Oleh: M. Bisyrul Hafi
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan secara kasat mata mampu
memotong jarak perbedaan budaya, kehidupan sosial dan pesatnya arus informasi.
Hal tersebut tentu membawa pengaruh besar dalam pergeseran sudut pandang
manusia tehadap agama dan budaya.
Dalam pesatnya
perkembangan zaman, agama tidak hanya bisa dilihat dengan pendekatan teologis
belaka, akan tetapi erat kaitannya dengan
sosio kultular yang ada dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini semakin
menunjukan bahwa hakikat beragama tidak sebatas hubungan antara manusia dengan
Tuhannya akan tetapi juga memeberikan kesadaran dalam berkelompok, dan relasi
antar individu.
Dari sinilah mulai
muncul pelbagai problematika yang melibatkan agama baik secara langsung maupun
tidak langung, dimulai dari masalah kekerasan, hubungan antar manusia, produk
budaya modern, yang dimana agama dituntut selalu menujukan eksistensinya untuk
membersamai manusia, agar agama tetap relevan digunakan dalam taraf nilai
pegangan hidup.
Ditambah dengan
cepatnya perubahan zaman di era globalisasi dimana budaya berubah begitu cepat
sehingga segala persoalan dituntut agar bisa dijawab dengan jawaban yang
konkret, karena hakikatnya memang agama diposisikan sebagai pijakan utama untuk
menujukam relevansinya dalam menjawab segala persoalan dan tantangan zaman.
Dengan segala
perkembangan yang begitu cepat, perlu kiranya kita untuk membelokan cermin ke
belakang , sekedar melihat apa yang telah diramu oleh para pendahulu kita,
dengan melihat seksama para tokoh perdaban islam masa lalu, seperti Imam
Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, al-Farabi, Ibnu Sina, yang secara masif menjawab segala
problematika pada zamanya, dengan buah pikiran yang cemerlang. Sehingga pada
saat itu Islam dapat menyeimbangkan segala fenomena perubahan budaya dan
keagaman yang begitu cepat, sehingga umat Islam pada saat itu bisa mapan dalam
majunya peradaban sekaligus dapat mewariskan pemikiran untuk generasi penerus
sampai sekarang.
Dengan formula
diatas sebenarnya bangsa kita sendiri juga mempunyai jejak manis dalam merespon
perkembangan zaman. Terkhusus dalam “mendamaikan” nilai-nilai budaya dan agama sebagai
jawaban atas kondisi masyarakat pada zamannya yang terkungkung dengan ajaran
agama pendahulu yang dibebani dengan perbedaan kasta. Maka pemahaman ini
menjelama menjadi daya Tarik sendiri pada abad ke-15 yaitu dalam masa penyebaran
Agama Islam yang dilakukan oleh Wali Sanga.
Misalkan Sunan
Bonang yang mengubah penggunaan gamelan yang identik dengan estetika Hindu menjadi hal
yang bernuansa dzikir, sedangkan Sunan Kalijaga berdakwah melalui media
kesenian lokal yang berupa wayang, dan tembang-tembang Jawa. Maka relasi antara
agama dan budaya modern tidak seharusnya dipertentangkan, tetapi segala produk
budaya modern bisa dijadikan sebagai media dakwah Islamiyyah dan menebar persaudaraan
dan kebaikan.
Dakwah Walisongo
di Nusantara ini menunjukkan tidak adanya nalar Arabisasi, akan tetapi yang ada
adalah nalar sufistik Walisongo yang sangat toleran terhadap budaya lokal dan
berusaha memasukkan nilai-nilai Islam sekaligus memilh ciri khas keindonesiaan,
bukan kearaban.
Memilih ciri khas
keindonesiaan bukan anti dengan arab, akan tetapi hal ini semata untuk
menunjukan bahwa subtansi agama dan budaya dapat ‘dikawinkan’ untuk mewujudkan
formula dakwah yang tepat agar hati mereka merasa terwakili oleh agama yang
masih baru mereka kenal.
Berkaca dengan
diktat yang ditulis Jaques Berque diawal tahun 1990-an berjudul Relie le
Coran at le Bible, yang intinya perlu “membaca ulang” Al-Quran dan Bibel
untuk mewujudkan kehidupan yang damai dan abadi diantara pemeluk kedua kitab
suci tersebut.
Dalam bukunya
Islam Fungsional Prof Dr. Nazaruddin Umar menjabarkan bahwa ada beberapa hal
filosofis dan filologis yang perlu dicermati dalam “membaca ulang” kitab suci.
Diantaranya, dari mana datangnya teks kitab suci, bagaimana teks itu diperoleh,
apakah teks itu disabdakan, diceritakan, dan atau dilakonkan oleh seseorang,
bagaimana autentitas teks itu sendiri yakni bagaimana pertalian sanad yang
meriwayatkannya.
Sehingga yang
terjadi adalah kritalisasi pemikiran yang melebur dengan realitas zaman
menjawab sekiranya yang benar sekaligus bijak untuk dijadikan pijakan umat.
Dari batas ini kita benar-benar merasakan bahwa Islam benar-benar bagian dari
keterwakilan kita, agama yang uptodate mengikuti perkembangan zama (Sholihun
Likulli Zaman Wa Makaan)
Maka dari itu, gagasan
budaya harus bisa diaktualisasikan seperti yang telah dilakukan dan muncul dari
para Wali dan Ulama terdahulu yang mencoba menerjemahkan Islam agar ide yang
terkandung didalmnya dapat dikontribusikan secara langsung dalam memecah permasalahan
yang terjadi diantara umat.
Hal ini menjadi bekal
penting yang bisa dipakai generasi selanjutnya, terbukti di tahun 90-an, muncul
gerakan-gerakan ilmu sosial muslim, yang
mencoba mengaktualisasikan Islam sesuai zamannya, maka muncullah ide seperti
Islam Transformative (Islam Abdurrahman), pribumisasi atau kulturisasi islam
(Cak Nur dan Gus Dur), Tauhid sosial
(Amien Rais), dan Islam Keindonesiaan (Syafii Ma’aarif), dan yang terbaru
adalah gerakan yang di nahkodai oleh dua ormas di Indonesia NU (Nahdlatul
Ulama) Muhammadiyah, dengan mengusung ide Islam Nusantara dan Islam Kemajuan
yang sama-sama mencoba mengaktualisasikan dan merumuskan gaya Islam yang secara
khusus terpola di Indonesia.
Oleh karena itu
dalam era globalisasi agama tidak hanya dipandang sebagai gerakan ritual
vertical yang terjadi antara hubungan pribadi hamba dengan Tuhannya, akan
tetapi juga mengajak dan membantu dalam mengentaskan masalah sosial secara
langsung bersama mewujudkan baldatun thayyaibatun wa rabbun ghofur.
Sekaligus wacana tersebut merupakan gerakana akuturisasi antara
kultur budaya di nusantara dengan nilai-nilai subtantif Islam, sehingga tidak
ada nilai-nilai yang tumpang tindih yang saling menjatuhakan sehingga
nilai-nilai pendahulu menjadi terhapuskan.
Maka dari itu berangkat dari falsafah diatas, bangsa Indonesia
dapat menunjukan identitas khas “Kenusantaraan” yang diramu dari “kompromi”
antara nilai-nilai budaya sebagai produk yang sekaligus menjadi benteng dalam
memfilter gusuran Era Globalisasi yang negative dan dapat memberikan dampak
yang positif dalam kehidupan nasional sehingga bangsa kita mempunyai ciri khas
tersendiri dalam watak dan tingkah lakunya.
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah