Judul: Jejak Khilafah Di Nusantara (JKDN)
Sutradara: Nicko Pandawa
Durasi: 58:11 Menit
Rilis: 25 Agustus 2020
Katagori: Sejarah
Genre: Dokumenter
Berawal dari banyaknya pro dan kontra dari munculnya isu khilafah di tanah air, Nicko Pandawa menggarap sebuah film yang menjelaskan tentang sejarah relasi antara Nusantara dengan kekhilafahan. Kemunculan film berjudul Jejak Khilafah di Nusantara yang dirilis melalui akun Youtube "Khilafah Channel" pada 20 Agustus 2020 ini menjadi kontroversi hingga sempat diblokir oleh pemerintah.
Film tersebut menggambarkan perjalanan empat sahabat yang menjalankan pemerintahannya setelah Rasulullah Saw. wafat. Para sahabat, yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali
bin Abi Thalib melakukan musyawarah
terlebih dahulu sebelum melakukan pemakaman terhadap jasad Rasulullah Saw. untuk
mencari pengganti nabi dalam menjaga agama dan urusan dunia. Hal tersebut
menunjukkan betapa pentingnya kepemimpinan untuk kaum Muslimin yang merupakan
perkara yang sangat mendesak.
Dari kepemimpinan Khulafaurrasidin
inilah mereka disebut sebagai Khilafah ‘ala Minhaj An-nubuwah dengan
perkembangan pesat dan mendobrak dua negara adidaya pada saat itu, Persia dan
Romawi. Setelah berakhirnya masa Khulafaurrasyidin, muncullah khilafah baru
dari Bani Umayyah yang terus menancapkan pengaruhnya hingga ke Spanyol dan
dilanjutkan oleh Bani Abbasiyah hingga Utsmaniyah, mereka disebut Khilafah ‘ala
Minhaj Al-mulk. Sampailah berakhirnya masa kepemimpinan Khalifah setelah
penghapusan kekhilafahan di Turki pada tahun 1924.
Sedangkan itu, hubungan kekhalifahan di
Indonesia pertama kali dilakukan oleh Raja Sriwijaya Sri Indrawarman dengan
Khilafah Umayyah Umar Bin Abdul Aziz. Dalam film menunjukkan bukti dan dibacakan
isi surat tersebut dari kerajaan Sriwijaya yang dikirim kepada khalifah Umayyah
di Damaskus.
Saat kota Baghdad dikuasai oleh
tentara Mongol, ada beberapa keluarga Abbasiyah yang selamat, mereka berpencar
ke berbagai penjuru negeri termasuk ke Samudera Pasai, di dalam film
menunjukkan bukti makam keluarga Abbasiyah yang berdiaspora ke Aceh. Setelah
peristiwa itu Abbasiyah pun mulai berkuasa di Mesir sebagai Kekhalifahan.
Samudera Pasai menyatakan baiatnya
kepada khalifah Al-Mutawakkil di Kairo di awal abad ke-15, Nicko Pandawa
berdalih bahwa, ayahnya keturunan Abbasiyah yang ada di Pasai Muhammad bin
Abdul Qadir itu dicatat oleh Ibnu Battutah dalam kitabnya Tuhfah an Nazhar,
beliau itu diangkat menjadi gubernur di India. Dimana diketahui bahwa Sultan-sultan
india menyatakan baiatnya kepada Abbasiyah, India juga mempunyai hubungan dekat
dengan Pasai. Dari dugaan itu, Nicko Pandawa mengklaim bahwa Samudera Pasai
juga berbaiat kepada Khilafah Abbasiyah.
Setelah itu, Samudera Pasai memulai
aksi dakwah Islam di Asia Tenggara. Sultan Zainal Abidin meminta di terimanya
Islam di negeri mereka dengan dikirimkan para utusan, salah satunya Maulana
Malik Ibrahim dikirim ke Jawa Timur pusat pemerintahan Majapahit kala itu.
Dakwah para wali menyebar ke berbagai daerah, bahkan salah satu putra mahkota
Majapahit Raden Patah memeluk Islam yang kemudian mendirikan kerajaan Demak.
Nicko Pandawa mengklaim Maulana Malik Ibrahim sebagai utusan Pasai dimana pada
makam tertulis “Wazir” dan makam beliau sama persisnya seperti makam yang ada
di Pasai.
Dengan dalih tersebut, pembuat film
mengklaim bahwa jejak Khilafah sudah sampai ke Jawa dengan utusan Kesultanan
Sumatera Pasai yang berbaiat kepada Abbasiyah. Saat kebangkitan Utsmaniyah
setelah penaklukan Konstantinopel oleh Fatih Sultan Mehmet II, Utsmaniyah
mempunyai citra Istimewa di kalangan rakyat Nusantara.
Setelah masa Abbasiyah berakhir,
pucuk kepemimpinan umat Islam jatuh kepada Daulah Utsmaniyah, sekaligus menjadi
pelayan dua tanah suci yang diberikan Syarif Mekkah. Aceh memulai diplomasi
barunya dengan Utsmani kepada Sultan Suleyman Al-Qanuni melalui gubernur Mesir
Hadim Suleyman Pasya, Suleyman Pasya Mengirimkan Hamad khan yang sekaligus
sepupunya sebagai utusan ke Aceh. Dari bantuan inilah, Aceh mulai manancapkan
pengaruh Islam di Sumatera.
Hubungan berlanjut pada masa Sultan
Alauddin Al Qahhar mengirimkan surat kepada Sultan Suleyman I di Istanbul untuk
menumpaskan Portugis di Malaka. Sultan Aceh menyatakan diri tunduk kepada
Khalifah Islam di Turki. Sultan Turki Selim II sering menyebut Aceh sebagai Vilayati
Ace yang berarti negara bagian Aceh, sebagai tanda Aceh berada dalam otoritas
Utsmaniyah dan menyerahkan bantuan militer sebanyak 400 Janisaries, dan
beberapa ahli militer pembuat senjata meriam.
Bantuan yang dikirim oleh Sultan
Selim II kepada Sultan Aceh, kemudian pergi ke Ternate untuk membantu mengusir
Portugis. Tapi tidak ada bukti yang jelas adanya jejak pasukan Turki di
Ternate, apalagi pembuatan meriam di Ternate oleh tentara Usmani yang
dikait-kaitkan hubungan Aceh dengan Ottoman.
Kehadiran film tersebut menimbulkan
polemik dari ulama serta guru besar. Akan tetapi, tak semua komentar yang di
arah pada film ini bertentangan menurut guru besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Farid Wajdi Ibrahim ungkapkan Aceh bagian dari Khilafah Utsmaniyah sejak Sultan
Selim II serta negara bagian yang tunduk terhadap Turki Utsmani.
Lain halnya, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif (UIN) Hidayatullah Jakarta
Oman Fathurahman menjelaskan dalam siaran langsung melalui saluran Hostoria.id
bahwa adanya kontak diplomatik pada saat itu khususnya Aceh. Senada dengan
Oman, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam UIN Jakarta Azyumardi Azra mengatakan, jejak khilafah
di Indonesia tidak pernah terjadi bahkan Abbasiyah, Ummayah dan Ottoman
termasuk dinasti, terangnya pada acara layar kaca TV One.