Sudut-sudut Ciputat melahirkan pelbagai warna pemikiran,
ragam ideologi organisasi pun tumbuh subur di dalamnya. Ciputat menggugat di
Gedung DPR silam menjadi sirene era baru gerakan mahasiswa.
Sebulan
sejak berita ini ditulis, tepatnya 23-24 September 2019 halaman depan Gedung Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) di Senayan dipenuhi ribuan
mahasiswa. Mereka datang dengan mengenakan ragam warna jaket almamater yang
merepresentasikan ciri kampusnya masing-masing. Di depan gedung tempat para
wakil rakyat itu mereka menyuarakan aspirasinya dengan membawa tujuh tuntutan.
Isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi
tuntutan utama aksi mahasiswa tersebut. Pasalnya, Revisi Undang-Undang KPK
dipandangan melemahkan lembaga independen negera tersebut. Selain itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Hukum
Pidana tak lepas dari sorotan. Tuntutan lainnya berkaitan dengan isu
kriminalisasi aktivis, isu lingkungan, penuntasan pelanggaran hak asasi manusia
dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Berbekal
spanduk dan poster berisi coretan kritikan, Sejak Senin (23/9) pagi ribuan
massa aksi telah telah memenuhi jalanan Senayan. Mereka berstatus mahasiswa
dari berbagai kampus di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi
(Jabodetabek). Tak kalah dengan sigap massa aksi, aparat keamanan pun sejak
pagi buta telah siap siaga menjaga keamanan sekitar Gedung DPR. Bahkan, diketahui
mencapai 5000 personil aparat gabungan dikerahkan guna mengawal aksi demonstrasi.
Esoknya,
Selasa (24/9) aksi masih berlanjut dengan massa yang lebih besar dari hari
sebelumnya. Bak aksi tak tanpa solusi, demonstrasi yang diikuti oleh ribuan
mahasiswa tersebut pada akhirnya ricuh. Hujan gas air mata menerjang peserta
aksi, mereka pun berhamburan tak menentu. Carut marut terlihat jelas tak
menentu, bahkan korban pun berjatuhan dari pihak mahasiswa.
Aksi
mahasiswa September 2019 silam menjadi bukti konkret mahasiswa sekarang tidak
tertidur dengan keadaan. Setidaknya, aksi tersebut dapat menggambarkan mereka
masih peka dengan isu sosial dan melek keadaan. Jika menilik lapangan, aksi
mahasiswa 23-24 September 2019 di depan Gedung DPR menjadi fenomena aksi
terbesar pasca reformasi Orde Baru 1998. Pasalnya bukan hanya terjadi di Jabodetabek,
bahkan merambat di kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Ciputat
Menggugat
Jika
menilik sejarah, peradaban intelektual Ciputat tak dapat lepas dari gejolak
organisasi pergerakan. Bukan rahasia umum kiranya, berbagai organisasi
pergerakan tumbuh subur mengisi sudut-sudut ruang diskusi dan penyampaian
aspirasi. Pelbagai corak dan ragam ideologi organisasi pun tak jarang
menciptakan sebuah diskursus baru yang membentuk jati diri kebudayaan
intelektual Ciputat.
Peradaban
Ciputat tak dapat terlepas dari hadirnya organisasi-organisasi pergerakan yang
beraneka ragam. Sebagai bagian dari Civitas
Academica Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tentu
paham betul bagaimana organisasi pergerakan seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan banyak lainnya turut berperan
menghidupkan dinamika intelektual dan dunia pergerakan di Ciputat.
Aksi
besar 23-24 September 2019 di depan Dedung DPR RI menjadi momentum berharga bagi
organisasi-organisasi pergerakan di Ciputat. Tanpa menyia-nyiakan momen
tersebut, berbagai organisasi di Ciputat turun aksi. Baik organisasi intra
kampus maupun ekstra seperti HMI, PMII, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM),
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan banyak lainnya mengambil
bagian dari aksi bersejalah tersebut.
Tak
hanya organisasi ekstra kampus, aksi besar di depan Gedung DPR beberapa waktu
silam telah menyatukan beberapa kampus di Ciputat. Dalam hal ini, Wakil Ketua
Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (DEMA-U) UIN Jakarta Rizki Ari Wibowo
mengaku telah merangkul beberapa kampus di Ciputat untuk satukan suara dalam
tuntutan aksi dengan jargon Ciputat
Mengugat.
Konsolidasi
pun terjalin, beberapa kampus di Ciputat dan sekitarnya turun aksi bersama
dengan tuntutan sama. Beberapa nama kampus seperti UIN Jakarta, Universitas
Muhammadiyah Jakarta, dan Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta
bersama dalam kesatuan aksi. ”Konsolidasi antar universitas itu sepakat untuk
demonstrasi bersama depan Gedung DPR,” tegas Wibowo, Jumat (18/10).
Dari
latar belakang organisasi ekstra kampus, Ketua Umum (Ketum) HMI Cabang Ciputat
Tharlis Dian Syah Lubis menganggap dunia pergerakkan mahasiswa Ciputat secara
khusus telah melakukan langkah-langkah soft
terkait isu-isu nasional. Dalam
artian, telah bergerak di bidang literasi dan forum diskusi. Ia juga menyambut
baik aksi yang dilakukan oleh mahasiswa ciputat pada September silam sebagai
tindakan nyata merespons isu nasional. “Menurut saya kalo aksi kemarin karena
kegundahan hati,” Ujar Tharlis pada Senin (21/10).
Selain
Ketum HMI, Ketum PMII Komisariat Fakuktas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta Mochamad Bahrul Ikhsan berpendapat
demonstrasi mahasiswa di Gedung DPR beberapa waktu lalu seharusnya dikaji fokus
pokok permasalahannya. Sehingga demonstrasi memiliki tujuan yang matang bukan
hanya sekadar ikut-ikutan dan sebatas eksistensi semata. Menurutnya, semua hal
terkait aksi bukan untuk kepentingan mahasiswa atau pemerintah tapi untuk
rakyat. “Sebagai mahasiswa jangan hanya teriak-teriak tapi lupa esensi dan
target awalnya,” Tutur Bachrul pada Jumat (18/10).
Lebih
lanjut, Ketum IMM Cabang Ciputat Hisbullah menilai dunia pergerakan Ciputat memiliki
semangat luar biasa. Terlihat dari banyaknya organisasi ataupun primordial yang
memiliki konsentrasi berbeda. Terkait aksi, ia memandangnya sebagai bentuk dan
upaya mahasiswa untuk menjembatani akses antara rakyat dan pemerintah. Ia pun
yakin semangat membangun kesejahteraan rakyat masih diterapkan oleh organisasi
lain. “Kita harus tetap mengedepankan idealisme, jangan mudah terprovokasi,”
ujar Hisbullah, Sabtu (19/10).
Hal
yang sama juga diungkapkan Pengurus Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) Asror.
Asror beranggapan pergerakkan mahasiswa di Ciputat sudah baik, terlebih ketika
turun langsung ke jalan dalam sebuah aksi. Namun menurutnya, persoalan
pergerakkan sekarang ini tidak hanya mengkritisi tapi harus ada solusi. “Kritik
tajam yang berdasarkan fakta dan data belum terlihat dan belum tampak,” Kata
Asror, Selasa (15/10).
Aktivis mahasiswa era 1998 Tubagus Ace Hasan Syadzily angkat bicara, baginya demonstrasi mahasiswa
merupakan hak mahasiswa. Pria yang kini menjadi politisi itu juga sangat
mengapresiasi mahasiswa karena telah mengoreksi hal-hal yang dinilai tidak baik
atau tidak tepat. Namun, baginya alangkah baik jika isu yang diangkat dalam
demonstrasi perlu dikaji dahulu. Ia berharap agar gerakan mahasiswa tetap
menjadi kekuatan kritis yang mampu menjadi gerakan moral perbaikan bangsa.
Tak hanya Ace, Pakar Politik UIN Jakarta Iding Rosyidin
menilai gerakan mahasiswa perlu taktis serta jangan sekadar aksi tanpa
dibarengi pemikiran yang kritis dan pengetahuan. Perihal dunia pergerakan
mahasiswa Ciputat, menurutnya saat ini tengah mengalami fluktuasi dan mulai
bangkit kembali karena isu besar. Lebih lanjut, bagi Iding sepanjang aksi yang
dilakukan tidak bercampur dengan kelompok lain serta murni aspirasi mahasiswa
itu adalah hal yang bagus.