Maraknya tren hijrah di kalangan milenial khususnya di Indonesia
menjadi perbincangan yang tak pernah habis. Bahkan, makna hijrah yang berbeda pemahaman
turut mempengaruhinya.
Hijrah di kalangan muslim milenial merupakan pembahasan yang sedang
hangat diperbincangkan satu dekade terakhir. Hal tersebut dapat dihubungkan
dengan lahirnya apa yang disebut “ulama online”. Seperti yang dibahas
dalam salah satu artikel Firly Anisa berjudul Hijrah Milenial: Antara
Kesalehan dan Populisme.
Pada artikel tersebut, Firly Anisa mengambil satu sampel ulama yang
dikategorikan micro-selebrities yaitu Hanan Attaki. Penampilannya khas,
ia menggunakan topi ala musim dingin Eropa, bermain papan seluncur, dan
mengenakan hoodies. Hal tersebut yang membuatnya terkenal dan mempunyai
pengikut yang cukup banyak di media sosial.
Tak hanya itu, di kalangan milenial, ia pun disebut sebagai
ustaznya kaum jomblo. Bahkan, Hanan Attaki juga memperkenalkan terminologi hijrah
melalui kajian yang ia sebarkan melalui media sosial seperti Youtube dan
Instagram.
Terkait fenomena di kalangan muslim milenial, Mahasiswa Komunikasi
dan Penyiaran Islam Diana Satira beranggapan bahwa Hijrah sebagai makna proses,
dari mulai kebiasaan hingga pakaian yang merupakan dampak dari hijrah itu
sendiri. Namun, hal itu belum pasti orang yang menggunakan pakaian tertutup itu
berhijrah.
Diana menambahkan bukan suatu masalah ketika seseorang ‘hijrah’
hanya untuk mengikuti tren—seperti berpakaian syar’i—asalkan bisa menjaga
nilai-nilai. Karena faktanya saat ini, yang disalahkan bukan orangnya, tapi
pakaiannya (misalnya bercadar). “Semua kembali kepada diri masing-masing,
mungkin bisa mendapat hidayah melalui jalan itu,” pungkas Diana, Jumat (18/10).
Fenomena semacam itu—menurut Guru Besar Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi M. Yunan Yusuf—merupakan sebuah paham yang mengakui dan menjunjung
tinggi suatu keutamaan, yang disebut dengan populisme. populisme merupakan tren
kebangkitan orang-orang yang bertambah bangga menyatakan diri sebagai seorang
muslim.
Dengan menyatakan diri sebagai seorang muslim, orang merasa akan mendapatkan
tempat di mana-mana. Sehingga, mereka akan dipandang sebagai sesuatu yang lebih
memasyarakat. Jika dikaitkan dengan hijrah, istilah tersebut menjadi sesuatu
yang sedang membumi khususnya di Indonesia. Karena itu, hijrah sendiri
merupakan salah satu pintu menuju populisme Islam.
Hijrah yang banyak dipahami oleh kaum milenial saat ini adalah
hijrah seputar simbol-simbol yang mereka kenakan. Mereka berpindah dari suatu
simbol yang tidak dipahami sebagai seorang muslim ke simbol yang memang
merupakan identitas seorang muslim. “Seperti menggunakan hijab dan pakaian
tertutup bagi seorang wanita,” ujar Yunan Yusuf, Senin (14/10).
Yunan juga menambahkan, berhijrah dari segi pakaian menjadi pintu
gerbang dari hijrah itu sendiri. Karena pada dasarnya, sehelai pakaian akan
memperlihatkan postur dan gambran luar dari keber-Islaman seseorang. Namun,
hijrah tentunya tidak hanya berhenti sampai di situ, tetapi juga harus masuk kepada
hijrah dari segi sikap, tingkah laku, akhlak, dan kecerdasan.
Konteks hijrah menurut istilah yang dipahami adalah meninggalkan
yang buruk, kemudian digantikan dengan yang baik. Selaras dengan Yunan,
Direktur Center for the Study of Religion and Culture Idris Hemay mengatakan,
hijrah yang berkembang menjadi tren di kalangan milenial adalah hijrah dari
segi simbol, terutama pakaian. “Mereka menganggap bahwa hijrah sebatas itu,
padahal makna hijrah sendiri luas konteksnya,” ujar Idris di ruangannya, Kamis
(17/10).
Suatu hal yang menjadi permasalahan dalam dunia perhijrahan adalah
ketika mereka yang sudah menggunakan beberapa simbol ke-Islaman mengeklaim
dirinya lebih benar dari orang lain, begitu juga sebaliknya. Idris menambahkan,
sifat tersebut dekat dengan sebuah prinsip Al-Wala wa Al-Bara, yaitu
mencintai yang sama dengan dirinya dan memusuhi yang berbeda, termasuk muslim
yang berbeda aliran.
Oleh karena itu, jangan sampai hijrah terjebak hanya pada simbol.
Hijrah harus dimaknai secara komperhensif agar tidak terjadi gesekan-gesekan.
Indonesia memiliki banyak keanekaragaman suku, agama, dan budaya. Idris juga
berpendapat, hijrah yang baik adalah bagaimana pemuda itu dapat berperan lebih
aktif dalam menjaga perdamaian. “Hijrah dari hoaks, fitnah, dan ujaran
kebencian,” imbuh Idris.
Tanggapan pun datang dari beberapa mahasiswa. Seperti halnya
Mahasiswa Dirasat Islamiyah Andi Ramadhan, hijrah adalah berpindah dari tempat dianggap
baik ke tempat yang lebih baik lagi, baik dari segi sosial maupun ibadah. “Tampilan fisik
seseorang bukan aspek yang paling penting dalam hijrah,” ujar Andi, Jumat
(21/10).
Herlin Agustini & Muhammad Silvansyah Syahdi Muharram