Berada
dalam kasta sosial tinggi tak membuat Minke terbebas dari masa-masa sulit.
Bahkan, ia harus berjuang menuntut keadilan bagi diri, mertua, dan bangsanya.
Tiada
kisah seperih romansa masa lalu, sebuah peradaban kolot jauh dari kata kemajuan.
Perbedaan kasta, budaya, bahasa, idealisme hingga gagasan kerap saling beradu.
Era kolonial selalu menampilkan torehan luka pada nilai kemanusiaan. Inilah
yang dirasakan Minke seorang pemuda pribumi Jawa tulen yang jatuh hati kepada seorang
gadis cantik keturunan Indonesia-Belanda.
Pertemanan
Minke dengan Robert Surhof –teman sekolah di Hoogore Burgerschool— mengantarkannya berjumpa dengan sosok gadis pujaan
hatinya. Sebut saja Annelies Mellema,
gadis ayu kepunyaan Nyai Ontosoroh dan Herman Mellema. Selain bertemu
dengan Annelies di Boerderij Buitenzorg sebuah Perusahaan Pertanian, Minke
juga bertemu dengan ibu kandungnya.
Berada
dalam golongan pribumi dengan kasta sosial tinggi, Minke sebenarnya bebas melakukan
apa saja yang ia mau, termasuk dalam hal pergaulan. Ia bebas bergaul dengan
siapapun yang ia pilih. Namun, sebagai Pribumi yang terpandang, Minke justru
berhadapan dengan masa-masa sulit. Masa sulit tersebut muncul saat Minke begitu
dekat dengan Annelies sosok gadis yang telah menyalakan api asmara. Namun siapa
sangka, Annelies terlahir dari rahim gundik orang Belanda.
Lain
halnya dengan apa yang dirasakan Minke, Annelies merupakan seorang anak yang
begitu mengagumi ibunya sendiri, Nyai Ontosoroh. Baginya menjadi seorang
pribumi yang utuh dan menikah dengan seorang pribumi adalah impian luhur.
Hadirnya Minke menjadi oase kala dahaga cinta menimpa Annelies. Adapun Nyai
Ontosoroh merupakan seorang istri simpanan Herman Mellema sehingga dinilai
negatif oleh lingkungannya.
Pada
masa kolonial, budaya feodal masih mengakar kuat. Posisi nyai atau gundik orang
asing mempunyai harga diri rendah dan juga dipandang sebelah mata. Derajat
seorang nyai tak berbeda jauh dengan binatang peliharaan. Beruntung, Nyai
Ontosoroh dididik dengan pengetahuan serta manajemen yang baik oleh suaminya
sendiri. Tak ayal hal itu membuat
perusahaan pertanian milik Mellema semakin berkembang pesat.
Minke
menganggap Nyai Ontosoroh layak untuk memiliki posisi terhormat. Bukan soal
status sosialnya, namun karena gagasan-gagasan yang ada di kepalanya. Kedekatan
Minke dengan Nyai Ontosoroh membuka pandangan tentang dunia Eropa baginya. Di
tunjukan pada saat itu, Eropa dengan kekayaan intelektual belum mampu menjamin
menempatkan hak-hak manusia dengan layak dan pantas. Meskipun ditentang
ayahnya, Minke percaya masih ada hal-hal baik yang dapat mengubah bagaimana
cara seseorang melihat sosok Nyai.
Kematian
Herman Mellema menjadi tanda tanya besar bagi setiap orang. Kesedihan pihak
keluarga Annelies tak hanya karena kematian ayahnya tersebut. Berbagai Fitnah
didapatkan Nyai Ontosoroh saat di pengadilan, ia dituduh sebagai pembunuh
suaminya sendiri. Masalah tersebut selesai, muncul lagi masalah baru. Konflik
makin rumit ketika Nyai harus memperjuangkan hak-haknya di ranah kehidupan
feodal. Nyai tak diakui oleh pengadilan sah tentang kepemilikan Annelies. Ia dihujat
dan digunjingkan di tanah kelahiran sendiri oleh kaumnya.
Film
yang diadopsi dari karya Pramoedya Ananta Toer ini mengisahkan perjuangan Minke
seorang pribumi yang menuntut keadilan bagi diriya, mertua, dan bangsanya.
Perjuangan yang akhirnya meruncing menjadi pertentangan antara Hukum Eropa dan
Hukum Islam. Hukum Eropa sebagai sebuah tatanan aturan yang dianggap ‘beradab’
dan ‘modern’ ternyata tak lebih dari sekadar hukum yang menjerat dan
menyengsarakan.
Dengan
durasi 180 menit, film yang digarap oleh Sutradara Hanung Bramantyo ini
berhasil membuat penonton ikut merasakan kisah perjuangan Minke terhadap
cintanya dan kesetaraan kaumnya. Perjuangan tersebut harus mundur tatkala
pengadilan Eropa memutuskan untuk mencabut hak asuh Nyai Ontosoroh terhadap
Annelies. Alhasil Annelies harus kembali ke Belanda dan diasuh oleh pihak
keluarga Herman Mellema.
Sefi Rafiani