Menjadi salah satu kampus Islam di Indonesia, UIN Jakarta
tak luput dari kata ‘radikal’. Atas stereotip yang muncul, UIN Jakarta
menyanggah pandangan tersebut dan mengupayakan tindakan preventif.
Akhir-akhir ini ramai cetusan Menteri
Sosial Juliari Batubara yang menyebut kemiskinan merupakan akar dari
radikalisme. Nyatanya, isu radikalisme tak hanya berada di kalangan masyarakat
menengah ke bawah. Dilansir dari CNN Indonesia—menurut Ketua Umum Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj—radikalisme telah terpapar di universitas
seluruh Indonesia.
Hal tersebut senada dengan riset Potensi
Radikalisme di Perguruan Tinggi oleh Alvara Research Center pada 2017
silam. Dari 1800 mahasiswa yang menjadi sampel, 25 perguruan tinggi di
Indonesia sebanyak 23,4% responden manyatakan siap berjihad untuk menegakkan
Negara Islam atau Khilafah. Di samping itu, sebanyak 17,8% responden
menyatakan Khilafah akan menjadi bentuk pemerintahan yang lebih baik
dibanding Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penelitian
lain dari Setara Institute menyebutkan, perguruan tinggi menjadi ranah konteks
umum perihal intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme kekerasan. Setara
Institute pun mengkaji mengenai Wacana dan Gerakan Keagamaan di Kalangan Mahasiswa,
di mana Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi lingkup penelitian dan fokus pada
ancaman terhadap Pancasila.
Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi salah satu dari sepuluh
PTN objek penelitian tersebut. Terdapat tiga narasi yang berkembang—menjalankan
amalan Alquran dan hadis merupakan satu-satunya cara mencapai keselamatan,
bersatu melawan penindasan Islam oleh kafir atau musuh-musuh Islam, dan
menekankan bahwa Barat menaklukan Islam atas pemikiran dan kebudayaan. Dari
situ, terbentuk sebuah komunitas yang mencurigai, memusuhi, dan menutup diri
dari kalangan lain.
Atas stereotip masyarakat yang sering kali
menganggap UIN Jakarta sebagai kampus yang terpapar radikalisme, Rektor UIN
Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis memilih menanggapinya dengan hati-hati.
Menurutnya, penelitian-penelitian dari pihak tertentulah yang menyebabkan
stereotip masyarakat terhadap radikalisme UIN Jakarta berkembang. Padahal,
tidak serta merta semua penelitian dapat dipercaya kebenarannya.
Amany juga mengatakan, sebuah penelitian
dapat menggiring orang pada pemahaman tertentu. Ada pun intoleran dan
konservatif sebenarnya tidak berbahaya. Karena hasil riset yang menunjukkan
angka-angka dan presentase secara gamblang, akhirnya muncul tuduhan radikalisme.
“Kementerian Agama juga sudah mengatakan bahwa radikalisme itu tidak masalah,
yang masalah adalah esktremisme,” ujarnya, Kamis (28/11).
Lebih lanjut perlu dipahami bahwa lembaga
pendidikan adalah ajang untuk membahas semua wacana. Amany mengimbau untuk
membaca, membahas, serta mendiskusikan segala aliran pemikiran di era
keterbukaan ini. “Dugaan saya, kajian-kajian mahasiswa masih dalam taraf wajar,
belum ada yang dituduhkan radikal,” pungkas rektor yang belum genap menjabat
satu tahun tersebut.
Selaras dengan Amany, isu radikalisme tidak
terlalu mengkhawatirkan bagi Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Masri Mansoer.
Walau generasi muda memang rentan—menurut Masri—tidak ada dari Mahasiswa UIN
Jakarta yang anti NKRI atau pun menggunakan kekerasan yang inkonstitusional.
“Stereotip yang ada terlalu berlebihan,” anggap Masri, Rabu (20/11).
PBAK Plus Upaya Preventif
UIN Jakarta yang terletak di ibu kota
membuka kemungkinan paham-paham radikalisme berkembang di dalamnya. Maka dari
itu, dibuatlah program preventif untuk memperkenalkan literasi beragama yang
benar. Dengan memperkenalkan Islam yang moderat kepada mahasiswa baru, Masri
berharap agar mereka tidak terkontaminasi dengan segala pandangan sempit dan
bersifat satu arah.
Menurut Direktur Center for the Study of
Religion and Culture Idris Hemay, kampus menjadi target kelompok-kelompok
radikal untuk menginfiltrasi ideologi mereka. Kampus perlu membangun benteng agar tak terpengaruh
paham radikalisme. “Termasuk kritisisme, kontra narasi ekstremisme, dan pemahaman keagamaan yang
moderat,” ungkap Idris, Rabu (20/11).
Upaya
tersebut direalisasikan dalam Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan
(PBAK) Plus. Maba Bahasa dan Sastra Inggris Syafina mengatakan, PBAK Plus yang diadakan di fakultasnya cukup efektif dalam mencegah radikalisme. “Sangat tepat untuk tindakan
preventif dan edukasi bagi maba,” tutup perempuan yang akrab dipanggil Ina tersebut, Sabtu (7/12).
Terkait stereotip UIN Jakarta terkait radikalismenya,
Syafina mengaku sering mendengar hal tersebut. Menurutnya, UIN Jakarta merupakan PTN yang berlabel Islam dengan lokasi yang strategis, sehingga mudah untuk disebarkan paham radikal. Hal tersebut berbeda
dengan pendapat Maba Hukum Keluarga Huda Almadani yang belum pernah mendengar jika UIN Jakarta
terpapar radikalisme. “Saya tidak setuju akan hal tersebut,” pungkasnya, Minggu, (1/12).
M. Silvansyah Syahdi M, Nur Fadillah, &Nuraini