Isu radikalisme laris menjadi dagangan politik di awal
kinerja Kabinet Indonesia Maju. Dengan dalih membungkam radikalisme, tindakan
pemerintah justru dipandang membungkam kebebasan demokrasi.
Isu radikalisme mencuat pesat seiring pengukuhan
pemerintahan baru Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Pelbagai kebijakan dan
tindakan yang diterapkan rezim Joko Widodo dan Ma’ruf Amin menaruh
perhatian khusus pada isu radikalisme. Dengan dalih menangkal radikalisme,
banyak pihak justru memandang tindakan pemerintah malah membungkam kehidupan
demokrasi.
Menengok ke belakang, isu radikalisme kembali santer
menjadi pergunjingan publik tatkala proses pemilihan puncak pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Juni 2019 silam. Pelbagai isu menghantam lembaga
independen negara tersebut. Namun yang paling menyita perhatian masyarakat,
tatkala KPK diserang dengan isu radikalisme sebagai sarang Taliban oleh
sebagian kelompok.
Seorang pegiat media sosial (medsos), Denny Siregar ikut meramaikan isu Taliban di
tubuh KPK melalui laman Facebook (Fb). Dengan tajuk Ada “Taliban” di Dalam KPK, Denny
memaparkan desas-desus adanya kelompok radikal di tubuh KPK dan potensi
bahayanya bagi lembaga tersebut. “Kelompok Taliban ini dikabarkan punya posisi
kuat di dalam KPK,” tulis Denny di laman Fb, Sabtu (13/6).
Pasca redamnya isu radikalisme di tubuh KPK, tak lama
permasalahan yang sama hadir di awal pemerintahan ini. Masyarakat pun dibuat
risau oleh pernyataan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi, mengenai wacana
aturan larangan mengenakan cadar bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Tak hanya
Presiden Jokowi, beberapa menteri sekarang ikut latah mengomentari isu
radikalisme.
Terlepas dari masifnya isu radikalisme yang digemborkan
pemerintah Indonesia dewasa ini, belum ada definisi pasti pada permasalahan
tersebut. Dalam hal ini, tentu tindakan dan kebijakan pemerintah dalam
menangani persoalan radikalsime berpotensi salah sasaran. Bahkan bukan tidak
mungkin isu radikalisme dijadikan alat politik untuk menjatuhkan kelompok
tertentu.
Menanggapi respon pemerintah dalam pemberantasan
radikalisme, seorang Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta Firda Salsabila angkat bicara. Menurutnya, jika seseorang
dianggap radikal namun tak membahayakan kehidupan bermasyarakat, maka label
radikal tak sepatutnya disematkan kepadanya. “Pemerintah masih belum jelas
dalam menyatakan parameter radikal seperti apa,” ungkapnya, Jumat (6/12).
Penanganan Radikalisme ASN
Tak sampai disana, dalam menanggapi isu radikalisme
pemerintah juga membentuk satuan tugas (Satgas) penanganan radikalisme bagi
ASN. Dilansir dari Kementerian Agama (Kemenag), sebelas kementerian dan
beberapa lembaga negara bersepakat menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB)
tentang penanganan radikalisme ASN sebagai usaha penguatan wawasan kebangsaan.
SKB yang ditandatangani pada 12 November 2019 tersebut memuat 11 pelanggaran
yang diatur di dalamnya.
Hal yang menjadi persoalan, siapa pun bisa melaporkan
pelanggaran tersebut melalui saluran situs aduanasn.id. Dalam peraturan ASN
tersebut, terlihat bahwa pemerintah mengawasi penuh interaksi sosial ASN hingga
di medsos. Banyak pihak menyayangkan seakan pemerintah mengekang kebebasan
demokrasi.
Seperti halnya yang diutarakan oleh Staf Ahli Dewan
Perwakilan Rakyat Bidang Sosial Keagamaan Rulitisna Yuliansa bahwa hal yang
dilakukan pemerintah dalam membentuk satgas khusus untuk mengawasi para ASN
berlebihan. Menurutnya satgas khusus bentukan pemerintah itu seakan menyasar
kepada kelompok tertentu. “Terlalu berlebihan dan membuang energi,” tangkas
Rulitisna saat ditemui usai menjadi pembicara Seminar Legislatif di Fakultas
Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Jumat (29/11).
Jika bisa digarisbawahi, menurut Ketua Dewan Eksekutif
Mahasiswa UIN Jakarta Sultan Rivaldy pembahasan isu radikalisme dalam kancah
perpolitikan nasional ini terlalu besar porsinya. Seperti yang diungkapkan oleh
Sultan bahwa masih banyak porsi pembahasan lain yang harus dibicarakan. “Dari
segi politik dosis penekanan isu radikalisme ini terlalu tinggi, dan ini tidak
sehat,” tuturnya, Jumat (6/12).
Sementara itu menurut pandangan Pakar Komunikasi Politik
Gun Gun Heriyanto, radikalisme dan terorisme betul adanya. Namun pejabat negara
jangan terlalu menakut-nakuti masyarakat dengan membuat aturan atau tindakan
yang berlebihan. Menurutnya jauh lebih baik membatasi radikalisme melalui
kontra narasi dan persuasi langsung ke kelompok-kelompok yang berpotensi
radikal. “Hal itu agar warga negara tetap merasa nyaman dengan kebebasannya,”
saran pakar komunikasi tersebut, Jumat (29/11).
Sefi Rafiani & M. Rifqi Ibnu Masy