Relevansi demonstrasi
sebagai bentuk pergerakan mahasiswa kerap dipertanyakan. Terlebih lagi,
tantangan beriring muncul di era Revolusi Industri 4.0.
Senin—Selasa (23—24/9), mahasiswa
dari berbagai daerah turun ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik
Indonesia (RI). Mereka melakukan demonstrasi atas Rancangan Undang-Undang (RUU)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang (UU) Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Itulah puncak dari Aksi
Mahasiswa #ReformasiDikorupsi.
Seiring berkembangnya
zaman, pergerakan mahasiswa tentu tak bisa dikatakan sama lagi. Kondisi sosial
politik saat ini jelas berbeda dengan saat pergerakan mahasiswa tahun 1998. Untuk mengulik hal tersebut, maka Reporter
Institut Muhammad Silvansyah Syahdi Muharram mewawancarai salah seorang
Mantan Aktivis 1998 Tubagus Ace Hasan Syadzily yang juga merupakan Presiden
Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Jakarta Periode 1998—2000.
1. Apakah pergerakan mahasiswa
dulu dan sekarang masih memiliki misi yang sama?
Sejatinya, mahasiswa memang merupakan salah satu alat kontrol terhadap
pemerintahan. Mereka menjadi bagian dari kelompok
strategis atau civil society yang juga mengontrol pihak-pihak lain dalam hal pengambilan kebijakan publik. Tentu, semangat mahasiswa
yang memiliki peran tersebut saya kira seharusnya sama sampai kapan pun walau mungkin
latar sosial dan politiknya berbeda.
Mahasiswa angkatan 1998 secara kritis melakukan
hal tersebut karena situasi sosial politik yang mengharuskan. Terutama,
sistem pemerintahan orde baru yang selama 32 tahun berkuasa dan nyaris tanpa kontrol
dari lembaga-lembaga demokrasi yang ada. Demokrasi hanya omong kosong karena semua kekuatan politik dan
kebijakan tersentralisasi. Terlebih lagi, gerakan mahasiswa dibungkam dan mereka dicengkram oleh
negara.
Saat ini, latar politiknya agak berbeda dengan
tahun 1998. Perbedaan itu terletak pada gerakan mahasiswa yang lebih bebas untuk melakukan kontrol
terhadap kebijakan-kebijakan publik. Apalagi saat ini, semua lembaga-lembaga
demokrasi dari mulai eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga-lembaga
kenegaraan lainnya relatif telah menjalankan fungsi dengan baik.
2. Bagaimana padangan Anda dengan
Aksi Mahasiswa #ReformasiDikorupsi di Gedung DPR RI pada 23—24 September 2019?
Menurut saya, itu hak mahasiswa. Kami mengapresiasi mahasiswa
yang melakukan koreksi terhadap berbagai kebijakan yang dinilai tidak baik atau
tidak tepat oleh mereka. Namun kalau kita lihat, isu yang diangkat dalam
demonstrasi pada saat itu ada berbagai macam.
Secara substansi, kalau semisal kita menolak terhadap RUU KUHP, itu artinya mengembalikan KUHP yg lama—buatan belanda yang lebih represif. Oleh karena itu, menurut saya isu yang diangkat harus lebih spesifik dan didalami hal apa yang
perlu diprotes.
3. Apakah pergerakan mereka sesuai dengan cita-cita Reformasi 1998?
Kalau itu tergantung pemahaman kita—terhadap UU KPK misalnya. Saya katakan bahwa jelas UU KPK yang direvisi tersebut sama sekali tidak memberhentikan KPK. Saya memahami revisi tersebut justru ingin memperkuat
kredibilitas KPK. Karena selama ini, tidak ada kontrol KPK untuk melakukan pemberantasan
korupsi secara internal. Oleh karena itu, ada lah dewan pengawas.
Sebetulnya, itu isu yang harusnya
dipahami oleh banyak pihak terutama mahasiswa—apakah penting atau tidak yang namanya
dewan pengawas tersebut? Kalau soal isu RUU KUHP, isu apa yang ingin kita kritisi? Toh, RUU KUHP juga sudah ditunda.
4. Bagaimana siklus pergerakan
Mahasiswa Ciputat?
Proses gerakan mahasiswa pada 1998 di
Ciputat saat itu diwarnai oleh munculnya kelompok-kelompok studi. Kelompok
studi itu lah yang selama ini menggodok berbagai isu, mengetahui tentang hal yg
harus kita idealkan dalam konteks negara demokrasi. Kami sendiri waktu itu
melakukan penggalangan kekuatan untuk menjatuhkan pemerintahan orde baru yang
sangat otoriter.
Saya tidak tahu dalam konteks Mahasiswa
Ciputat yang hampir selama 20 tahun tertidur sejak pascareformasi dan justu sekarang tiba-tiba bangkit. Akan tetapi tentu,
kritik saya yang paling penting adalah bahwa setiap mahasiswa pun juga harus
memiliki kemampuan untuk mengkaji berbagai isu secara mandalam. Jangan sampai
informasi yang didapatkan dari isu yang diangkat dalam demonstrasi jelas tidak
memiliki argumentasi yang kuat.
5. Bagaimana tantangan
pergerakan mahasiswa di era Revolusi Industri 4.0?
Saya selalu mengingatkan agar kita melek literasi politik. Sekarang ini, hampir semua di antara kita sudah menggunakan gadget.
Dunia ada dalam genggaman, berbagai informasi sangat cepat didapat sebagai konsekuensi dari Revolusi Industri 4.0. Kita harus betul-betul menjaga
kemampuan untuk menyeleksi berbagai informasi agar tidak terjebak ke dalam informasi
yg bertendensi pada hoaks.
Maka dari itu, saya pribadi tentu
berharap untuk mahasiswa mengedepankan semangat akademik dan intelektual. Supaya nantinya, isu yang mereka angkat bukan semata-mata informasi
sepihak dari media sosial, tetapi berdasarkan informasi yang utuh. Tantangan kita adalah bagaimana memanfaatkan Revolusi Industri 4.0 ini dengan penggunaan teknologi yang tepat.
6. Harus apa dan bagaimana pergerakan
mahasiswa ke depannya?
Saya kira, hal yang paling penting adalah gerakan mahasiswa tetap menjadi kekuatan kritis yang mampu menjadi gerakan moral bagi perbaikan
bangsa ini. Namun demikian, tentu tidak asal menyampaikan pendapatnya
yang kritis, tetapi juga harus didasarkan pada informasi yang akurat, data-data
yang mendalam, juga kajian-kajian yang tajam. Sehingga dari situ, akan melahirkan formulasi isu
dari gerakan yang tepat dan sesuai dengan konteks demokrasi saat ini.
Muhammad Silvansyah Syahdi Muharram
Muhammad Silvansyah Syahdi Muharram