Situs Batujaya menjadi bukti
peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Walau tak semewah Borobudur, Candi Jiwa dan Blandongan
menjadi objek sejarah yang cukup berkesan.
Ketika
mendengar kata ‘candi’, banyak orang akan menggambarkan batu-batu yang
bertumpuk menjadi suatu bangunan besar. Nyatanya, sebuah candi tidak harus seukuran
layaknya Borobudur dan Prambanan serta berbahan dasar batu. Walau tak banyak
terdengar tentang peninggalan candinya, Jawa Barat memiliki suatu situs sejarah
yang cukup unik.
Situs
Batujaya namanya, berlokasi di Kabupaten Karawang. Menurut informasi yang Institut dapat dari salah seorang
pengelola Situs Batujaya—Sunarto, sampai saat ini, telah ditemukan 62 titik
sebaran candi di situs tersebut. Terdapat dua candi yang menjadi perhatian
utama. Mereka adalah Candi Segaran I dan Candi Segaran V—tumpukan bata yang berdiri
di tengah bentangan sawah luas di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya.
Candi
Segaran I pertama kali diekskavasi oleh Tim Arkeolog Fakultas Sastra (saat ini
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia pada 1985. Pada 1992, Candi
Segaran V pun dieksvakasi oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Selanjutnya,
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (saat ini Balai Pelestarian Cagar
Budaya) memugar hasil temuan eksvakasi. “Pemugaran dimulai tahun 1996 untuk
Segaran I dan tahun 2000 untuk segaran V,” ujar Sunarto, Minggu (10/11).
Candi-candi
tersebut juga memiliki nama lokal yang diberikan oleh masyarakat sekitar, Jiwa
dan Blandongan. Keduanya masih pada tahap pemugaran. Seperti halnya Candi Jiwa,
tampak beberapa bata dibongkar dan diberi nomor. Bata-bata tersebut kemudian
akan disusun kembali semula urutan aslinya. Beberapa gundukan candi yang masih
terkubur pun bisa dilihat di area Candi Blandongan.
Berdasarkan
informasi yang tertera, Candi Jiwa berukuran seluas 324 meter persegi dengan tinggi
kaki dan badan candi sekitar 3,5 meter. Candi ini tidak memiliki tangga atau
pintu untuk masuk ke dalamnya. Namun, ia memiliki jalan yang mengelilingi
candi—biasa disebut patha atau pradaksina)—selebar 1,2 meter. Hal
tersebut menjadi indikasi adanya ritual berjalan memutari bangunan searah jarum
jam.
Dinding
candi menggunakan pelipit rata—disebut ulttra—dan
pelipit setengah lingkaran—disebut kumuda.
Tersusun bata bergelombang bak bunga teratai pada bagian atas badan candi. Di
tengahnya, terdapat bangunan yang merupakan susunan bata melingkar—disebut rolak—dengan panjang 10 meter. Bentuk rolak tersebut menjadi dasar kemungkinan
bahwa bagian puncak candi yang sudah rubuh berbentuk stupa.
Candi
Blandongan lebih besar adanya, berukuran seluas 625 meter persegi dengan tinggi
sekitar 4,3 meter. Candi Blandongan memiliki tangga atau pintu masuk dengan
langkan pada setiap sisi candi. Gayanya tak sama, mengindikasikan tangga-tangga
tersebut tidak dibangun dalam satu masa. Relief badan candi juga memiliki ulttra dan kumuda, lengkap dengan pelipit bergerigi. Di bagian tengah, terdapat
sebuah bangunan seluas 100 meter persegi dalam kondisi tidak utuh.
Jauh
mundur ke masa lalu—menurut seorang ahli arkeologi Hasan Djafar, Candi Jiwa dan
Candi Blandongan merupakan candi tertua di Pulau Jawa, bahkan se-Nusantara. Percandian
Batujaya diperkirakan berasal dari masa Kerajaan Tarumanegara pada sekitar abad
V hingga VI masehi. Pembangunan kembali dilakukan pada abad VII hingga IX,
kemudian ditinggalkan karena banjir yang tidak bisa ditanggulangi.
Walau
bercorak agama Buddha, Candi Jiwa dan Candi Blandongan tak persis sesuai dengan
Tripitaka. Di negara asal agama Buddha—India, sisi-sisi candi dibangun searah
empat mata angin utama. Candi pun tidak dibangun di tempat pemakaman karena
dianggap tidak suci dengan adanya bangkai manusia.
Sedangkan
Candi Jiwa dan Candi Blandongan, sisi-sisinya menghadap diagonal mata angin
utama. Arah tersebut sesuai dengan hadap kubur nenek moyang mereka—barat
daya-timur laut. Di beberapa titik candi, ditemukan pula kerangka manusia
protosejarah. Hasan Djafar mengatakan, perbedaan tersebut menunjukkan kekuatan genius
lokal yang sangat tinggi. “Menerima unsur luar, tetapi juga menyesuaikan
prinsip religi nenek moyang mereka,” pungkas Hasan, Minggu (10/11).
Meskipun
pemugaran belum kunjung rampung, banyak pengunjung yang kerap kali mendatangi
Percandian Batujaya. Seperti halnya warga dari Kecamatan Tirtajaya, Kabupaten
Karawang. Bella Amelia bersama ketiga temannya mengunjungi Situs Batujaya untuk
sekadar berwisata. “Sudah tiga kali ke sini, pertama kali tahu juga dari warga
sekitar Karawang,” ungkap Bella, Minggu (10/11).
Tak
hanya fungsi rekreasi yang dimiliki, Situs Batujaya juga menjadi objek tujuan
pendidikan oleh sekolah dan universitas. Pada Minggu (11/10), rombongan Siswa
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Jatisari, Kecamatan Cikampek
mengunjungi Situs Batujaya untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Sejarah
Indonesia. “Ngga menyangka ada candi
di tengah-tengah sawah,” kata salah satu siswinya, Nita Rahmawati.
Selain
rombongan Siswa SMKN 1 Jatisari, rombongan Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Univeristas Indraprasta (Unindra) juga turun langsung ke lapangan untuk
belajar. Mereka dibimbing langsung oleh Hasan Djafar—seorang Dosen Unindra
sekaligus arkeolog yang turut berperan dalam penemuan Situs Batujaya. “Dalam
rangka pembelajaran Mata Kuliah Arkeologi,” ujar Thajudi, salah satu Mahasiswa Pendidikan
Sejarah Unindra.
Berada
di utara Kabupaten Karawang, tak ada kendaraan umum yang dapat menjangkau Situs
Percandian Batujaya. Perjalanan dari Jakarta membutuhkan waktu sekitar dua
sampai tiga jam menggunakan mobil. Terdapat beberapa alternatif jalan yang
dapat ditempuh. Pengunjung dapat melewati jalur non-tol Kabupaten Bekasi sampai
ke Karawang, ataupun melewati Tol Bekasi Timur hingga Tol Karawang Barat.
M. Silvansyah Syahdi M.