Oleh: Muhammad Teguh Saputro*
Persoalan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi primadona di antara mahasiswa—tidak
hanya kali ini saja. Dapat dibilang, UKT
menjadi klise sejak kehadirannya pada 2017 silam dan sudah ditolak oleh
sebagian gerakan dan kelompok organisasi mahasiswa. UKT tercatat setiap tahunnya
menjadi narasi utama yang digaungkan di tiap orasi para mahasiswa yang mengaku aktivis-aktivis
kampus.
Banyak narasi yang dialamatkan pada UKT, satu yang paling
familiar adalah komersialisasi pendidikan—sebuah usaha menjadikan pendidikan
sebagai barang dagangan. Artinya, siapa yang merasakan adalah yang mampu
membelinya—sebuah pengkhianatan terhadap amanat Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 31.
Penolakan yang sudah berjalan tiga tahun ini melahirkan dua arus pemikiran yang menegasikan massa
mahasiswa dan gerakannya. Pertama, mereka yang sejak awal dan sampai
hari ini menolak pemberlakuan UKT (secara keseluruhan; sistem dan mekanisme
penerapannya). Dalam tuntutan
sederhananya, arus pertama ini menggaungkan Tolak UKT. Kedua, mereka yang selama ini tidak merasa
keberatan dengan UKT sebagai suatu sistem, tetapi merasa keberatan dengan permasalahan
ketidaksesuaian golongan yang didapat oleh para mahasiswa. Arus ini sangatlah besar, bisa dibilang Dewan Eksekutif Mahasiswa
Universitas (Dema-U) pun cenderung
sama.
Imbasnya, dalam 3 tahun hidup berdampingan dengan UKT, mahasiswa belum pernah
melahirkan suatu gerakan yang benar-benar progresif. Sekadar diskusi-diskusi
terbuka, audiensi-audiensi omong kosong, dan advokasi-advokasi yang angka
keberhasilannya sangatlah kecil.
Dampak pandemi Covid-19 turut
menggebuk seluruh lapisan ekonomi masyarakat sehingga mengantarkan dua arus tersebut berada dalam satu titik yang sama—lebih luas lagi. Sama-sama merasa keberatan menganai pemberlakuan UKT di
tengah pandemi, sama-sama berpikir untuk harus peduli menganai persoalan UKT. Hal itu terbukti dengan ramainya aspirasi dan kritik
mahasiswa di berbagai laman media sosial—Twitter, Instagram, dan Whatsapp. Hampir semuanya sepakat
bahwa pandemi berdampak pada tiap individu mahasiswa dan keadaan ekonomi
keluarganya. Memberikan keringanan UKT oleh Kementrian Agama ataupun pihak universitas sendiri seharusnya adalah suatu kewajaran.
Di titik inilah, patut dipertanyakan kembali arah perjuangan yang harus disepakati—menolak UKT sebagai suatu sistem atau sekadar
melahirkan kebijakan keringanan UKT di masa pandemi? Putuskanlah sebelum lebih jauh perjuangan melangkah, sebelum
masturbasi-masturbasi sia-sia kembali diterima.
Masturbasi-Masturbasi Perjuangan
Kala ini, mahasiswa masih menjalani perkuliahan mereka sebelum Ujian Akhir Semester menyambut.
Jadwal pembayaran UKT masih
sekitar satu bulan lagi, mahasiswa beserta gerakannya masih mempunyai kesempatan lebih matang dalam
menyiapkan segala amunisi perjuangan. Mulai dari landasan tuntutan, dialog
solidaritas, atupun persiapan teknis mengenai tim dan massa aksi. Dari semua
persiapan yang harus disiapkan, penting adanya untuk memanfaatkan momen berada dalam satu titik yang sama—peduli UKT—adalah mempelajari kesalahan dari perjuangan sebelumnya.
Jika sudah tiga tahun UKT diberlakukan, artinya 75% mahasiswa merasakan pemberlakuan sistem
UKT jika sederhananya ada
empat angkatan mahasiswa aktif. Jika dalam kurun waktu tiga tahun tersebut UKT dapat
diterapkan tanpa hambatan penolakan berarti, artinya sebagian besar mahasiswa
bersikap menerimanya—meski mungkin beberapa secara terpaksa. Logika
sederhana tersebut menyiratkan, sangatlah kecil kemungkinan gerakan mahasiswa
berhasil kalau memakai narasi utama tolak sistem UKT secara kesuluruhan.
Gerakan juga menjadi tumpul jika aktor-aktornya bersifat eksklusif—artinya, hanya digerakkan Dema-U serta beberapa fakultas yang seafiliasi arah
politik ekstra kampus. Perlu dibentuk semacam aliansi inklusif, mencakup
seluruh organisasi intra, komunitas, individu, dan membersihkan diri dari organisasi eskternal kampus serta melempar jauh-jauh penokohan figur.
Tujuannya supaya gerakan kali ini tidak lagi menjadi sebuah masturbasi—menikmati perjuangan tanpa esensi keberhasilan.
*Penulis
merupakan Mahasiswa
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta.