Oleh: M. Rifqi Ibnu Masy*
Berangkat dari urgensi perayaan Hari Santri Nasional dan
multi-pemaknaan santri itu sendiri. Tulisan ini mencoba memperbincangkan
seberapa perlu adanya peringatan tahunan bagi kaum sarungan di negeri ini.
Selain itu, predikat santri juga menjadi perbincangan menarik. Apakah santri
hanya gelar bagi mereka yang mengenyam pendidikan di pesantren, atau bahkan
lebih luas cakupannya.
Terlepas dari kontroversi, dalam penelitiannya The Region
of Java (1961), Clifford Geerth mengklasifikasi masyarakat Jawa dalam tiga golongan. Pengastaan
masyarakat Jawa tersebut merujuk pada istilah Priayi, Santri, dan Abangan.
Dalam hal ini, santri dikategorikan sebagai golongan masyarakat yang teguh mengamalkan nilai-nilai keagamaan Islam dalam
kehidupannya.
Lain dengan Geerth, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam
tulisannya Pesantren Sebagai Sub kultural (2007) lebih
mengkhususkan istilah santri itu sendiri. Baginya, santri merupakan siswa yang
tinggal di pesantren, guna menyerahkan diri. Gus Dur menekankan kata
menyerahkan diri sebagai syarat mutlak untuk memungkinkan santri menjadi anak
didik kiai dalam arti sepenuhnya.
Lebih lanjut, Gus Dur menjadikan konsep barakah sebagai
pijakan utama seorang santri dalam menuntut ilmu. Alhasil, untuk memperoleh
konsep barakah tadi seorang santri harus mendapatkan kerelaan sang kiai dengan
mengikuti segenap kehendaknya dan melayani segenap kepentingannya. Pelayanan
santri terhadap sang kiai harus dianggap sebagai tugas kehormatan, dalam hal
ini Gus Dur menganggap sebagai ukuran penyerahan diri santri ke sang kiai.
Sedangkan, KH. Mustafa Bisri (Gus Mus) menganggap santri
bukan hanya yang menempah ilmu di pesantren saja. Melainkan, siapa pun yang
berakhlak layaknya santri patut disebut santri. Dari pernyataan Gus Mus ini,
tentu kita dapat mengambil kesimpulan kesimpulan siapa pun bisa menjadi santri
asalkan berakhlak layaknya santri.
Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015
yang dikeluarkan pada 15 Oktober 2015, Hari Santri Nasional resmi diperingati
tiap tahunya pada 22 Oktober. Tentu, penetapan tanggal tersebut bukan tanpa
sebab. Jika menilik sejarah, 22 Oktober sebagai hari besar dan bersejarah bagi
bangsa kita. Di mana pada tanggal tersebut, Resolusi Jihad digaungkan oleh
kalangan ulama sebagai kewajiban untuk melawan penjajah pada 1945.
Jangan lupakan sejarah, mungkin itulah kalimat yang tepat
menggambarkan keagungan resolusi jihad yang dicetuskan para ulama. Resolusi
jihad itu sendiri merupakan seruan merespons Netherland Indies Civil
Administration (NICA) yang ingin kembali menjajah Indonesia pasca kemerdekaan.
Tentu, tindakan NICA tersebut sebagai tindakan penghinaan bagi bangsa Indonesia
yang notabenenya sudah merdeka.
Resolusi jihad pun dicetuskan pada 22 Oktober 1945,
berisi himbauan bagi umat Islam yang berada dalam radius 94 kilometer dari
pusat pertempuran wajib ikut berperang melawan Belanda. Selain itu, resolusi
jihad juga menegaskan hukum membela tanah air adalah fardhu ‘ain bagi setiap orang Islam di Indonesia. Bahkan, ulama besar kala itu seperti
KH. Wahab Hasbullah memimpin langsung pertempuran.
Seluruh elemen pesantren, baik itu santri, kiai, bahkan
masyarakat muslin Indonesia kala itu tergerak penuh atas seruan resolusi jihad
tersebut. Bahkan, dua minggu setelah resolusi jihad digaungkan. Pertempuran
besar 10 November 1945 pecah di Surabaya, hingga sekarang kita mengenal dengan istilah
Hari Pahlawan. Peringatan Hari Santri Nasional itu sendiri, seyogianya menjadi
memoar peranan ulama dalam mendirikan tanah air ini. Para santri generasi
sekarang sudah sepatutnya memetik uswah dari fenomena besar tersebut.
*Penulis merupakan Pimpinan Redaksi LPM
Institut 2019, Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta