Oleh: Maulana Ali Firdaus
Ditilik secara lahiriah, 74 tahun sudah
bangsa Indonesia terlepas dari belenggu penjajah. Tak ada lagi kolonialisme
berbuah malapetaka yang terang-terangan ingin menghancurkan kedaulatan bangsa,
baik dalam bentuk agresi militer, maupun perampasan hak pribumi. Meski dalam
kenyataannya, belenggu ajaran politik Divide et Impera —politik adu
domba— yang ditanamkan para kolonialis Belanda, efeknya masih terasa
hingga saat ini, kendati bangsa ini telah merdeka bertahun-tahun lamanya.
Masyarakat Nusantara kala itu dikenal
plural dalam tatanan sosialnya, sehingga bagi penjajah, Divide et Impera menjadi
siasat politik yang dinilai efektif nan jitu. Dengan memanfaatkan situasi di
tengah konflik dua kelompok yang sedang bertikai, saat itulah kolonialis mulai
berperan sebagai pendukung salah satu di antara keduanya, yang sejatinya hanya
tipu daya belaka. Itulah Divide et Impera, sebuah politik adu domba.
Seiring dengan perkembangan teknologi, pemanfaatan
media menjadi salah satu cara paling aplikatif sebagai sarana distribusi
informasi. Maraknya produsen barang elektronik yang membuat gawai dengan harga
terjangkau, pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan pengguna media sosial
(medsos). Teknologi tersebut memuat segala bentuk informasi yang bisa didapat
dan disebar secara simultan.
Pew Research Center melaporkan sebuah riset yang menunjukkan
angka penggunaan gawai dari berbagai negara. Disebutkan bahwa Indonesia
menempati peringkat ke-24 dari 27 negara dalam survei tersebut. Meski
tidak menempati peringkat teratas, pertumbuhan pengguna ponsel pintar di
Indonesia tergolong tinggi. Kepemilikan ponsel pintar di kalangan muda —umur 18-34
tahun— tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 66 persen pada 2018, melonjak lebih
tinggi dari sebelumnya hanya 39 persen pada 2015.
Tak hanya di kalangan muda-mudi,
pertumbuhan gawai di kalangan usia dewasa —di atas umur 50 tahun— juga
meningkat sebanyak 2 persen pada 2015 menjadi 13 persen pada 2018. Bagi para
elit politik, tentunya hal ini menguntungkan, apalagi melihat kondisi
masyarakat di sebuah negara yang masih berkembang. Media akhirnya memiliki
potensi besar dalam menggaet para penggunanya sebagai proyeksi massa untuk
menarik simpati dan melambungkan suara.
Sayangnya, pertumbuhan pengguna gawai
sebagai pertanda tingginya minat masyarakat terhadap medsos, tidak
diimbangi kualitas dalam mengakses internet. Kontestasi politik di Indonesia
beberapa tahun belakangan menjadi bukti bahwasanya pendayagunaan ranah digital menjadi
sebuah ironi. Masyarakat disibukkan dengan pertikaian kelompok yang
berseberangan, seolah hanya menjadi mainan para elit politik. Uniknya, kasus
serupa juga terjadi di Amerika Serikat yang notabenenya negara maju, saat
pemilu 2017 lalu yang memenangkan Donald Trump.
Setelah dunia mengalami 4 kali transisi
revolusi, ironisnya sebagian masyarakat Indonesia masih dihantui mental kolonial,
di mana mentalitas masih mudah diadu domba, dan hati yang masih dihinggapi
fanatisme kepada sang idola. Dalam teori psikologi, hal ini disebut sebagai
distorsi kognitif, yaitu kondisi di mana terjadi kesalahan logika dalam
berpikir. Distorsi kognitif merupakan cara berpikir stereotip yang berpotensi
menimbulkan sikap diskriminatif, mudah menggeneralisir dalam menafsirkan sesuatu,
dan mengabaikan rasionalitas.
Sikap stereotip umumnya mudah dijumpai pada
masyarakat Indonesia, terutama dalam aspek berkaitan dengan masalah suku,
agama, ras dan antargolongan. Dalam kontestasi politik beberapa waktu lalu
misalnya, seorang politisi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) Ribka Tjibtaning
mengaku bangga dirinya terlahir sebagai anak simpatisan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Masyarakat yang berseberangan paham politiknya saat itu pun langsung
menganggap partai pengusung Presiden Joko Widodo tersebut sebagai partai
berhaluan komunis.
Begitu pun sebaliknya, di saat mayoritas kelompok
muslim fundamentalis memilih calon presiden Prabowo Subianto. Tak sedikit
simpatisan Jokowi berasumsi, jika Prabowo berkuasa maka paham Khilafah akan
menggeser Pancasila sebagai ideologi bangsa. Contoh lain, saat sejarah
mengungkap peralihan kekuasaan dari orde lama ke orde baru, terjadi genosida
yang dilakukan militer dan masyarakat terhadap penduduk yang disinyalir
terlibat dalam Gerakan 30 September PKI, ironisnya banyak tuduhan tanpa
disertai pembuktian lebih lanjut.
Pun pada masa orde baru, muncul sebuah
stereotip bahwa masyarakat keturunan Tionghoa adalah ras pendatang yang hanya mengganggu
eksistensi masyarakat pribumi. Akibatnya, masyarakat Tionghoa saat itu
cenderung mendapat perlakuan diskriminatif. Saat krisis moneter menimpa
Indonesia pada pertengahan 90-an, puncaknya pada 1998, terjadi pelanggaran hak
asasi manusia terhadap etnis Tionghoa. Pada saat itu, etnis minoritas ini dijarah
toko-tokonya, dipersekusi, dibunuh, hingga diperkosa.
Kasus lain seperti perseteruan antara
suporter sepak bola Indonesia dengan Malaysia yang baru-baru ini viral. Sebenarnya
bukan hanya soal pertarungan lapangan, namun juga dipengaruhi oleh sisi historis
yang dialami kedua negara. Pada tahun 60-an, terjadi konfrontasi antara
Indonesia dengan Malaysia. Istilah “Ganyang Malaysia” saat itu digaungkan
Soekarno menimbulkan sikap stereotip terhadap Malaysia sebagai musuh bebuyutan masyarakat
Indonesia.
Sebagai pengetahuan empiris, aspek historis
memiliki pengaruh kuat dalam menyusun paradigma berpikir masyarakat. Problem
masyarakat saat ini adalah terlalu menganggap peristiwa masa lalu sebagai momok
yang menakutkan seolah menjadi persolan besar. Masyarakat lebih suka menilai
sesuatu dari sisi negatif ketimbang mengambil hal positif yang mengandung lebih
banyak manfaat. Etnis Tionghoa, bagaimana pun mereka adalah salah satu
penggerak roda perekonomian negara, begitu pun Malaysia sebagai negara tetangga
yang menjadi mitra bagi Indonesia.
Saat ini, perdebatan tersebut mudah
dijumpai melalui medsos. Iklim demokrasi Indonesia memungkinkan keleluasaan
bagi siapa pun untuk mengutarakan keluh kesahnya. Namun apabila keleluasaan
berpendapat di muka umum tidak diimbangi dengan sikap edukatif, masyarakat
hanya akan terjebak dalam penalaran subjektif yang sarat ego dan jauh dari
rasionalitas. Apabila dibiarkan, besar kemungkinan masyarakat akan semakin mudah
diperdaya oleh kepentingan.
Menebar benih Divide et Impera di era teknologi
informasi sejatinya lebih mudah dilakukan. Untuk membendungnya, diperlukan
literasi media yang kuat di masyarakat. Selain itu, budaya malu, ramah tamah,
dan kesantunan seharusnya melekat pada diri bangsa Indonesia sebagai bangsa
ketimuran. Dendam masa lalu dan kebiasaan mudah tersulut emosi sudah sepatutnya
ditinggalkan, agar bangsa ini tidak menjadi layaknya sebatang korek api yang
bisa membakar seluruh hutan. Tidak pula menjadi bangsa yang menutup 1000
kebaikan dengan 1 keburukan.
Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Semester 3