Berita virus Corona makin lantang terdengar oleh
seluruh masyarakat baik di Jabodetabek maupun seluruh Indonesia. Namun, masih
ada isu yang diprediksi akan menjadi topik ‘hangat’ selama beberapa bulan ke
depan, yaitu Omnibus Law. Belum genap beberapa minggu, masyarakat yang
bersistem surveillance di saat berita Omnibus Law naik sejak tahun 2019
akhir, justru sekarang masyarakat bersikap acuh dan lebih memilih COVID-19
sebagai pandemi pembuat panik seluruh aspek. Wajar apabila media-media lebih
mengikuti kemauan khalayak, tetapi tidak bagi mereka yang bersimpati terhadap
wacana Omnibus Law tersebut.
Orang-orang awam menyebut Omnibus Law sebagai
sesuatu yang kejam. Memang apa, sih, Omnibus Law? Sebagaimana bahasa hukum lainnya, omnibus berasal dari bahasa
latin omnis yang berarti banyak. Melansir
dari situs The New York Times, Omnibus yaitu kendaraan ramai-ramai yang berarti,
segala sesuatu yang sangat luas antar dimensi, wajar apabila semua hal dapat
terkena baik efek baik dan buruknya. “For all”, diperkenalkan oleh Jacques
Lafitte di Paris tahun 1819-1820, pernah digunakan di London sejak 1829. Maka
dari itu, jangan heran kalau Omnibus Law menimbulkan opini dan kecaman dari
berbagai pihak. dari Pemerintah dan jajaran, akademisi, kelas menengah meliputi
pengusaha, dan kelas-kelas kecil yang dijadikan subjek dalam Omnibus Law. Di
dalam kaum-kaum kecil ini, muncul lagi para anak muda yang dikatakan kritis
serta bernuansa progresif. Progresif dalam quo budaya perpolitikan Indonesia
yang kejam sedari dulu. Istilah “Sosialis Milenial” dipinjam menggantikan
sebutan “Bibit-Bibit Komunis”. Jangan salah, mereka yang berani bersuara merupakan
kalangan yang berlatar belakang akademik yang baik dan berasal dari
tempat-tempat unggul. Sepertinya, bukan lagi menjadi suatu hal yang tabuh untuk
dibicarakan mengingat kita sudah di era reformasi. Berarti bebas, dong, untuk
kiri-mengkirikan tanpa ancaman layaknya masa-masa Orde Baru?
Selanjutnya, definisi ringan mengenai Omnibus Law
bisa dikatakan seperti ini: “Omnibus Law adalah aturan baru yang sengaja dibuat
untuk menggantikan aturan-aturan sebelumnya. Omnibus fokus mengurusi satu hal
dalam satu undang-undang, disebutlah sebagai Undang-Undang (UU) Sapu Jagat,
alias rujukan yang menyapu segalanya (UU sebelumnya)”. Definisi ini memang
bersifat umum dan tidak menimbulkan pertentangan. Namun ketika beberapa tokoh
yang mewakili suatu kelas berkata, “Omnibus Law merupakan UU yang membuat
sengsara”, maka pemahaman umum ini akan terhapus. Tiba-tiba, muncul suatu
gerakan #Gejayanmemanggil dan sebagainya. Merupakan sebuah bukti bahwa
masyarakat Indonesia tidak asal manut dan kritis. Presiden Joko Widodo menyebut
istilah Omnibus Law dalam pidato pertama setelah dilantik sebagai Presiden
Republik Indonesia periode 2019—2024 pada 20 Oktober 2019, bahwa Omnibus Law
terdiri atas dua UU besar, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan.
Jokowi mengatakan, Omnibus Law akan menyederhanakan kendala regulasi yang kerap
berbelit-belit dan panjang. Kedua, Omnibus Law tersebut diharapkan dapat
memperkuat perekonomian nasional dengan memperbaiki ekosistem investasi dan
daya saing Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi
global. Investasi dan daya saing merupakan kata-kata yang digarisbawahi dalam
Omnibus Law, tetapi tidak dengan kata-kata “ketidakpastian dan perlambatan
ekonomi global”. Wajar, dong, karena kata-kata yang digarisbawahi lebih memikat
motivasi rakyat untuk melihat peran pemerintah dalam membuat kesehjateraan. Bapak
Wakil Presiden saat Musyawarah Nasional V di Mataram sudah menyatakan Omnibus
sebagai langkah untuk membenahi kompleksitas dan obesitas peraturan, wong
negara ini banyak peraturan, kok! Para pemimpin kita sudah sadar. Pernyataan
presiden, wapres dan para menteri terkait berlaku sejak belum booming berita
terkait Corona. Presiden memberikan tanda bahwa RUU ini akan bersifat
problematis, pelik, dan menandakan tidak ada kepastian sampai seratus hari
setelah diserahkan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, pasca Corona di
China telah memberikan pernyataan bahawa pertumbuhan angka 5 persen perekonomian
belum bisa dikatakan ‘sempurna’ dalam proses mengajukan RUU Omnibus Law baik Perpajakan
dan Cipta Kerja. Alasan utama adalah mengundang investasi dan menstimulasi
perekonomian, berarti sudah ada ancang-ancang bahwa pemerintah masih belum bisa
memastikan Indonesia terkait Omnibus Law ke depan. Pihak reseh adalah
pihak-pihak yang belum memahami konsep RUU Omnibus Law namun sudah memberikan
pernyataan, pihak-pihak ini yang justru memperkeruh suasana baik yang mendukung
maupun yang berlawanan, terbayang bukan gara-gara mereka satu Indonesia dibuat baper terhadap peran pemerintah dengan
problematika sosial-politik ditambah rakyatnya yang sudah kritis? Ada lagi
pihak-pihak berlatar akademis yang memberikan pendapat bahwa Omnibus Law
merupakan sebuah jawaban dari ketimpangan yang terjadi di Indonesia di era Industri
4.0. Pihak ini juga berisi orang-orang yang memang paham mengenai konsep
Omnibus Law, tetapi tidak dapat melakukan apa-apa selain absolutnya penetapan
dari pemerintah yang lebih mendengarkan protes kaum-kaum ‘subjek’ dalam Omnibus
Law yaitu para buruh. Penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi,
ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, riset dan
inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi (menghapus pidana),
pengadaan lahan, serta kemudahan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi
merupakan jawaban dari para akademisi ternama atas Omnibus Law, menilai bahwa
Omnibus Law tepat atas kondisi ekonomi Indonsia saat ini.
Kaum kiri milenial yang kekinian bin kritis
mengatakan bahwa Omnibus Law itu kurang ajar, kapitalisme itu berkuasa di
Indonesia. Ingat, bahwa kaum ini mendukung buruh, maka aturan ini merugikan
karena banyak hak buruh yang hilang. Misalnya, dimudahkannya PHK, dihapuskannya
cuti-cuti penting seperti cuti haid dan melahirkan, diturunkannya jumlah
pesangon, diperluasnya pekerjaan yang menggunakan sistem kontrak dan alih daya
yang bikin terputusnya kontrak kerja. Terlebih lagi, tidak leluasa untuk
berserikat karena terus bekerja agar mencapai target yang ditentukan oleh
perusahaan, upah berkurang kalau tidak mencapai target. Sistem ini seperti yang
diterapkan industri konveksi di Indonesia, yang buruhnya adalah ibu-ibu, kita
sebut saja PT. Sistem ini berlaku di China, bahkan di film American Factory sudah digambarkan sedemikan rupa bahwa setiap
adegan terkait dengan Omnibus Law itu, “Sempurna karena menyakitkan”. American Factory memberi bukti bahwa
para pekerja China itu lebih gesit, terampil, gak merugikan daripada pekerja
Amerika. Sama halnya dengan para pekerja di Indonesia, lebih banyak libur namun
tidak maksimal dalam bekerja. Wajar, banyak investor lebih tertarik membangun
industri di negara-negara dengan gaji buruh rendah lainnya, Thailand serta
Vietnam. Dalam hal ini, Ombinibus Law memiliki peran ganda dalam menguntungkan
investor, pengusaha, juga pemerintah.
Terus yang diributkan kaum-kaum ‘subjek’ dalam
Omnibus Law itu apalagi selain di atas? Jawabanya adalah persaingan suara
antara pendukung RUU Omnibus Law dengan penolaknya yaitu kaum buruh dan kaum
kiri milenial, kira-kira suara siapa yang bakal didengar petinggi negara? Muncul
kaum kiri milenial yang bersuara atas kisruh yang terjadi, yaitu pembentukan
demokrasi seluas-luasnya yang berisi pembentukan Dewan Komunal dan diisi oleh
kelas pekerja dan komunitas sipil nonswasta. Pemerintah disini sebagai pengawas
politik dan ekonomi. Bagaimana? Solusi ini dianggap brilian oleh sebagian kaum
muda sisi kiri. Hak-hak buruh menjadi lebih utama karena pengaturnya adalah
mereka sendiri. Bahasa halusnya adalah, “Rakyat untuk Rakyat”. Keren, bukan?
Solusi ini terbukti membuat suara pendukung RUU
Omnibus Law yang di sini didominasi buzzerRp, kalah suara. Apalagi terkait
pernyataan Menteri Muhadjir untuk menikahi orang miskin sebagai solusi, kalah
suara dalam satu waktu kali ini. Tetapi, solusi kaum kiri Milenial dianggap
tidak berpikir panjang, cenderung buru-buru dan tak paham realita. Mengapa? Yang
pertama adalah penerapan solusi tersebut di Uni Soviet, Venezuela dinilai gagal
dan lihatlah kedua negara tersebut, ambil contoh Venezuela saat ini. Utopia
kaum kiri menganggap penerapan ini berdasarkan pemikiran murni orang-orang
terpilih dan berbakat, namun tidak relevan. Utopia lainnya terkait dalam
penyiksaan terhadap kapitalis dan penganutnya, dengan penerapan pajak selangit
bagi swasta, nasionalisasi Bank, keuangan dan membangun poros kekiri-kirian
demi melawan Amerika sebagai penguasa. Impian utama sosialis adalah ‘sama
rata’, tidak ada kesenjangan. Bukankah tidak ada sesuatu berati disitulah
masalah bersumber? Kita harus realistis bahwa tiap invidu saja berbeda, apalagi
kebutuhan baik primer, sekunder dan tersier. Kaum kiri milinial pun pasti diam
apabila ditanya, “Kebutuhan kalian apa saja untuk lima tahun ke depan?”,
jawabanya berbeda dari setiap invidu, sama rata di sini bersifat omong kosong.
Secara logika, solusi atas RUU Omnibus Law dari kaum kiri milenial seperti dua
orang rajin kerja membagi penghasilan kepada dua orang pekerja malas, adil dan
tidak ada yang lebih maupun kurang. Omnibus Law di sini justru mencabut kedua
orang malas tersebut agar siapa yang bekerja maksimal mendapatkan haknya.
Yang kedua adalah, pajak yang tinggi membuat
investor malas untuk menanamkan sektor perindustrian di suatu negara, sekelas
Amerika pun juga sadar hal ini bersifat celaka. Faktanya, Omnibus Law juga bukan
barang baru. Di Amerika Serikat, Omnibus Law sudah kerap kali dipakai sebagai
UU lintas sektor. Ini membuat pengesahan Omnibus Law oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) bisa langsung mengamandemen beberapa UU sekaligus. Tidak ada di
negara ini yang mau melakukan hal tersebut karena berefek besar (lihat definisi
Omnibus). efeknya adalah perekonomian yang tidak berjalan dan yang besar adalah
para teknorat yang memilih negara lain sebagai tempat paling nyaman untuk
hidup. Nasionalisasi dijalankan sebagai perisai akibatnya sepi investor, tetapi
apakah masyarakat di sini khususnya Indonesia mengerti dengan konsep dan batasan-batasan ekonomi ?,
kaum kiri milenial tidak memikirka hal ini matang-matang. Rakyat sebagai subjek
di sini hanya peduli dengan barang murah, semuanya murah. Tidak peduli
bagaimana caranya, sampai kapanpun.
Era Presiden Chavez dalam penerapan solusi kaum
kiri memang berakibat positif, namun tumbang seiring waktu berjalan. Ingatlah
Venezuela ditangguhkan karena minyak, ketika suatu komoditi mulai terganggu
disitulah perubahan dan mengakibatkan efek-efek bersifat masif. Masif di sini
adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap dewan Komunal yang disebut
sebagai wakil rakyat dalam perekonomian, lahirnya sifat otoriter merupakan
resiko dalam hal ini. Dewan Komunal itu sama seperti halnya sistem monarki,
pasti melibatkan oligarki, loh, kenapa ? karena dalam proses pemilihan tersebut
pasti membentuk lingkaran setan masing-masing. Baik diawali satu invidu sampai
akhirnya membentuk sebuah kelompok besar, atas sebuah kepercayaan maka
dibangunlah sebuah oligarki atas nama mewakili rakyat yang sah. Sebut saja
Oligarki Sosialisme.
Uni Sovyet, Venezuela, China masa-masa Komunis
pimpinan Mao Zedong merupakan contoh penerapan Oligarki Sosialisme. Apa yang
lucu? Mereka menjadi apa yang mereka benci sedari dulu. Layaknya siklus, dari
seorang pembenci menjadi pelaku yang dibenci. Di Indonesia sendiri, Perdana
Menteri Natsir mengganti rugi atau nasionalisasi atas aksi kaum Marhaenis
terhadap perusahaan Belanda. Kaum kiri menganggap sistem sosialis di Indonesia
gagal karena KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) padahal karena penjarahan
orang-orang terkait, para orang asli Indonesia, dan Indo-Belanda. Melihat China
sekarang, mereka pun tidak akan menerapkan apa yang diimpikan kaum kiri murni,
kapitalisme masih ada walau tidak dominan. Bagi kaum kiri milenial, seharusnya
sadar rakyat Indonesia masih menempati minat literasi terendah di dunia, pasal
Omnibus Law saja 1.200 Halaman. Saran kecil untuk pemerintah, jika ingin
meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, kita bisa melakukannya tanpa harus
pakai Omnibus Law, karena jika melihat apa yang terjadi di Indonesia,
peningkatan sektor industri itu tidak selamanya sebanding dengan penyerapan
tenaga kerja. Buktinya, data yang dirilis BKPM di tahun 2018 yang mana nilai
investasi kita lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, penyerapan tenaga
kerja hanya 0,8 juta tenaga kerja saja. Padahal di tahun-tahun sebelumnya
selalu mencapai angka satu juta, perubahan ini bisa menjadi latar belakang
untuk RUU Omnibus Law.
Apabila ingin mengejar investasi, pertumbuhan
investasi di Indonesia sudah bisa dikatakan bagus namun belum perfect seperti
apa yang dikatakan Ibu Sri Mulyani. Fakta menunjukan bahwa pertumbuhan tersebut
lebih tinggi ketimbang Malaysia, Afrika selatan, juga Brazil. Khusus di ASEAN,
Indonesia menepati tempat paling tinggi. Begitu juga di kawasan Asia, Indonesia
juga jadi negara yang paling diminati investor setelah China dan India.
Mengutip pernyataan Faisal Basri, “Seharusnya pemerintah bukan lagi
ngotak-ngatik aturan tenaga kerja, tapi melakukan pembenahan regulasi dan
melakukan pengelolaan keuangan negara dengan cara yang lebih ketat”. berkaca
atas kasus Jiwasraya dan Asabri, menunjukan bahwa permasalah utama ada di aspek
pengawasan. Faisal Basri memiliki pandangan berbeda mengenai Omnibus Law. Ia
menilai RUU Cipta Lapangan Kerja melemahkan posisi pemerintah daerah dan buruh.
"Terjadi shifting, pemerintah pusat dan bisnis akan lebih kuat,".
terbukti dengan penolakan beberapa pejabat daerah contohnya, Walikota Bogor.
Hal selanjutnya, permasalahan yang menimbulkan
kontroversi disebabkan oleh pembuatan draf RUU yang berlangsung tertutup dan
hanya melibatkan pengusaha, khususnya Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Indonesia. Ia juga memprediksi RUU ini bakal lolos dengan mudah di DPR karena
74% anggota DPR adalah partai pendukung pemerintah. Faisal mengatakan, tujuan
omnibus law untuk menciptakan lapangan kerja kurang relevan karena angka
pengangguran terus menurun. Dari sisi investasi, pertumbuhan investasi juga
dinilai tidak terlalu buruk. Apalagi, persepsi investor asing terhadap
Indonesia terus membaik.
Bila kita melihat kilas balik, Pemerintah
sebenarnya juga memiliki argumen dalam penguatan peran paling lurus dan absolut
seperti menyiapkan bukti keseriusan pemerintah dalam menanggapi kesehjateraan
buruh yang dipertanyakan oleh penolaknya, Presiden memutuskan untuk menambah
program jaminan sosial bagi buruh, yaitu jaminan kehilangan pekerjaan. Tambahan
program jaminan sosial butuh tersebut tertuang dalam Omnibus Law (RUU) Cipta
Kerja (Ciptaker) yang telah diserahkan kepada DPR, pada Rabu 12 Februari yang
lalu. Melansir dari CNN, pemerintah menjelaskan tambahan tersebut pada bagian
ketiga tentang Jenis Program Jaminan Sosial. Jokowi mengubah beberapa ketentuan
dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Pada Pasal 18 UU Jaminan Sosial Nasional, Jokowi
menambahkan jaminan atas kehilangan pekerjaan. Dengan demikian, terdapat enam
jaminan sosial yang diberikan pemerintah dari sebelumnya lima jaminan
sosial.Keenam jaminan sosial yang dimaksud meliputi jaminan kesehatan, jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan
jaminan kehilangan pekerjaan. Kemudian antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan
lima pasal. Dalam poin tersebut dijelaskan bahwa pekerja atau buruh yang
mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) berhak mendapatkan jaminan kehilangan
pekerjaan. Peserta jaminan kehilangan pekerjaan adalah setiap orang yang telah
membayar iuran. BPJS Ketenagakerjaan akan bertanggung jawab menyelenggarakan
jaminan kehilangan pekerjaan. Buruh akan mendapatkan manfaat jaminan kehilangan
pekerjaan berupa pelatihan dan sertifikasi. Pemerintah juga akan memberikan
uang tunai serta memberikan fasilitas penempatan. Presiden juga mengungkap
besaran iuran jaminan kehilangan pekerjaan sebesar persentase tertentu dari
upah. Selanjutnya, pemerintah akan mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pemberian jaminan kehilangan pekerjaan melalui Peraturan Pemerintah.
Presiden Jokowi juga mengubah UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Khusus untuk BPJS Ketenagakerjaan kerjaan, Jokowi
menambahkan jaminan kehilangan pekerjaan sebagai program yang diselenggarakan
oleh BPJS Ketenagakerjaan. Namun dalam perkembangan yang berlangsung, sejak 12
Februari dalam melibatkan DPR, kritik dan protes langsung datang dari kelompok
serikat pekerja. Sepertinya, argumen yang diberikan presiden Jokowi masih
ditanggapi tidak serius oleh khalayak.
Mereka berpendapat pasal-pasal dalam aturan itu
hanya menguntungkan pengusaha, sama seperti tanggapan sejak awal. Tidak ada
kesehjateraan pastinya, hal itu membuat kaum serikat buruh panas dan berkata,
“Bicara investasi tapi malah mereduksi kesejahteraan buruh,” ucap Presiden
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Said Iqbal di sini mungkin
mewakili untuk melawan pendukung Omnibus Law. RUU ini juga tidak terlepas dari
problematik berbelit-berbelit, peran kaum kiri muda dianggap sebagai
pelurusnya. Muncul pertanyaan kembali, apa kesalahan pemerintah sehingga
memunculkan protes bahkan solusi dari kaum kiri muda yang selama ini berdiam
saja ?, jawabanya adalah dalam proses penyusunannya, pemerintah seakan
tertutup. Kaum-kaum yang menjadi subjek ‘Omnibus Law’ hanya tahu pihak
pengusaha terlibat dalam menyaring aturan itu, yang dipimpin Kamar Dagang
Indonesia atau Kadin. Akibatnya, isi dalam RUU Omnibus Law hanya berisi
kepentingan mereka, yaitu para pengusaha, investor, orang-orang kaya bin makmur
yang paham ekonomi. Seperti yang diketahui, usaha pemerintah dalam memuluskan
pembahasan Omnibus Law akan membentuk Satuan Tugas (Satgas). Omnibus Law yang
beranggotakan 127 orang. Anggota Satgas Omnibus Law terdiri atas perwakilan dari
kementerian atau lembaga-lembaga terkait, pengusaha, akademisi, kepala daerah,
dan tokoh-tokoh masyarakat. Ada nama-nama pengusaha besar yang masuk dalam
Satgas tersebut, antara lain CEO Lippo Group James Riady, Komisaris Utama
Bosowa Corporation Erwin Aksa, Komisaris PT Bakrie & Brothers Tbk Bobby
Gafur Umar, Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani, Wakil Ketua Kadin Bidang
Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial Anton J. Supit, Ketua Umum Indonesia
National Shipowners Association (INSA) Carmelia Hartoto, dan Wakil Ketua Kadin
Bidang Perindustrian Johnny Darmawan. Beberapa kepala daerah juga masuk dalam
Satgas ini, seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Wali Kota Tangerang
Selatan Airin Rachmi Diany, dan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Hal ini
menjadi motivasi utama dalam isi solusi kaum kiri muda terhadap Omnibus Law.
Tidak ada oligarki itu adalah omong kosong!
Kaum kiri milenial Indonesia juga menyorot
terhadap aturan lingkungan hidup dalam Omnibus Law, hal itu telah bermasalah.
Berdasarkan pernyataan Lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Hidup
(Walhi) menyebut bahwa RUU Ciptaker dalam Omnibus Law memberikan keistimewaan
terhadap korporasi semata tanpa melibatkan keistimewaan lainnya. Ciri khas kaum
kiri milenial Indonesia yang serba kritis membuat hal ini dianggap suatu
persoalan rumit. Dalam pasal 34 Omnibus Law contohnya, UKL-UPL disampaikan
dalam pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup. Kewenangan dalam
pemberian Amdal akan berubah akibat RUU tersebut, konsep yang tadinya diatur
oleh pemerintah daerah, akan tidak jelas statusnya. RUU Ciptaker pun memberi
batasan administrasi mengenai gugatan kegiatan perusakan lingkungan. Hanya
orang yang terdampak langsung yang bisa melakukan hal tersebut. Atas dasar
itulah, kaum kiri milenial menganggap bahwa pemerintah akan membatasi tuntutan
rakyat dalam segala kerusakan yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan industri.
Kaum kiri menilai bahwa pemerintah tidak pro terhadap aspirasi rakyat, selain
dalam aspek pengawasan juga hal-hal penerapan bersifat gampang dilupakan salah
satunya, lingkungan.
Suara kaum kiri selanjutnya untuk para pendukung
Omnibus Law adalah cacatnya Omnibus Law terhadap Perubahan pasal UU Pers dalam
Omnibus Law. Hal ini menuai kritik. Apalagi dalam draf aturan yang baru,
pemerintah pusat berhak mengatur pengembangan usaha pers melalui penanaman
modal. Aturan yang lama hanya mengatakan penambahan modal asing pada perusahaan
pers dilakukan melalui pasar modal. Omnibus Law itu juga menaikkan pidana denda
bagi perusahaan pers yang melanggar aturan. Di UU yang lama dendanya paling
banyak Rp500 juta, sementara draf yang baru menyebut Rp2 miliar. Ada pula
sanksi administratif yang akan diatur dalam peraturan pemerintah. Kaum kiri
memberikan solusi dengan pemebentukan lembaga pers yang hanya berisi rakyat
untuk rakyat, padahal kita sadar bahwa profit merupakan alasan utama
berkembangnya suatu industri termasuk media pers. Kaum kiri dianggap masih
belum sadar kenyataan akan suatu hal yang sudah sering ditemukan. Sektor
industri media dianggap sektor paling berpengaruh dan mempengaruhi suatu
pemerintahan, di sinilah oligarki sosialisme tidak akan berjalan, kalau
prinsipnya saja dari rakyat untuk rakyat. Kembali ke pernyataan bahwa setiap
invidu memiliki kebutuhan berbeda satu sama lain.
Bisa diambil kesimpulan, kaum-kaum kiri milenial
khas Indonesia belum bisa memberikan solusi jitu dalam kekisruhan Omnibus Law.
Dalam hal ini, peran politbiro hanya bersifat memanaskan tanpa sadar realita. Maksudnya,
rakyat di sini masih bersifat gagap dengan pemahaman definisi masih amburadul
dan gampang terpengaruh pihak-pihak tertentu, lalu dibuatlah solusi untuk
rakyat yang tidak tahu paham atau engga untuk menjalankan apa yang dikatakan
solusi atas dasar teori Marxisme Komunisme. Tanggapan atas solusi ini adalah
tidak relevan namun, kita harus melihat sisi lainnya di mana apresiasi luar
biasa terhadap kaum muda Indonesia saat ini yang berani menunjukan sisi
kiri-Nya tanpa rasa takut, apalagi berani bersuara, seperti Bung Sutan Sjahrir
sebelum berantem dengan Ir. Soekarno. Bagi pendukung Omnibus Law, jangan hanya
berargumen tanpa didasari sisi historis dan paparan umum ambigu, berikan juga
solusinya agar tidak ada kisruh apalagi bikin chaos, amit-amit!
Rika Salsabila, Mahasiswi Jurnalistik Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2018.