Oleh: M. Rifqi Ibnu Masy*
Revolusi industri 4.0 memacu percepatan teknologi modern
dalam pelbagai bidang. Interaksi sosial dan ekonomi di tengah masyarakat pun
telah mengalami alih wahana dari dunia nyata ke dunia virtual yang dikenal
dengan sebutan era disrupsi. Sayang, alih wahana belum masif terealisasi dalam
industri pertanian di Indonesia. Dalam hal ini, Pertanian Modern (Modern
Farming) —sistem pertanian berbasis multimedia— hadir memberikan solusi. Bertani
dapat dilakukan siapa, kapan dan di mana pun
tanpa terkendala lahan.
Imaji petani masih menjadi profesi kurang menarik diminati
kaum muda terpelajar di Indonesia.
Sebagai profesi vital peyangga suasembada pangan, dunia pertanian masih erat
dengan pedesaan yang jauh dari kata modernisasi. Bukan tanpa sebab, kaum
terpelajar dari desa setelah menamatkan pendidikan nyatanya lebih memilih
berkarier di kota-kota besar daripada kembali ke desa untuk mengembangkan
industri pertanian.
Dari contoh persoalan di atas, alhasil industri pertanian di
Indonesia lamban dalam memanfaatkan teknologi modern sebagai penunjang. Hal ini
disebabkan tidak didukung Sumber Daya Manusia (SDM) profesional. Pak Tani masih
sama dari masa ke masa, banyak dari mereka identik dengan kemiskinan dan
kebodohan. Tanpa adanya trobosan peningkatan kompetensi SDM yang baik,
jangankan mengharapkan sistem pertanian modern, memperbaiki nasib petani di
Indonesia pun nampaknya akan menuai banyak persoalan.
Industri Pertanian dan Pembangunan Infrastruktur
Sistem pertanian di Indonesia umumnya masih bertumpu pada
seberapa luas lahan persawahan sebagai media tanam. Alhasil, beban cadangan
pangan kota-kota besar di Indonesia pun masih ditangung produksi hasil
pertanian daerah. Tanpa adanya perubahan sistem pertanian di Indonesia, lahan
baku sawah di daerah yang semakin menyepit akan menjadi lampu merah ketahanan
pangan nasional.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), luas baku
sawah di Indonesia terus mengalami penurunan. Pada 2018, luasnya mencapai 7,1
juta hektare. Luas lahan produktif pertanian tersebut menurun dari tahun 2017
yang luasnya mencapai 7,75 hektare. Laju pertumbuhan pemukiman dan
infrastruktur yang makin cepat, bukan tidak mungkin akan terus menggerus lahan
pertanian tersebut.
Demi menunjang percepatan pertumbuhan ekonomi, tak dapat
dipungkiri pembangunan infrastruktur menjadi hal mutlak sebagai penujang. Hal
inilah yang dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dewasa ini.
Bahkan pada tahun 2019, anggaran infrastruktur dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) mencapai Rp 415 triliun atau naik hingga 62% dari tahun 2015 yang hanya menganggarkan
Rp 256, 1 triliun saja.
Merujuk data pada rilis resmi Biro Komunikasi Publik
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumaan Rakyat (PUPR), Kementerian PUPR melalui
Ditjen Bina Marga di tahun 2019 berhasil melakukan pembangunan jalan nasional
sepanjang 3.432 km dan jalan tol baru sepanjang 941 km dengan target akhir
mencapai 1,852 km.
Dampak dari pembangunan infrastruktur tersebut, tentu akan
memakan lahan yang tidak sedikit. Lahan mentah persawahan dan perkebunan
perlahan namun pasti akan terus berkurang seiring laju pertumbuhan
infrastruktur di Indonesia. Hal yang menjadi persoalan, akankah mengorbankan
industri pertanian demi infrastruktur atau sebaliknya? Hemat penulis, jelas
tidak untuk keduanya.
Baik industri pertanian maupun pembangunan infrastruktur,
keduanya krusial bagi pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Industri pertanian harus beradabtasi dengan masifnya pembangunan inprastruktur.
Jika pembangunan inprastruktur terus memakan lahan mentah persawahan, maka
idustri pertanian harus berevolusi menciptakan media tanam baru. Industri
pertanian di Indonesia ke depannya harus mampu menghilangkan ketergantungan
pada lahan mentah persawahan dan perkebunan. Industri pertanian saatnya
berevolusi bertani dapat dilakukan oleh siapa pun, di mana pun dan kapan pun.
Pertanian Modern Berbasis Multimedia
Merujuk pada data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO)
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), polulasi penduduk dunia akan mencapai 9,1
milyar pada tahun 2050. Untuk memenuhi populasi
pertumbuhan penduduk dunia tersebut, FAO menilai produksi pangan global harus
mencapai pertumbuhan hingga 70%. Populasi manusia terus bertambah, namun lahan
pertanian terus menyempit seiring kebutuhan tempat tinggal dan pembangunan
inprastruktur.
Untuk menjawab persoalan industri pertanian di atas, kita
perlu menciptakan sistem pertanian yang optimal di tengah keterbatasan lahan.
Dalam hal ini sistem pertanian modern berbasis multimedia perlu diterapkan di
Indonesia sebagai trobosan industri pertanian di tenah laju pembangunan
inprastruktur yang masif.
Pertanian modern itu sendiri, menurut Roy’s Farm adalah
sistem pertanian menggunakan teknik modern dan teknologi sebagai penunjang.
Dalam artian sebuah industri pertanian dijalankan dengan bantuan
fasiltas-fasiltas ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Tentu imbas dari penggunaan
sistem modern tersebut, hasil panen melimpah dengan keefektivan waktu.
Dalam sebuah tajuk Ditch the Overalls: The Reality of Modern
Farming Will Surprise You, National Geographic melakukan peliputan petani di
California bernama Dave Ribeiro. Dalam tulisan tersebut, Dave sebagai seorang
petani optimis konsep pertanian modern sangat menjanjikan masa depan.
Di California, Dave dan koleganya mengembangkan industri
pertanian dan perternakan dengan konsep modern farming. Ia merupakan seorang
pemilik utama peternakan sapi perah Rib-Arrow di Tulare, California. Dengan
peralantan modern, setiap tiga kali sehari ia dapat memerah susu sekitar 1.500
ekor sapi. Bukan hanya itu, kandang sapi perternakan Dave dikonsep vertikal dan
di atap serta dindingnya ia gunakan untuk media tanam sayuran.
Apa yang dilakukan Dave, hanyalah contoh bagaimana sistem
pertanian modern dapat memaksimalkan penggunaan lahan dan keefektivan waktu.
Dilangsir dari majalah.tempo.com, konsep pertanian modern Low-Energy Paddy
Vertical Farming—menanam padi di lahan vertikal— sudah digagas oleh lima
mahasiswa Institut Teknologi Bandung, 2016 silam. Dari konsep tersebut,
nantinya menanam padi dapat dilakukan di gedung tinggi bertingkat. Tentu, jika
ke depannya dapat direalisasikan akan sangat menghemat lahan.
Bukan hanya itu, sistem pertanian modern banyak menyuguhkan
inovasi media-media tanam baru hingga ketergantungan akan lahan yang luas bisa
dikurangi. Misalnya, Industri Today merilis beberapa inovasi teknologi
agrikultur yang dapat kita terapkan sebagai berkut:
Indoor Vertical Farming, metode pertanian vertikal ini
digunakan pada daerah di mana tanahnya tidak subur dan susah untuk ditanami
tumbuhan. Metode pertanian ini dapat mengatasi kelangkaan kebutuhan air hingga
70%. Dengan menggunakan rak-rak yang disusun tegak lurus, pertanian vertikal
dalam rumah sangat evektif mengurangi jumlah lahan hingga cocok dilakukan di
daerah perkotaan Indonesia. Pertanian vertikal ini, umumnya menggunakan sistem
tanam hidroponik dan aeroponik.
Metode pertanian Indoor Vertical Farming ini tak hanya dapat
dilakukan oleh petani profesional, masyarakat pun dapat melakukannya di
rumah-rumah mereka. Di Indonesia sendiri, motode ini sudah mulai diminati
masyarakat perkotaan. Dengan memanfaatkan peralon dan peralatan penunjang
lainnya sebagai media tanam, kini kita bisa menghasilkan pangan dari rumah
masing-masing.
Bahkan sekarang, di negara-negara maju dalam industri
pertaniannya sudah mengenal metode Farm Automation. Sistem pertanian berbasis
teknologi modern ini digadang-gadang akan mengubah wajah industri pertanian
dunia. Kini, pekerjaan dalam sektor pertanian dapat dilakukan oleh robot atau
drore yang dikendalikan jarak jauh dari komputer. Hal tersebut tentu akan
membantu pekerjaan pertanian dalam waktu ssingkat, lebih efensien, dan mengurangi
biaya produksi.
Bukan hanya itu, modern farming juga masih banyak
menyuguhkan metode-metode pertanian lainnya yang dapat membantu dan
meningkatkan industri pertanian di Indonesia. Misalnya Modern Greenhouses, Ring
Garden dan Rooftop Garden yang mana jika
diwujudkan ke depannya ketergantungan lahan mentah sebagai media tanam akan
berkurang.
Hemat penulis, ketika semua lini mengalami alih wahana dan
perubahan di era disrupsi ini. Mengapa industri pertanian masih lamban dalam
merespon perubahan? Sebagai negara agraria, sepatutnya Indonesia menjadi contoh
sebagai negara besar dengan metode dan sistem pertanian modern. Mari bersama
wujudkan suasembada pangan, semua dapat menanam di mana pun dan kapan pun.
*Penulis merupakan mahasiswa tingkat akhir Hubungan
Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta