Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan
Kekerasan Seksual (PKS) ditarik dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2020 oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Hal ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat termasuk para
mahasiswa. Beberapa pihak kembali menyuarakan aksi RUU PKS, salah satunya ialah
aksi sahkan RUU PKS yang diinisiasi oleh Gerakan Perempuan Universitas Negeri
Jakarta pada Selasa (14/7).
Menurut data Komisi Nasional Perempuan dalam
Naskah Akademis RUU PKS, kekerasan seksual meningkat setiap tahun. Bahkan di
tahun 2012, kasus tersebut meningkat 181% dari tahun tahun sebelumnya. Kasus itu di antaranya terjadi di kalangan mahasiswa. Seperti yang
tercantum di laman web Kognisia.co pada 5 Mei 2020 yang menyatakan
adanya kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang berinisial IM sejak
masih menjadi mahasiswa aktif di Universitas Islam Indonesia.
Pada Jurnal Studi Komparatif Sistem Islam Menyelesaikan Kekerasan Seksual karya Eny Dwiningsih, terdapat tiga hal
yang menjadi fokus dalam RUU PKS ini. Hal tersebut di antaranya ialah pembaharuan definisi dan tindak
pidana kekerasan seksual, mengisi kekosongan hukum mengenai hukum acara, serta
mengoreksi konsep perlindungan bagi korban.
Upaya DPR menarik kembali pembahasan RUU PKS dari
Proglenas membuat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta turut memberi pandangan akan hal tersebut. Beberapa
mahasiswa UIN Jakarta diantaranya setuju dengan adanya RUU PKS, dan beberapa mahasiswa yang lain juga menolak
dengan adanya RUU PKS tersebut.
Salah satu mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
Alif Fachrul Rachman dengan tegas menyatakan bahwa ia sangat setuju dengan
adanya RUU PKS. “Paling tidak, hal-hal yang belum mendetail dalam UU yang berkaitan
dengan kekerasan seksual dapat disempurnakan substansinya melalui RUU PKS ini,” tegasnya, Senin
(13/7).
Senada dengan Alif, Ketua Dewan Mahasiswa Uin
Jakarta Sultan Rivandi juga menyatakan bahwa dirinya pro dengan adanya RUU PKS.
Sebab saat ini belum ada kebijakan hukum yang melindungi korban kekerasan
seksual dengan tepat. “Dengan adanya RUU PKS korban kekerasan seksual bisa
lebih terlindungi, bahkan dia akan mendapatkan pendampingan pasca kejadian,” ungkapnya,
Senin (13/7).
Lain halnya dengan Sultan, salah satu mahasiswi
Komunikasi dan Penyiaran Islam Radhina Rifa Mutiah kontra dengan adanya RUU PKS.
“Aku melihat hal ini sebagai dalih pelegalan
tindakan zina di Indonesia, tetapi mengatasnamakan ‘kekerasan’,” tuturnya, Rabu (15/7).
Senada dengan Radhina, salah satu mahasiswi
jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam Nur Aisyah Firdausi juga menyatakan dirinya
kontra dengan adanya RUU PKS. Menurutnya, asas kekerasan seksual yang artinya
tidak ada paksaan akan menyebabkan seks bebas merajalela ketika RUU PKS ini disahkan.
“Sebaiknya bukan saja ditarik dari Prolegnas, tetapi digagalkan dan tidak
dibahas lagi selamanya,” pungkasnya ketika diwawancara via WhatsApp,
Rabu (15/7).
Roshiifah bil Haq