Nama
‘Emka’diambil dari singkatan nama almarhum ayahnya yang sering di panggil
dengan sebutan ‘Haji Markun’. Dahulu,
Emka merupakan seorang santri di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif, Denanyar,
Jombang. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Jurusan Pendidikan Bahasa Institut
Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1993.
Semasa
kuliah, Emka aktif di beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa. Mulai dari Kelompok
Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan, Paduan Suara, dan beberapa organisasi
lainnya. Emka hidup dengan membiasakan dirinya untukmandiri dengan mengajar
privat sampai mengamen dengan Lapaloma—nama bandnya saat itu.
Menulis
juga menjadi hidup seorang Moammar Emka. Pria kelahiran Tuban, Jawa Timur ini
memulai karirnya dengan menulis. Ia gemar mengirim artikel dan tulisannya ke
koran-koran. Sampai akhirnya, Emka pun menjadi wartawan di Berita Yudha saat
dirinya menginjak semester 7.
Seleksi
untuk menjadi wartawan pada era tahun 90-an tidaklah mudah. Media massa belum
banyak jumlahnya. Hanya terdapat beberapa perusahaan surat kabar seperti Kompas,
Media Indonesia, Berita Yudha, dan sedikit lainnya. Menurut Emka, menjadi
wartawan kala itu adalah hal yang keren. Ia menjadi salah satu dari belasan
orang terpilih dari proses seleksi wartawan yang melibatkan ratusan orang
lainnya.
Alat
komunikasi di era 90-an—seperti yang kita tahu—belum sebanyak dan secanggih
sekarang. Rata-rata orang menggunakan‘radio panggil’ untuk berkomunikasi jarak
jauh. Dengan alat itu lah wartawan menerima tugas liputan mereka. “Untuk
mencari informasi dan sumber berita benar-benar harus turun kelapangan, tidak
bisa via Whatsapp apalagi Google,” gurau Emka, Kamis (30/10).
Pengalaman
pertama Emka sebagai wartawan adalah menulis Rubrik Entertainment. Perihal kehidupan di ibu kota, profil kafe berkelas,
sampai hotel yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Emka pun mulai
berpindah-pindah kebeberapa media lain, salah satunya Media Popular. Salah satu
rubrik yang ia isi di sana adalah Liputan Malam.
Sering
mengisi Rubrik Liputan Malam, Emka mulai terbiasa dengan fakta-fakta liputan
yang ia dapat. Menguak seluk-beluk ibu kota dan tempat-tempat seperti club malam. Kasus seks dalam gerbong
kereta pernah menjadi headline-nya. Dari
sana, Emka akhirnya mulai mengumpulkan tulisan-tulisan beritanya dan
terinpirasi untuk menyusun buku dari sana.
Kemudian
lahirlah buku berjudul Jakarta Undercover
pada tahun 2003. Buku tersebut melejitkan nama Emkasehingga dikenal banyak
orang. Karena konten yang bagus dan tidak biasa tersebut, Jakarta Undercover mulai ramai dibincangkan banyak orang serta
media.Menanggapi respons baik yang ada, Emka kembali menerbitkan Jakarta Undercover ke-2 pada 2005, ke-3 pada
2007, dan ke-4 pada 2015.
Jakarta Undercover ternyata menarik minat rumah produksi untuk
memfilmkannya. Velvet Films–Rexinema Pictures dan Kharisma StarVision Plus
memproduksi film Jakarta Undercover pada
tahun 2006. Beberapa tahun setelah itu—tepatnya 2017—Grafent Pictures Demi
Istri Production juga memproduksi film Moammar
Eka’s Jakarta Undercover yang disutradarai oleh Fajar Nugros. Kedua film
tersebut diangkat dari buku Emka yang menceritakan dunia malam ibu kota.
Tak
hanya sebatas ‘Undercover’, Emka juga telah menulis lebih dari empat puluh buku
dan novel lainnya. Ia melanjutkan karirnya dengan mendirikan perusahaan penerbitan
buku yaitu Gagas Media. Baru-baru ini, Emka menerbitkan bukunya sendiri dengan
penerbitan yang baru ia dirikan seperti buku bergenre roman berjudul Pelaminan Hujan.
Perjalanan hidup Emka tentu tak luput dari
kegagalan. Ia mengatakan, gagal merupakan proses mencapai keberhasilan yang
tertunda. Semua tergantung dari sudut pandang mana orang melihat suatu
kegagalan—yang Tuhan ciptakan agar manusia beristirahat dalam perjalanannya.
“Bukan berarti berhenti, tetapi menyiapkan bagaimana sesudahnya kamu mencapai
tujuanmu,” pungkas Emka ketika diwawancarai di rumah makan miliknya—Makang
Makang, Jakarta Selatan.
NQ