
Alfarisi Talib sedang menyampaikan materi pada Dialog Publik bersama dengan dua pembicara di sampingnya. AIMI menyelenggarakan acara ini pada Rabu (30/10) di Kafe Takuy 99 Ciputat.
Pada 30 Oktober lalu, para aktivis kampus maupun penggiat
diskusi berkumpul di tempat makan dengan konsep lesehan. Di kafe Takuy 99 yang
berlokasi di Ciputat ini, acara
diskusi mulai berlangsung pada pukul 19.00 WIB. Tampaknya raut antusiasme
tersimpul di paras peserta tatkala pembawa acara tampil memimpin jalannya
kegiatan.
Acara pun dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan secara
bersama-sama. Sejak berakhirnya lantunan Indonesia Raya, layar proyeksi telah
terpasang di dinding bakal menyajikan visual perihal informasi seputar Asosiasi
Intelektual Muda Indonesia (AIMI), yaitu lembaga yang menjadi suksesor pada
dialog publik ini. Di balik tema Jejak Kepemudaan dalam Narasi Kebangsaan, ada
pesan yang ingin disampaikan AIMI dalam diskusi yang juga sekaligus
memperingati Hari Sumpah Pemuda ini.
Sebab diadakannya dialog publik ini, memperlihatkan ada rasa
kurangnya tanggung jawab intelektualitas, khususnya di kalangan akademisi
perguruan tinggi. Sebagai organisasi yang berorientasi pada kajian keilmuan
yang bersifat rasional, AIMI menawarkan paket-paket keilmuan seperti filsafat
dan kajian epistemologi. Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum AIMI sendiri,
Idham Mustakim. “Rasionalitas
membawa kita pada realitas,” tegasnya
ketika memberikan sambutan di acara Dialog Publik, Rabu (30/10).
Berkenaan dengan hal tersebut, anggota Jaringan Aktivis
Filsafat Islam Indonesia (Jakfi) Jakarta Babur Rahman yang juga diundang
sebagai pemateri, turut menyampaikan pendapatnya terkait gerakan pemuda masa
kini terkhusus mahasiswa. Ia menyebut bahwa mahasiswa masa kini jarang
mengedepankan dialog dalam menghadapi berbagai persoalan. Bahkan menurutnya
ketimbang berdemonstrasi, mahasiswa lebih baik melakukan konsolidasi secara
intelektual. “Surplus
aktivisme, minus intelektualisme,” singgung
aktivis Jakfi, Rabu (30/10).
Rahman bahkan sempat menyinggung bahwa mentalitas ‘macan’ pemuda
masa kini cenderung hilang. Rahman juga mengungkapkan, yang terpenting dari
sebuah gerakan pemuda adalah gagasan dan konsep ketimbang sekadar orasi.
Kendati demikian, ia tetap mengapresiasi pergerakan mahasiswa di seluruh
Indonesia yang dilakukan akhir September 2019 lalu. “Gerakan
kemarin-kemarin itu membahagiakan kita, karena pertanda pemuda masih ada,” ujarnya,
Rabu (30/10).
Senada dengan Rahman, Direktur Eksekutif Indonesia Political
Study (IPS) Alfarisi Talib sebagai pembicara,
menyebut bahwa dalam upaya menuntaskan persoalan bangsa pemuda harus
memiliki gagasan besar yang bisa diterima publik. Menurutnya gerakan
intelektualitas adalah gerakan yang sarat moral dan etis. “Bukan
sekadar omong kosong, apalagi bualan dan cacian,”
pungkasnya ketika mengisi diskusi, Rabu (30/10).
Terkait gerakan intelektualitas, Alfarisi mengatakan bahwa
peringgatan Sumpah Pemuda seharusnya menjadi momentum yang tepat untuk
membangkitkan semangat intelektualitas. Putusan Kongres 1928 tidak hanya
melahirkan Sumpah Pemuda, namun juga memutuskan beridirnya Bangsa Indonesia.
Menurutnya konsolidasi kemerdekaan bukan sekadar membangkitkan semangat
nasionalisme, namun sekaligus menumbuhkan semangat dan melahirkan ide-ide
besar. “Tidak
sekadar Sumpah Pemuda”, tegas
Alfarisi, Rabu (30/10).
Sementara itu, bagi salah seorang mahasiswa Sekolah Tinggi
Filsafat Islam (STFI) Sadra Jakarta Adi Badjuber, acara dialog publik seperti
ini menimbulkan kesan tersendiri. Menurutnya acara diskusi yang diselenggarakan
AIMI ini menarik untuk diikuti. “AIMI ini
membuat bentuk reformasi intelektual yang baru,” ujar
mahasiswa Program Studi Alquran dan Tafsir ini, Rabu (30/10).
MAF