Ketika IPK tinggi, cumlaude,
serta membanggakan ijazahnya menjadi hal belum tentu dipelukan di luar kampus.
Sementara, soft skill yang dibutuhkan untuk berkarya dan menunjang kehidupan di
masa depan.
Pendidikan menjadi buah bibir yang sering
diperbincangkan di berbagai kalangan. Dikarenakan pendidikan menyangkut masa
depan generasi mendatang. Namun, masalah pendidikan tak kunjung diselesaikan. Pada
buku J. S. Khairen yang berjudul Kami Bukan Sarjana Kertas memuat kritik terhadap pratik pendidikan
Indonesia selama ini yang dinilai bermasalah. Dalam Novel J. S.
Khairen, ia mengisahkan tentang kehidupan para mahasiswa Universitas Eka Daulat
Laksana yang biasa disebut UDEL.
Mereka merupakan orang yang berkeinginan untuk
melanjutkan pendidikan hingga bangku kuliah. Dengan alasan yang bermacam-macam mereka
pun masuk UDEL. Seperti tidak mampu bersaing di kampus negeri, kurangnya biaya
dari orang tua, dan beragam masalah lainnya yang menerpa para mahasiswa
tersebut.
Pada hari pertama di kampus tersebut, mereka tidak
langsung kuliah, tidak pula ospek. Melainkan para mahasiswa tersebut
dikumpulkan ke dalam kelas bimbingan konseling hingga lulus dan menyandang gelar sarjana.
Dari sinilah kisah 7 mahasiswa tersebut bertemu. Ogi,
Randi Jauhari alias Ranjau, Arko, Gala, Sania, Juwisa dan Catharine
dipertemukan dalam satu kelompok yang dibimbing Bu Lira, selaku dosen dan anak
pemilik yayasan UDEL.
Kelak peran Bu
Lira sebagai dosen konseling yang selalu memberi semangat serta pembelajaran
makna kehidupan bagi ke tujuh mahasiswa tersebut menjadi kunci keberhasilan
meraka walaupun dengan cara-cara absurd. Seperti menebar tikus dalam kelas jika
dilihat tikus itu tidak lebih menjijikan daripada dunia nyata serupa potret
yang dicontohkan Bu Lira.
Di sisi lain, Ogi merupakan mahasiswa yang kuliah
lantaran keterpaksaan, kalau saja bukan hasil bujuk rayu sahabatnya Ranjau
serta Babenya yang hutang emas demi satu bangku di perguruan tinggi. Atas dasar
ikut-ikutan pun Ogi mengambil Jurusan Ilmu Komunikasi yang sama dengan Ranjau.
Hingga mereka bertemu dengan Arko yang nyatanya satu jurusan jadilah mereka
tiga sekawan. Hingga tibalah Ujian Tengah Semester dan Ogi tak mampu
mengisi lembar jawabannya. Akhirnya Ogi pasrah dengan hasil IPK 1,83 yang akan
di Drop Out apabila tak mencapai 2,50 dalam dua semester.
Kabar IPK Ogi anjlok terdengar sampai ke telinga Bu
Lira. Menurut Bu Lira, Ogi hidup harus
seperti kecoak spesies yang bisa bertahan hidup bertahan dari gempuran hal-hal
berbahaya. Nasehat tersebut sampai ke relung hati Ogi. Lambat laun Ogi mulai berubah.
Sayang, nasib buruk menimpanya. Ogi malah terpengaruh
dengan narkotika. Ia mengkonsumsi narkoba hingga matahari terbit ia baru pulang
ke rumah. Sesampainya di rumah, ia mendapati Babenya yang telah meninggal dunia.
Kejadian ini membuat Ogi merasa terpuruk terhadap masalah yang menimpanya.
Ogi berusaha mengakhiri hidupnya. Namun usaha tersebut
digagalkan oleh para sahabatnya. Bangun dari keadaan tersebut, Ogi yang telah DO
dari kampusnya melanjutkan hidupnya. Ia bekerja sebagai tukang bengkel untuk
menghidupi Emak dan adik-adiknya seperti mendiang Babenya.
Dari hidup yang semrawut, tak sengaja Ogi bertemu
dengan Miral anak rantau yang berkuliah di kampus bergengsi sebagai mahasiswa
jurusan Ilmu Komunikasi. Ogi yang
sedikit bisa dalam programmer secara otodidak mengajak Miral untuk tinggal di
rumahnya dengan balasan mengajarkan semua tentang pengaplikasian perangkat
kommputer maupun website. Giat Ogi ini mencapai hasil dengan keahlian tersebut,
ia pun diterima perusahaan Alphabet inc
yang membawahi Google.
Berbading terbalik dengan Ogi, Ranjau yang menyelesaikan
kuliahnya hanya butuh waktu tiga setengah tahun. Dia pun lulus paling cepat
serta cumlaude di antara teman seperjuangannya. Suatu prestasi yang
membanggakan, namun Ranjau merasa tidak puas karena ia tak mempunyai kemapuan
serupa Ogi dan Arko.
Dalam buku ini, J.S Kharen sebagai penulis fiksi mampu
mengalirkan cerita tentang fenomena yang dialami mahasiswa serta civitas
academika. Drama dalam buku Kami Bukan
Sarjana Kertas yang kental dari kehidupan sehari-hari bagi pembaca.
Pembawaan setiap karakter yang mempunyai masala pelik sama seperti pernah
dialami diri kita sendiri.
Nurul
Dwiana