Isu rasisme dan
diskriminasi masih saja bergulir. Tak hanya mahasiswa Papua, mahasiswa rantau
lain pun ikut merasakannya.
Masih segar dalam
ingatan kita, insiden penyerangan dan pengepungan asrama mahasiswa Papua di
Surabaya, Jawa Timur pada Jumat (16/8). Berdasarkan data yang dihimpun CNN
Indonesia, Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, Surya Anta
menjelaskan, awal mula pengepungan disebabkan oleh perusakan Bendera Pusaka
yang terletak di depan asrama. Pihak aparat
keamanan
menduga perusakan tersebut dilakukan oleh oknum mahasiswa di asrama.
Menurut keterangan
Surya, saat melakukan aksi penyerangan, aparat
keamanan
tidak melakukan investigasi mendalam terlebih dahulu terkait perusakan Bendera Pusaka.
Selain itu, mereka juga membiarkan ormas
tak dikenal
menjadi kian reaksioner. Ormas tersebut juga turut melakukan pengepungan
beserta makian rasis terhadap mahasiswa Papua. Penembakan gas air mata
berkali-kali serta perusakan fasilitas asrama membuat 43 mahasiswa asal Papua
terjebak dalam asrama. Mereka bertahan dan mengamankan diri dalam asrama tanpa
makan semalaman. Peristiwa yang kental dengan nuansa isu SARA ini membuat
sejumlah pihak turun tangan.
Nasib Mahasiswa Papua
di UIN Jakarta
Menanggapi hal
tersebut, salah seorang Mahasiswa UIN Jakarta asal Papua Rizky Chuan menggelar
aksi di depan Halte UIN pada selasa (20/8). Hal
ini dilakukan demi menyikapi kejadian di Surabaya yang santer dibicarakan media
sejak satu bulan lalu. Selain itu, aksi ini juga sebagai bentuk solidaritas
mereka terhadap mahasiswa Papua lainnya. Dalam aksinya, lelaki yang kerap
disapa Chuan ini memiliki beberapa tuntutan. Baginya, siapapun yang mengeluarkan kalimat-kalimat rasis itu harus
diadili.
Saat membicarakan
tentang diskriminasi yang didapat oleh mahasiswa Papua, ia turut menceritakan
apa yang ia alami beserta kawan-kawannya selaku mahasiswa Papua yang menuntut
ilmu di Jakarta. Contohnya saat di jalan, ada beberapa masyarakat sekitar yang
tiba-tiba langsung menutup hidung saat melihat ada orang Papua. Chuan
mengatakan, mungkin mereka merasa bahwa orang Papua itu bau, hitam.
Menurut Chuan,
diskriminasi itu bisa dalam bentuk apa saja. Seperti dalam cara pandang,
mahasiswa Papua sering kali dipandang orang kelas dua. Negara ini sudah lebih
dari 70 tahun merdeka. Namun masih banyak masyarakat yang punya cara pandang
seperti itu. “Negara ini memiliki multikultur yang berbeda-beda, tapi itu
justru tidak dipahami sebagian besar orang Indonesia,” tegasnya saat ditemui di
Sekretariat Mahasiswa Papua, Rabu (18/9).
Merantau Demi
Pendidikan
Seperti yang dikatakan
Chuan sebelumnya bahwa diskriminasi itu bisa dalam bentuk apapun. Tak hanya
mahasiswa Papua saja, mahasiswa rantau lain pun mengalaminya. Seorang mahasiswa
asal Bima, Nusa
Tenggara Barat Iranto mengungkapkan, ia dan
teman-teman sedaerahnya pernah mendapat ejekan lantaran logat mereka. Padahal,
saat berbicara mereka sudah berusaha menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan
benar. “Logat kita masih sering ditertawakan. Kalau masalah logat ya memang
pembawaan, tapi mau tidak mau kita harus terima,” keluh Mahasiswa Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi tersebut, Rabu (18/9).
Lain halnya dengan
Iranto, mahasiswa rantau lain asal Makassar, Sulawesi Selatan Asma Dwi juga sempat
merasa khawatir dan takut akan Kota Jakarta. Namun ia menceritakan suatu hal
yang membuat perasaan takutnya hilang terhadap Kota Jakarta. Saat itu Asma yang
dalam keadaan sakit memaksakan diri untuk membeli makan, namun di tengah
perjalanan ia tak sadarkan diri, saat terbangun ia melihat ada seorang
perempuan paruh baya yang telah menolongnya. “Ternyata, masih ada orang-orang
baik di Jakarta, tidak seburuk yang saya pikirkan sebelumnya,” jelas Asma, Rabu
(18/9).
Sementara itu, Ketua
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Periode 2012-2017 Hafid Abbas
menyarankan agar semua walikota atau gubernur terutama di kota-kota pelajar di
Indonesia haruslah mendukung Perguruan Tinggi untuk tidak membiarkan anak-anak
daerah memperoleh pelayanan pendidikan kualitas rendah.
Menurutnya, jika ada
pelayanan akademik yang bagus, maka tindakan mengganggu mahasiswa rantau,
apalagi sampai menyentuh masalah rasisme tidak akan terjadi. Ia juga
menyayangkan pengalaman rasis yang dialami oleh mahasiswa Papua. “Mahasiswa
Papua sama seperti mahasiswa lainnya, jadi jangan mau kalah. Kalau ada
kasus-kasus seperti itu anggaplah sebagai pemicu untuk terus lebih maju lagi,”
tutupnya, Rabu (18/9).
Sefi Rafiani
Sefi Rafiani