Ruang
gerak mahasiswa makin terbatas sebab pandemi masih merebak. Banyak kelompok mahasiswa yang mengadakan diskusi dalam jaringan (daring) untuk tetap menghidupkan aktivitas organisasinya. Namun di sepanjang Juni, terhitung ada sejumlah kasus intimidasi yang menimpa sekelompok mahasiswa
di beberapa perguruan tinggi.
Hal tersebut dialami oleh Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) dan Unit Kegiatan Penerbitan
Mahasiswa (UKPM) Teknokra Universitas Negeri Lampung. Keduanya mendapat reaksi negatif
akibat mengadakan diskusi terkait persoalan Papua. Hal serupa pun turut dialami mahasiswa Universitas Nasional (Unas) yang melakukan unjuk rasa menyoal transparansi biaya pendidikan. Akan tetapi, aksi mereka malah dihadang oleh petugas keamanan kampus, lalu mereka pun dipaksa membubarkan diri.
Kebebasan Berkespresi Dibungkam
Pada Diskusi Publik
#PapuanLivesMatter: Rasisme Hukum di Papua yang diselenggarakan oleh BEM UI
pada 6 Juni lalu justru membuat pihak BEM UI dicecar pihak kampus. Melalui
surat edaran Biro Hubungan Masyarakat (Humas) UI pihak kampus menyatakan bahwa
pelaksanaan diskusi dinilai tidak sejalan dengan aturan yang berlaku di UI.
Bahkan, diskusi tersebut dinilai menghadirkan narasumber yang tidak layak.
Menanggapi hal itu, Kepala
Kajian Strategis Leon Alvinda Putra menyatakan bahwa dirinya beserta rekan
rekan BEM UI tak tahu menahu soal kejelasan aturan yang dimaksud pihak kampus. “Kita
tidak tahu tata cara dan peraturan itu seperti apa,” ungkap Leon ketika diwawancara via Line, Sabtu (13/6).
Leon menambahkan, diskusi
tersebut juga menghadirkan
narasumber yang proaktif dalam membela persoalan Papua. Di antaranya adalah pengacara Hak Asasi Manusia
(HAM) Veronica Koman, pengacara
HAM Papua Gustaf Kawer dan turut
menghadirkan salah seorang mantan tahanan politik Papua yang namanya
dirahasiakan.
Atas kejadian itu pun, Aliansi Dosen UI turut melayangkan pernyataan sikap yang menyayangkan respon
pihak kampus, Senin (8/6). Mereka bahkan mendorong
pihak UI untuk senantiasa mendukung kebebasan berpendapat, dan mengajak sivitas
akademika UI untuk merespon perbedaan pendapat melalui forum ilmiah, serta
menghimbau agar pihak kampus tidak terjebak dalam kebenaran tunggal. Dilansir
dari berbagai sumber, tercatat ada sekitar 38 dosen yang tergabung dalam aksi
dukungan ini.
Tak hanya UI, hal
serupa turut dialami oleh UKPM Teknokra Unila yang juga menggelar diskusi
mengenai persoalan Papua pada Kamis (11/6). Melalui keterangan resminya di situs teknokra.com,
Pemimpin Redaksi Teknokra Mitha Setiani Asih menjabarkan secara runtut
kronologis teror yang menghantui dirinya beserta rekan-rekannya.
Selain mengirimkan
kata-kata provokasi, peneror juga mengirimkan data-data berupa identitas
lengkap salah satu rekannya bahkan hingga identitas orang tuanya, pelaku juga
mencoba untuk meretas akun-akun media sosial (medsos) UKPM Teknokra hingga akun
medsos Mitha. Akibat rentetan teror tersebut,
ia bersama rekan-rekannya terpaksa harus bersembunyi di sebuah rumah.
Menanggapi hal tersebut, Mitha lanjut
mengatakan bahwa dirinya mengajak orang-orang untuk mengecam aksi teror yang
menimpa dirinya beserta rekan-rekannya. Menurutnya hal itu telah mencederai
kebebasan berekspresi, terlebih para pelakunya telah bertindak dengan cara-cara
kotor yang merugikan orang lain. “Boleh tidak suka dengan isinya, tetapi tidak
dengan membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi,” tegasnya dikutip dari
laman teknokra.com, Senin (15/6).
Aksi Solidaritas Berujung Tuntutan Pidana
Masih soal ancaman kebebasan berekspresi,
kali ini dialami oleh mahasiswa Unas. Terhitung sejak bulan Mei lalu, sekelompok
mahasiswa Unas telah menyatakan solidaritas guna menuntut pihak kampus yang
dianggap tidak transparan dalam pengelolaan biaya pendidikan. Solidaritas itu
disebut dengan gerakan #UnasGawatDarurat yang aksinya dikampanyekan melalui
akun Instagram @unasgawatdarurat.
Kemudian pada Rabu (10/6), sekumpulan
mahasiswa Unas menggelar aksi unjuk rasa ke dalam kampus. Nahas, aksi mereka
dihadang oleh pihak keamanan yang berjaga di depan gerbang. Dalam video yang tersebar
di medsos Twitter dan Instagram, tampak para petugas keamanan
tidak terima dengan aksi yang dilakukan mahasiswa Unas.
Petugas keamanan memarahi para peserta
aksi karena dianggap tidak memerhatikan kondisi serta menyalahi prosedur,
padahal aksi telah dilakukan dengan mengindahkan protokol kesehatan. Aksi
tersebut diperparah dengan pengeroyokan salah seorang mahasiswa Universitas
Bunda Mulia (UBM) yang turut bersolidaritas dalam aksi protes.
Salah
seorang mahasiswa Unas Dendy yang turut tergabung dalam
aksi, ia memberikan
lampiran berupa kronologis gerakan #UnasGawatDarurat. Dalam lampiran tersebut, dijelaskan secara runtut kronologis aksi mulai dari protes pertama pada 10
Juni hingga terakhir pada 12 Juni.
Dalam lampiran
tersebut juga dituliskan dialog mahasiswa yang
terlibat aksi bersama dengan Komisi Disiplin (Komdis) kampus. Mereka dipanggil
karena dinilai menjadi provokator dalam gerakan #UnasGawatDarurat yang
dikampanyekan melalui Instagram. Komdis bahkan mengancam akan membawa persoalan
tersebut ke ranah pidana, karena dianggap telah melanggar Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Hingga saat ini aksi solidaritas tersebut diperkirakan
akan tetap berlangsung. Saat dimintai keterangan lebih lanjut, Dendy mengatakan
bahwa ke depannya mahasiswa Unas
akan kembali mengadakan audiensi secara terbuka. “Kami masih kaji soal itu, sedang kami diskusikan,”
pungkas mahasiswa Hubungan
Internasional tersebut, Selasa (16/6).
Maulana Ali Firdaus