Secara
luas istilah radikal mengacu pada pemahaman yang fundamental dan mengakar.
Namun belakangan, radikal diidentikkan dengan agama oleh pemerintah padahal
negara juga bisa berlaku radikal.
Sepanjang
tahun 2019, isu radikalisme tak henti menjadi dilema oleh khalayak umum di
Indonesia. Mulai dari media massa, politisi, akademisi hingga masyarakat biasa
pun membahas perihal paham radikalisme. Lebih lanjut kata ‘radikalisme’ dalam
kamus politik Indonesia kontemporer merupakan satu dari sekian istilah yang
paling sering disalahpahami maupun disalahgunakan. Untuk itu, terminologi
‘radikalisme’ banyak yang mengalamatkan kepada pelaku kekerasan dan terorisme.
Selain
itu, ketika dimaknai lebih luas, istilah radikal mengacu pada hal-hal mendasar,
prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala,
atau juga bisa bermakna “tidak biasanya” (unconventional).
Namun,
belakangan frasa ‘radikalisme’ ingin diganti dengan istilah ‘manipulator
agama’. Wacana ini pertama kali dikemukakan oleh Presiden Jokowi, seminggu
setelah pelantikannya sebagai Presiden RI untuk periode kedua. Jokowi melempar
wacana tersebut dalam rangka mencegah dan meluasnya paham radikalisme.
Dosen
Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
Gun Gun Heriyanto menilai sah-sah saja ketika diksi radikalisme diganti menjadi
manipulator agama. Hal ini karena Jokowi melihat bahwa banyak masyarakat keliru
terkait pemahaman interpretasi agama hingga kemudian menyebarkannya pun keliru.
“Tidak ada masalah diganti dengan istilah manipulator agama.” tuturnya, Jumat
(29/11).
Ketimbang
menanggapi wacana diksi manipulator agama, ketua Jaringan Gusdurian Ciputat
Muhammad Siswanto beranggapan pemerintah terlalu tergesa-gesa terhadap wacana
tersebut. Seharusnya, pemerintah melakukan kajian yang mendalam untuk
mengetahui makna radikalisme dan manipulator agama. Bagi Siswanto, makna
radikalisme yang dipahami luas saat ini adalah suatu ideologi atau agama
tentang adanya keinginan perubahan secara cepat.
Sedangkan
Aktivis Gema Pembebasn Komsat UIN Jakarta Muhammad Nicko Trisakti Pandawa
melihat wacana tersebut lantaran pemerintah sadar bahwa kata radikal bukan
dipakai untuk makna yang negatif. Namun dengan diganti istilah menjadi manipulator
agama, Nicko menilai seharusnya pemerintah melihat terlebih dulu penempatan
manipulator agama ditunjukkan kepada siapa. “Jangan-jangan pemerintah sendiri
sebagai manipulator agama,” pungkasnya.
Terkait
pemahaman diksi radikalisme, Direktur Center for the Study of Religion and
Culture (CSRC) Idris Hemay berpendapat bahwa radikalisme jangan hanya
diidentikkan dengan agama. Namun secara konteks, saat ini agama diakomodir
menjadi sistem politik. Dengan begitu, hal tersebut menjadi fenomena baru. Islam
menjadi sistem politik yang dianggap oleh mereka itu perlu diperjuangkan.
“Faktanya ada upaya kelompok tertentu untuk menjadikan khalifah ideologi yang
dijalankan di era modern ini,” kata Idris, Rabu (20/11).
Menurutnya,
pemerintah saat ini sangat serius mengatasi masalah radikalisme. Apalagi,
menteri agama (Menag) yang baru ini tengah berusaha untuk meminimalisir
radikalisme itu sendiri.
Di
samping itu, konten radikalisme kerap beredar untuk menjelek-jelekkan
pemerintah dan mengkafirkan orang lain. Peneliti Junior Pusat Pengkajian Islam
dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta Dirga Maulana dilansir dari laman ppim.uinjkt.ac.id, mengungkapkan banyak
kasus di media sosial atau internet tersebut
muncul akibat pemahaman agama yang
literal terhadap teks-teks suci keagamaan. Apalagi paham radikalisme
agama yang terjadi di ruang terbuka. Dan kini perhatian pemerintah untuk
menangkal penyebaran tersebut.
Adapun
menurut Idris, di pemerintahan sebelumnya misalkan dalam menangkal radikalisme
yang menjadi fokus utama yakni di institusi pendidikan. Tapi, radikalisme
ditangkal dengan narasi yang positif dan lebih damai dengan istilah moderasi
agama. Istilah moderasi agama masih diterima oleh masyarakat Indonesia.
Lebih
lanjut upaya pemerintah dalam deradikalisasi juga dapat berujung kepada negara
yang mengarah radikal. Hal ini diungkapkan oleh Heru Susetyo, Dosen Hukum
Universitas Indonesia yang dikutip dari laman tirto.id bahwa radikal
juga bisa dilakukan oleh negara.
Dalam
artikelnya Sudah Tepatkah Istilah Radikalisme, Heru beranggapan
radikalisme tidak melulu berhubungan dengan agama. Terkait dengan negara yang
melakukan aksi radikal, menurutnya bisa berupa pada tindakan-tindakan negara
yang mengarah pada kekerasan negara yakni pemerintah mempekerjakan kelompok
teroris ataupun pemerintah bertindak melawan warga negara.
Rizki Dewi Ayu & Hidayat Salam