “Dalam hal ini saya berpendapat sebaiknya dihindari kebijakan
yang dapat dikesankan top-down dan kurang partisipatif,” ujar Irfan, Rabu
(30/9).
Pengurus Masjid Al-Jamiah UIN Jakarta Habibie mengatakan, tidak
perlu semua kepengurusan dan semua instansi dipegang oleh pejabat negara sebab masih
banyak masalah krusial lain yang harus diselesaikan. Menurutnya, para takmir
masjid ini sudah berkompeten dalam pengetahuan agama dan mampu dalam menangkal
radikalisme. Habibie juga mengungkapkan, paham radikalisme justru disebarkan
dalam masjid yang terkesan inklusif. “Paham radikal tersebar di masjid-masjid
yang terkesan inklusif dengan jamaah tertentu yang sudah biasa mengikuti kajian
tersebut,” kata Habibie, Senin (12/10).
Dosen Fakultas Ilmu Dawah dan Komunikasi Helmi Hidayat turut menuturkan,
seseorang yang beragama memang harus radikal atau dalam hal ini mengakar kuat
ajaran yang dianutnya dalam dirinya. Menurutnya, radikalisme bisa muncul dari
kalangan pendakwah. Helmi menambahkan, orang yang terpapar radikalisme berasal
dari kalangan yang memiliki ilmu pengetahuan agama minim. “Orang yang berpikir
radikalis justru dari orang tidak banyak tahu tentang Islam sehingga menjadi
korban ideologisasi ayat-ayat yang disampaikan oleh ustaz-ustaz karbitan,” pungkas
Helmi Minggu (11/10).
Amrullah