Oleh: Maulana Ali Firdaus*
Diskursus keagamaan selalu
menjadi hal yang menarik untuk diulik, khususnya kajian mengenai tradisi
keislaman maupun interpretasi ajarannya dalam proses interaksi sosial. Dengan
jumlah penganut mencapai 225 juta jiwa, Islam menjadi agama yang paling banyak
dianut oleh masyarakat Indonesia, dengan presentase 87 persen dari total 267
juta populasi. Sehingga merupakan hal yang wajar jika bahasan keagamaan tak
menjadi persoalan tabu untuk dikaji. Bahkan, bahasan mengenai agama kerap
muncul sebagai aktivitas konvensional yang cukup menjual dalam proses
signifikansi status sosial, meski acapkali terdapat silang pendapat.
Seperti diskursus mengenai periode awal
masuknya Islam ke Nusantara, hal itu juga masih menjadi persoalan banal yang
diperdebatkan para sejarawan. Pun sawalanya yang bervariasi, sebagian percaya
bahwa Islam masuk pada abad ke-7, sebagiannya lagi percaya pada abad ke-13.
Bagaimana pun, dialog mereka perlu diapresiasi, meski barangkali, sebagian dari
kita menilainya sekilas seperti wau melawan angin (baca: perbuatan yang
sia-sia).
Namun, rasionalisasinya menjadi lebih
kompleks tatkala diskursusnya beranjak lebih fundamental, seperti bahasan
mengenai tauhid, fikih, dan serba-serbinya yang semakin menambah kompleksitas
eksplorasi serta ekspansi upaya memahami ajaran Islam. Hal tersebut
mengindikasi lahirnya sekte-sekte dalam Islam dengan ideologi yang beragam. Di
beberapa negara, seperti di Indonesia, penganut sekte tersebut saling
berintegrasi dalam suatu wadah organisasi struktural yang mendapat legalitas
operasional dari negara.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui
tulisannya dalam Majalah Prisma menyatakan, bahwa gerakan-gerakan alternatif
yang berlandaskan aspirasi keagamaan itu lahir dari kemampuan mereka dalam
merumuskan sumber-sumber ajaran agama. Normalnya, gerakan tersebut memiliki
andil besar terhadap aspek politik, terutama dalam negara republik yang dihuni
mayoritas muslim. Terkadang hal itu juga memengaruhi masyarakat melandaskan
ideologinya ketika menjalani interaksi sosial.
Saat memasuki era digitalisasi, alih-alih
membuat kesadaran beragama memudar, intensitas distribusi dogmanya justru malah
semakin melebar. Agama semakin berekspansi ke dalam segala sisi, dari politik
hingga hiburan, tak hanya ditemui dalam aktivitas seremoni maupun ritual. Di
layar kaca—televisi, penonton dapat menyaksikan beragam tayangan khotbah dari
para dai kondang dengan petuah-petuah keagamaannya yang dapat diakses dari
berbagai saluran.
Saat menyadari bahwa kemajemukan adalah
identitas bangsa Indonesia, maka tayangan dakwah itu pun akhirnya memiliki
target pasar tersendiri. Tak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar dari kita
mungkin berasumsi bahwa dakwah telah menjadi salah satu komoditas komersil
dengan prospek bisnis yang menggiurkan. Sehingga tantangan selanjutnya bagi
pelaku dakwah adalah berinovasi dengan beradaptasi melalui teknologi yang
selaras perkembangan zaman.
Fenomena tersebut dapat kita saksikan
dalam serial animasi Nussa yang mendapat respon serta antusiasme fantastis di
masyarakat. Dalam sekali penayangan di saluran YouTube-nya: Nussa Official,
animasi islami ini kerap mengundang hingga puluhan juta penonton. Rekor
terbesarnya tercatat dalam seri berjudul “Jangan Asal Makan”, yang telah tayang
sebanyak 54 juta kali sampai tulisan ini dibuat. Asal menugal adalah benih,
animasi garapan Studio Little Giantz dan 4Strip Productions ini sejak 2019 lalu
telah diangkat ke saluran televisi NET TV guna menyemarakkan suasana bulan
ramadan, sementara kini hak siarnya telah beralih ke saluran Trans 7.
Animasi Nussa menyajikan tampilan visual
yang menakjubkan untuk sekelas produksi dalam negeri, pun setiap karakter yang
ditampilkannya begitu apik dipadu dengan impresi pengisi suara yang terkesan
lugas dan natural. Dengan berbawakan materi keislaman, mungkin tak butuh waktu
lama bagi orang tua tuk memikirkan apakah tontonan ini layak atau tidak untuk
disaksikan oleh putra-putrinya tersayang. Terlebih substansi yang dibawakannya
diharapkan dapat melatih anak menjadi pribadi yang bermoralitas tinggi dengan
jiwa religius.
Di lain sisi, substansi materi yang
tersaji dalam animasi Nussa mungkin tak jadi persoalan bagi masyarakat awam.
Meski demikian, serial animasi ini bukan berarti bebas dari kritikan. Ada salah
satu tulisan pada situs islami.co yang berjudul: “Sisi Lain Nussa-Rara,
Menyaksikan ‘Islam Kaku’ Diajarkan via Layar Televisi Kita”. Tulisan tersebut
ditulis oleh Supriansyah. Ia berpendapat bahwa materi yang terkandung dalam
animasi Nussa terlalu kaku, karena dinilai menonjolkan sisi ajaran Islam yang
terkesan formalistik dan simbolis.
Dasar argumennya tersebut diwakili oleh
beberapa tayangan episode Nussa. Seperti pada episode “Bukan Mahram”, yang
menampilkan adegan di mana Nussa tidak mau bersalaman dengan seorang wanita
yang tak dikenalnya, meskipun pada akhirnya ia kemudian mau bersalaman, setelah
mengetahui bahwa wanita tersebut adalah tantenya. Begitu pula dengan materi
pada episode “Toleransi” yang menggambarkan kasus serupa—tak mau bersalaman.
Menurut Supriansyah, hal tersebut dinilai menunjukkan dangkalnya pemahaman
keislaman yang ditampilkan dalam animasi Nussa.
Selain itu, ia juga mengkritisi model
busana para karakter yang dinilai terlalu menunjukkan simbol-simbol kesalehan,
seperti baju koko; gamis; hijab; nikab; dan ornamen lainnya yang menurutnya ‘kearab-araban’.
Kekhawatiran tersebut muncul karena visualisasi busana yang ditampilkan
seolah-olah memberikan kesan bahwa model pakaian menjadi suatu standar untuk
menakar keimanan. Tak ketinggalan, ia juga berujar bahwa animasi ini berusaha
menghilangkan imaji anak-anak Indonesia akan dinamika masa kecilnya, serta
mendegradasi nilai-nilai kebangsaan yang seharusnya dapat mereka pelajari sejak
dini.
Oleh sebab itu, Supriansyah mencoba
memantapkan argumen dengan menggulirkan beberapa kasus di atas sehingga dapat
melabelinya dengan istilah “Islam Kaku”. Barangkali dari hal tersebut muncul di
benak kita sebuah pertanyaan: apa yang dimaksud dengan Islam Kaku? Jika merujuk
pada pernyataan Supriansyah, maka Islam Kaku mungkin dimaknai sebagai upaya
implementasi ajaran Islam yang hanya bermodalkan ornamen simbolis serta
pemahaman tekstual, tanpa melibatkan rasionalisasi serta diskursus keagamaan
secara ilmiah yang umumnya dihasilkan melalui berbagai kajian fikih.
Hal itu tak berarti membuat perhatian kita
hanya tertuju pada intisari bahasan dari kritik Supriansyah. Memahami
penyematan istilah ‘kaku’ yang disandingkan dengan nama Islam merupakan suatu
hal kompleks yang perlu ditelisik secara lebih mendalam, terlebih hal itu telah
menuai polemik di kalangan penggemar serial animasi Nussa. Untuk meluruskannya
maka kita perlu menghadirkan esensi bahasan proporsional yang tidak menggunakan
sandaran argumen ideologis agar tidak menunjukkan tendensi terhadap pemahaman
kelompok manapun.
“Islam Kaku” secara konteks tidak dapat
disalah artikan sebagai kekakuan dari segi materil. Untuk memahami Islam
dibutuhkan pendalaman komprehensif dengan tanpa melalui penyimpulan sepintas
agar terjadi rasionalisasi dalam berpikir dan fleksibilitas dalam bertindak.
Meski pada kenyataannya hingga saat ini masih terdapat beberapa perdebatan
klise terkait aturan-aturan hukum dalam Islam, seperti kewajiban menutup aurat,
mengucapkan salam atau selamat hari raya terhadap agama lain, bahkan hingga
persoalan gestur dalam ritual peribadatan sekalipun.
Oleh karena itu berkat karunia Allah Yang Maha Kuasa, manusia diberikan akal serta pikiran untuk merumuskan sendiri persoalan duniawinya baik dalam urusan hukum maupun muamalah, bahkan urusan ukhrawi sekalipun, yang ditandai dengan lahirnya empat imam mazhab diikuti para ulama sebagai pewaris para nabi. Acapkali dalam merumuskan hukum mereka saling bersilang pendapat, namun tak berarti membuat mereka enggan untuk menghargai pendapat yang lainnya.
Berkenaan dengan kasus tersebut, terdapat sebuah kisah menarik yang terjadi antara Imam Malik dan Imam Syafi’i. Sebagaimana yang kita ketahui Imam Syafi’i adalah murid dari Imam Malik. Meski begitu, Imam Malik selalu memperlakukan Imam Syafi’i dengan hormat, selayaknya ia memperlakukan siapa pun yang menuntut ilmu kepadanya. Tak selamanya murid meniru persis apa yang diajarkan gurunya, tak terkecuali dengan apa yang terjadi antara Imam Syafi’i dan Imam Malik.
Perbedaan paling mencolok antara mereka berdua adalah pendapat mengenai bacaan doa kunut ketika salat subuh. Dalam beberapa kesempatan mereka berkali-kali bergiliran menjadi imam salat subuh. Saat tiba giliran menjadi imam, Imam Syafi’i selalu membaca kunut dalam salat subuhnya. Imam Malik dikenal dengan ajarannya yang tidak menggunakan doa kunut dalam salat subuh pun tidak pernah melayangkan protes, ia tetap menghargai apa yang dilakukan muridnya. Begitu pula saat giliran Imam Malik memimpin salat, pun tak jadi persoalan bagi Imam Syafi’i meski gurunya tak membaca doa kunut.
Kisah mengenai toleransi dalam pemahaman agama juga dapat kita petik dari beberapa tokoh bangsa. Salah satunya adalah kisah antara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang kala itu memegang kendali ormas Nahdlatul Ulama (NU) dengan AR Fachruddin (AR) yang merupakan pemimpin ormas Muhammadiyah. Dalam sebuah kesempatan di bulan ramadan, kala itu AR berkesempatan memimpin jalannya salat tarawih di Pesantren Tebuireng—tempat di mana Gus Dur dibesarkan, yang mana menjadi basis pencetak kader Nahdlatul Ulama.
Masyarakat nahdliyin dikenal dengan kebiasaan melakukan tarawih sebanyak 20 rakaat, sementara itu masyarakat Muhammadiyah dikenal karena kebiasaan melakukan tarawih sebanyak 8 rakaat. Kala AR diminta menjadi imam saat itu, terjadi peristiwa jenaka yang cukup menggelitik mengundang tawa. Sebelum salat dimulai, AR menawarkan jemaat berapa jumlah rakaat tarawih yang ingin mereka tunaikan, sontak mereka semua menjawab agar salat ditunaikan sebanyak 20 rakaat sebagaimana warga NU biasanya.
AR pun mengiayakan keinginan mereka itu dengan menunaikan tarawih sebanyak 20 rakaat. Namun saat melangsungkan salat, AR malah membaca surat-surat panjang, ia juga sengaja memperlambat bacaannya hingga saatnya tiba di rakaat ke-8, durasinya justru telah melewati salat tarawih yang 20 rakaat. AR pun berhenti sejenak untuk menawarkan apakah tarawihnya hendak dilanjutkan sampai 20 rakaat sebagaimana kebiasaan warga NU, atau berhenti pada rakaat ke-8 seperti kebiasaan warga Muhammadiyah. Dengan tawa menggelegak para jemaat itu pun serentak menjawab agar tarawihnya dilakukan seperti orang Muhammadiyah saja.
Sejatinya perbedaan pendapat bukanlah hal yang tabu dalam Islam, justru hal itulah yang membuat Islam nampak istimewa. Menandakan bahwa realita tersebut sangat bertentangan dengan konsep yang menyebut bahwa Islam memiliki ajaran yang kaku, padahal sejatinya hal itu merupakan pilihan masing-masing individu menurut lingkup sekte yang mengasosiasi pemahaman mereka. Hal itu justru semakin mengisyaratkan akan fleksibilitas dalam ajaran Islam.
Celakanya, Supriansyah nampak totalitas dalam menjustifikasi hal-hal yang menurutnya sebagai ornamen kesalehan simbolik sebagai suatu perilaku yang kaku dalam beragama. Dalam urusan bersentuhan dengan lain mahram misal, hal itu memang masih menjadi perdebatan. Hanya karena dalam adegan tersebut ditampilkan satu hukum tak lantas membuat kita menjustifikasinya sebagai pengetahuan beragama yang dangkal.
Menanamkan pengetahuan secara eksplisit dan fundamental terhadap anak merupakan suatu hal yang wajar, lagipula anak tidak akan selamanya kecil, ia akan terus tumbuh lalu mengeksplorasi pengetahuannya secara bertahap hingga dewasa secara matang. Ketika pengkritik mengatakan bahwasanya hal-hal tersebut merupakan bentuk kekakuan dalam beragama, maka yang penulis khawatirkan adalah justifikasi dari pernyataannya itu malah mengarah kepada substansi hukum dari ajaran agama itu sendiri.
Jean Piaget mengatakan bahwa anak dapat membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri. Dalam pandangan Piaget, terdapat dua proses yang mendasari perkembangan dunia individu, yaitu pengorganisasian dan adaptasi dengan lingkungan. Lagipula terlalu dangkal untuk menyimpulkan bahwa tontonan dapat secara signifikan mempengaruhi perilaku anak di kehidupan nyata. Tayangan Nussa sendiri telah diberi rating Remaja-Bimbingan Orang Tua (R-BO) yang berarti animasi ini merekomendasikan pengawasan orang tua dalam penayangannya.
Soal hilangnya narasi kebangsaan dalam animasi Nussa yang dikritisi Supriansyah juga cukup membuat penulis menggeleng-geleng kepala. Menurutnya, animasi Nussa sama sekali tidak mencerminkan semangat kebangsaan dan kebhinnekaan, ia lalu mengkomparasikannya dengan animasi Upin & Ipin yang menurutnya menampilkan keberagaman etnik. Menurut hemat penulis pribadi pemahaman tersebut justru terlalu tendensius dan menyiratkan keberpihakan pengkritik terhadap sekelompok asosiasi ideologi tertentu. Lagi pula nama Nussa beserta adiknya yang bernama Rara sudah cukup untuk merepresentasikan kesan “Nusantara” dalam animasi ini.
Diksi “Kaku” jika ditilik secara etimologi bermakna: keras; tidak bisa dilentukkan; sukar diberi tahu; atau tidak luwes. Keyakinan penulis akan penyematan makna “Islam Kaku” oleh Supriansyah justru malah semakin menguatkan asumsi penulis bahwa kekakuan itu justru dihadirkan oleh Supriansyah selaku pengkritik, yang tidak menampilkan keluwesannya dalam menyikapi fleksibilitas ajaran Islam. Pendapatnya mengenai ketidakluwesan penggambaran hukum fikih dalam animasi Nussa justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Satu hal yang penulis pelajari adalah terkadang perbedaan pendapat terjadi bukan karena keinginan untuk mengoreksi, melainkan hanya karena hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang tidak kita sukai. Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis ingin mengutip pernyataan John F Kennedy—jika kita tidak bisa mengakhiri perbedaan-perbedaan kita, paling tidak kita dapat membantu dunia aman untuk keanekaragaman.
Oleh karena itu berkat karunia Allah Yang Maha Kuasa, manusia diberikan akal serta pikiran untuk merumuskan sendiri persoalan duniawinya baik dalam urusan hukum maupun muamalah, bahkan urusan ukhrawi sekalipun, yang ditandai dengan lahirnya empat imam mazhab diikuti para ulama sebagai pewaris para nabi. Acapkali dalam merumuskan hukum mereka saling bersilang pendapat, namun tak berarti membuat mereka enggan untuk menghargai pendapat yang lainnya.
Berkenaan dengan kasus tersebut, terdapat sebuah kisah menarik yang terjadi antara Imam Malik dan Imam Syafi’i. Sebagaimana yang kita ketahui Imam Syafi’i adalah murid dari Imam Malik. Meski begitu, Imam Malik selalu memperlakukan Imam Syafi’i dengan hormat, selayaknya ia memperlakukan siapa pun yang menuntut ilmu kepadanya. Tak selamanya murid meniru persis apa yang diajarkan gurunya, tak terkecuali dengan apa yang terjadi antara Imam Syafi’i dan Imam Malik.
Perbedaan paling mencolok antara mereka berdua adalah pendapat mengenai bacaan doa kunut ketika salat subuh. Dalam beberapa kesempatan mereka berkali-kali bergiliran menjadi imam salat subuh. Saat tiba giliran menjadi imam, Imam Syafi’i selalu membaca kunut dalam salat subuhnya. Imam Malik dikenal dengan ajarannya yang tidak menggunakan doa kunut dalam salat subuh pun tidak pernah melayangkan protes, ia tetap menghargai apa yang dilakukan muridnya. Begitu pula saat giliran Imam Malik memimpin salat, pun tak jadi persoalan bagi Imam Syafi’i meski gurunya tak membaca doa kunut.
Kisah mengenai toleransi dalam pemahaman agama juga dapat kita petik dari beberapa tokoh bangsa. Salah satunya adalah kisah antara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang kala itu memegang kendali ormas Nahdlatul Ulama (NU) dengan AR Fachruddin (AR) yang merupakan pemimpin ormas Muhammadiyah. Dalam sebuah kesempatan di bulan ramadan, kala itu AR berkesempatan memimpin jalannya salat tarawih di Pesantren Tebuireng—tempat di mana Gus Dur dibesarkan, yang mana menjadi basis pencetak kader Nahdlatul Ulama.
Masyarakat nahdliyin dikenal dengan kebiasaan melakukan tarawih sebanyak 20 rakaat, sementara itu masyarakat Muhammadiyah dikenal karena kebiasaan melakukan tarawih sebanyak 8 rakaat. Kala AR diminta menjadi imam saat itu, terjadi peristiwa jenaka yang cukup menggelitik mengundang tawa. Sebelum salat dimulai, AR menawarkan jemaat berapa jumlah rakaat tarawih yang ingin mereka tunaikan, sontak mereka semua menjawab agar salat ditunaikan sebanyak 20 rakaat sebagaimana warga NU biasanya.
AR pun mengiayakan keinginan mereka itu dengan menunaikan tarawih sebanyak 20 rakaat. Namun saat melangsungkan salat, AR malah membaca surat-surat panjang, ia juga sengaja memperlambat bacaannya hingga saatnya tiba di rakaat ke-8, durasinya justru telah melewati salat tarawih yang 20 rakaat. AR pun berhenti sejenak untuk menawarkan apakah tarawihnya hendak dilanjutkan sampai 20 rakaat sebagaimana kebiasaan warga NU, atau berhenti pada rakaat ke-8 seperti kebiasaan warga Muhammadiyah. Dengan tawa menggelegak para jemaat itu pun serentak menjawab agar tarawihnya dilakukan seperti orang Muhammadiyah saja.
Sejatinya perbedaan pendapat bukanlah hal yang tabu dalam Islam, justru hal itulah yang membuat Islam nampak istimewa. Menandakan bahwa realita tersebut sangat bertentangan dengan konsep yang menyebut bahwa Islam memiliki ajaran yang kaku, padahal sejatinya hal itu merupakan pilihan masing-masing individu menurut lingkup sekte yang mengasosiasi pemahaman mereka. Hal itu justru semakin mengisyaratkan akan fleksibilitas dalam ajaran Islam.
Celakanya, Supriansyah nampak totalitas dalam menjustifikasi hal-hal yang menurutnya sebagai ornamen kesalehan simbolik sebagai suatu perilaku yang kaku dalam beragama. Dalam urusan bersentuhan dengan lain mahram misal, hal itu memang masih menjadi perdebatan. Hanya karena dalam adegan tersebut ditampilkan satu hukum tak lantas membuat kita menjustifikasinya sebagai pengetahuan beragama yang dangkal.
Menanamkan pengetahuan secara eksplisit dan fundamental terhadap anak merupakan suatu hal yang wajar, lagipula anak tidak akan selamanya kecil, ia akan terus tumbuh lalu mengeksplorasi pengetahuannya secara bertahap hingga dewasa secara matang. Ketika pengkritik mengatakan bahwasanya hal-hal tersebut merupakan bentuk kekakuan dalam beragama, maka yang penulis khawatirkan adalah justifikasi dari pernyataannya itu malah mengarah kepada substansi hukum dari ajaran agama itu sendiri.
Jean Piaget mengatakan bahwa anak dapat membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri. Dalam pandangan Piaget, terdapat dua proses yang mendasari perkembangan dunia individu, yaitu pengorganisasian dan adaptasi dengan lingkungan. Lagipula terlalu dangkal untuk menyimpulkan bahwa tontonan dapat secara signifikan mempengaruhi perilaku anak di kehidupan nyata. Tayangan Nussa sendiri telah diberi rating Remaja-Bimbingan Orang Tua (R-BO) yang berarti animasi ini merekomendasikan pengawasan orang tua dalam penayangannya.
Soal hilangnya narasi kebangsaan dalam animasi Nussa yang dikritisi Supriansyah juga cukup membuat penulis menggeleng-geleng kepala. Menurutnya, animasi Nussa sama sekali tidak mencerminkan semangat kebangsaan dan kebhinnekaan, ia lalu mengkomparasikannya dengan animasi Upin & Ipin yang menurutnya menampilkan keberagaman etnik. Menurut hemat penulis pribadi pemahaman tersebut justru terlalu tendensius dan menyiratkan keberpihakan pengkritik terhadap sekelompok asosiasi ideologi tertentu. Lagi pula nama Nussa beserta adiknya yang bernama Rara sudah cukup untuk merepresentasikan kesan “Nusantara” dalam animasi ini.
Diksi “Kaku” jika ditilik secara etimologi bermakna: keras; tidak bisa dilentukkan; sukar diberi tahu; atau tidak luwes. Keyakinan penulis akan penyematan makna “Islam Kaku” oleh Supriansyah justru malah semakin menguatkan asumsi penulis bahwa kekakuan itu justru dihadirkan oleh Supriansyah selaku pengkritik, yang tidak menampilkan keluwesannya dalam menyikapi fleksibilitas ajaran Islam. Pendapatnya mengenai ketidakluwesan penggambaran hukum fikih dalam animasi Nussa justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Satu hal yang penulis pelajari adalah terkadang perbedaan pendapat terjadi bukan karena keinginan untuk mengoreksi, melainkan hanya karena hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang tidak kita sukai. Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis ingin mengutip pernyataan John F Kennedy—jika kita tidak bisa mengakhiri perbedaan-perbedaan kita, paling tidak kita dapat membantu dunia aman untuk keanekaragaman.
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.