Omnibus Law (OL) telah banyak diterapkan di berbagai negara
dengan tujuan untuk memperbaiki regulasi dalam rangka meningkatkan iklim dan
daya saing investasi. OL dikatakan bermanfaat untuk efisiensi proses perubahan
atau pencabutan serta menghilangkan tumpang tindih antara peraturan
perundang-undangan.
Staf Ahli Bidang Hubungan Ekonomi dan Politik, Hukum, dan
Keamanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Elen
Setiadi menyebutkan, tujuan OL di Indonesia ialah untuk
menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya secara merata. “Dengan cara kemudahan dan perlindungan usaha mikro kecil menengah serta perkoperasian, peningkatan
ekosistem investasi, kemudahan berusaha, peningkatan perlindungan dan
kesejahteraan pekerja, investasi pemerintah pusat, dan percepatan proyek strategis nasional,” ungkapnya, Rabu (11/3).
OL merupakan sebuah metode penyusunan undang-undang (UU). Omnibus berarti for everything dalam bahasa Latin. Ketua
Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi Elena Ekarahendy
mengatakan, OL merujuk pada satu regulasi baru yang dibentuk untuk menggantikan
lebih dari satu regulasi lain yang sudah berlaku serta menggantikan beberapa
pasal di satu regulasi dan saat bersamaan mencabut seluruh isi regulasi lain. OL
pun dapat disebut UU sapu jagat dalam padanan kata bahasa Indonesia.
Elena juga menjelaskan, rencana OL di Indonesia terdiri
dari UU Cipta Kerja (dahulu Cipta Lapangan Kerja), Kefarmasian, Pajak, dan Ibu
Kota Negara. Salah satunya ialah Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Cika) yang merevisi 79 UU dengan 1.244 pasal, betujuan memangkas prosedur hukum yang
dianggap menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Terdapat beberapa aspek terkait malapetaka RUU Cika. RUU tersebut dinilai tidak transparan dan
partisipatif karena bertolak belakang dengan kebutuhan masyarakat serta tidak
berdasar kemakmuran masyarakat. Elena juga menyebutkan, OL mensyaratkan
penghancuran ruang hidup lewat ekstraksi
sumber daya alam besar-besaran dan ekstraksi tenaga kerja manusia.
RUU Cika disebut dapat menimbulkan perbudakan modern bagi
buruh. Seperti contohnya kontrak kerja seumur hidup, penyesuaian kemudahan
pemutusan hubungan kerja, penghapusan upah lembur, dan potensi upah per jam.
Terlebih lagi, usaha mikro kecil menengah diatur tidak perlu mengikuti upah
minimum selama di atas garis kemiskinan. Penetapan upah minimum pun mengikuti
provinsi yang berpotensi lebih rendah dari kota/kabupaten dan sektoral. “Jadi
kalau hanya sekadar kerja, Belanda dan Jepang dulu juga bisa dibilang
menciptakan lapangan kerja,” ujar Elena, Rabu (11/3).
Menurut Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Indra Rahmatullah, perlu ada laporan penilaian terlebih dahulu apakah bangsa Indonesia mampu mengadopsi
Ominbus Law Cipta Kerja. Dari assessment report tersebut, akan ditemukan
kelebihan dan kekurangan ketika suatu negara menerapkan konsep Omnibus. “Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Vietnam, dinilai oleh World Bank,”
kata Indra, Selasa (3/17).
Indra juga berpendapat, penerapan sebuah RUU yang jelas harus
memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang undangan, yaitu asas formal
dan asas materiel. Hal tersebut terdapat dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan. “Bila kedua asas ini ditinggal, maka RUU tersebut
akan cacat hukum,” pungkasnya.
Mahasiswa Menolak Omnibus Law
Tak
hanya dari kalangan buruh, penolakan juga turut datang dari kalangan mahasiswa. Sejumlah Mahasiswa UIN Jakarta kembali menghidupakan
Aliansi #CiputatMenggugat yang mana juga melakukan aksi tolak RUU Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana silam. Sempat melakukan diskusi publik Omnibus Law Gak Bikin Selaw?, mereka pun melakukan aksi lanjutan untuk menolak OL
yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. “Kami ingin mengajak parah
mahasiswa satukan suara untuk tolak OL. Banyak sekali mahasiswa yang tidak tau
tentang OL, padahal nanti kita juga yang
bisa jadi merasakan dampaknya,” ungkap Harniti Diah selaku Koordinator Lapangan aksi tersebut, Senin (9/3).
Pengkajian
serupa juga datang dari pihak Dewan Eksekutif Mahasiswa
(Dema) UIN Jakarta. Ketua Dema-U Sultan Rivandi mengatakan, mereka
masih akan melakukan
pendalaman dan kajian strategis OL yang bermasalah dan terus berkoordinasi
dengan kelompok aliansi buruh. “Sejauh
ini, beberapa poin di dalam OL kami tolak,” ujar Sultan Rivandi saat diwawancarai ketika Dema-U menggelar
diskusi di depan sekretariatan dema, Senin (9/3).
Menurut Mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi
Hamid Maulana, ada berbagai hal yang membuat RUU Cika menjadi cacat dari segi hukum, sosial, bahkan moral. Banyak
aturan yang tak manusiawi bahkan hanya mementingkan kepentingan korporasi. Itu
adalah implikasi dari ramahnya pemerintah terhadap ladang uang mereka yakni
investor. Hamid
melanjutkan, aturan
pada OL akan memberatkan pekerja dan tentu sangat menguntungkan para
petinggi dari korporasi terkait.
Aldy Rahman