Dewasa ini terjadi
peristiwa demo besar-besaran yang dilakukan oleh aliansi mahasiswa dan
masyarakat sipil di berbagai daerah pada Senin dan Selasa (23—24/9). Pergerakan tersebut membuat
mahasiswa dari berbagai daerah melakukan demonstrasi yang berpusat di Kantor
Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta Pusat. Hal tersebut membuat Menteri Riset,
Teknologi Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir menurunkan imbauan
pada para rektor untuk tidak mengerahkan mahasiswanya turun ke jalan.
Imbauan tersebut ia
terapkan semenjak mendapat panggilan dari presiden di istana negara mengenai
aksi unjuk rasa mahasiswa, pada Kamis (26/9). Berdasarkan data yang dihimpun
dari Kompas.com, Nasir akan memberi sanksi bagi para rektor yang mengerahkan
mahasiswanya untuk berdemonstrasi. Bahkan, jika ada dosen yang ketahuan
menggerakkan aksi maka dosen tersebut akan diberi sanksi oleh rektornya. “Kalau
dia mengerahkan (mahasiswa), sanksinya keras. Sanksi keras ada dua; bisa SP1, SP2,”
Tegas Nasir.
Menanggapi hal tersebut,
Pakar Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Iding
Rasyidin tidak setuju atas pernyataan sikap Mohammad Nasir yang akan memberi
sanksi bagi para rektor yang mengerahkan mahasiswanya untuk aksi turun ke
jalan. Menurutnya, hal tersebut berlebihan.
“Toh, sampai saat ini aksi tersebut tidak membahayakan, jadi tidak perlu
harus sampai seperti itu,” Ungkap Iding saat ditemui di Fakultas Sosial dan
Ilmu Politik UIN Jakarta, Jumat (21/10).
Seorang peserta aksi,
Dinda Marta Asri juga mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap pernyataan
sikap Menristek tersebut. Menurutnya hal tersebut merupakan pembungkaman secara
perlahan terhadap ruang demokrasi. Padahal mahasiswa memiliki peran sebagai
kontrol sosial. Lagipula menurutnya aksi
yang dilakukan membawa substansi, bukan sekadar aksi sembarangan. “Bukan hanya
sekadar aksi, aksi mahasiswa kemarin membawa substansi. Aksi itu sudah melalui
berbagai kajian ilmiah, ada bundaran kajiannya, kemudian kita juga adakan diskusi
publik,” Tutur Dinda, Senin (14/10).
Mahasiswa Universitas
Negeri Jakarta (UNJ) tersebut turut menceritakan bagaimana Wakil Rektor tiga UNJ
membuat surat edaran mengenai pernyataan sikapnya terhadap aksi yang akan
dilakukan pada 24 September 2019. Dalam surat edaran tersebut tertulis bahwa
UNJ tidak terlibat secara konstitusional dan tidak mendukung kegiatan aksi
tersebut. Jika ada mahasiswa yang ikut aksi, maka resiko menjadi tanggung jawab
pribadi.
Tak hanya Dinda, Mahasiswa
UIN Jakarta Farah Zakiah yang juga menjadi peserta aksi mengungkapkan
ketidaksetujuannya dengan pernyataan sikap Nasir. Menurutnya pernyataan
Mohammad Nasir untuk tidak turun ke jalan dengan dalih sudah banyak kejadian
yang diluar batasnya adalah hal yang tidak wajar. “Saya rasa tidak bisa hanya
dilihat ke mahasiswanya, bisa dilihat dari
dua sisi; aparatnya, dan oknum-oknum yang memang sengaja mebuat situasi
menjadi rusuh,” ungkap Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam tersebut, Senin (14/10).
Sementara itu, dalam
web resmi ristekdikti.go.id,
menristekdikti memberikan pernyataan bahwa seharusnya mahasiswa lebih
mengutamakan dialog akademis dalam mengatasi permasalahan bangsa. Menteri Nasir
juga mengingatkan para mahasiswa untuk menyalurkan aspirasi konstitusional dan
tidak melalukan tindakan anarkis. “Jangan
sampai melakukan hal anarkis dan jangan sampai melakukan tindakan inkonstitusional,”
ungkap Nasir, Kamis (26/10).
Bahkan, Menristekdikti mengungkapkan
saat ini ia telah menjadwalkan kunjungan ke beberapa perguruan tinggi untuk
membuka pintu dialog dengan masyarakat. Menristekdikti meminta pemimpin
perguruan tinggi untuk menjaga penyaluran aspirasi mahasiswa sesuai mekanisme
aturan perundang-undangan yang berlaku.
Sefi Rafiani