Oleh Novita Soplanit
Perempuan lahir dari Masa ke Masa. Eksistensi yang ada
seharusnya tidak teralienasi oleh kepentingan-kepentingan organisasi masyarakat (ormas), konstitusi atau individu. Bukankah perempuan adalah tiang? atau bagian dari evolusi
peradaban muka bumi ini?
Secara kuantitas, perempuan Indonesia yang berjumlah 101.625,816 jiwa
atau 51% dari seluruh penduduk Indonesia yang menempati. Oleh sebab itu, adanya
konstruksi budaya dalam masyarakat, perempuan mau tidak mau harus menempati
posisi kedua setelah laki-laki. Atau dalam bahasa lain: pembagian kerja
berbasis jenis kelamin (gender based division of labor).
Seharusnya, keadilan (justice) terutama di negeri ini harus
ditegakkan oleh setiap laki-laki dan perempuan. Sejatinya jika kedua pihak
memiliki kesadaran eksistensial untuk memahami hakikat dirinya sebagaimana
manusia (human). Maka menurut hemat saya keduanya, memiliki potensi yang setara
dalam mengaktualisasikan diri sebagai manusia yang bersosial.
Oleh karena itu, aktivis perempuan tidak henti-hentinya berjuang untuk
meningkatkan kesadaraan perempuan secara utuh dari yang sadar maupun tidak
sadar telah mengadopsi praktek-praktek patriarki, bahkan bodohnya perempuan
sendiri menerima keadaan tersebut sebagai kodrat (given).
Sebenarnya, bagaimana kiprah perempuan di panggung politik dari masa
ke Masa terutama di Indonesia, khusunya di bidang politik? untuk itu, penulis
ingin mencoba menuturkan di dalam tulisan ini kiprah perempuan di panggung
politik dari masa ke masa.
Perempuan Dan Pergerakan
Sebelum Republik Indonesia merdeka, perjuangan aktivitis perempuan,
telah ada. Hal ini dikuatkan oleh berdirinya organisasi-organisasi perempuan
yang berkontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia. Misalnya, organisasi Pawijatan
Wanito di Magelang berdiri sejak tahun 1951 dan PIKAT (Perantaraan Ibu Kepada
Anak Temurun) yang dibentuk di Manado pada tahun 1917. Selain itu, di Surabaya
juga ada organisasi perempuan yang dikenal dengan nama Poetri Boedi berdiri sejak
tahun 1919 (Suryochondro, 1999.3).
Jika melihat organisasi-organisasi yang sudah berdiri. Saharusnya,
aktivitis perempuan, atau pihak-pihak legislator yang simpatisan untuk
menyalamatkan kesadaran regenerasi Milenal di abad 21 ini, setidaknya
organisasi tersebut menjadi inspirasi bagi gerekan kaum perempuan yang terus
menjamur pada masa selanjutnya, yakni masa pasca-kemederkaan hingga memasuki
pra orde lama.
Jika mau dikerucutkan lagi, perkembangan organisasi semakin nampak
setelah lahirnya Kongres Wanita Indonesia (kowani) pada tahun 1945. Kowani
merupakan “reinkarnasi” dari organisasi yang telah didirikan sejak tahun 1928,
yaitu (PPPI) Perikatan Perkoempoelan Perempuan Indonesia.
Sayangnya, pada 1965 Kowani sendiri menghadapi persoalan yang cukup
serius, yakni pimpinannya mengalami goncang-gancing terhadap gerakan G 30
S/PKI. Namun demikian, gejolak tersebut melahirkan organisasi perempuan sebagai
bentuk respon atas fenomena tersebut, yakni Kesatuan Aksi Wanita Indonesia
(Kawi). Tidak hanya itu organisasi lain yang muncul adalah (Gerwani) Gerakan
Wanita Indonesia yang kerap kali dicap, sebagai sekte komunis (Kompas, 7
Oktober 1999).
Konstruksi Polemik, Politik Gender Sebagai Jalan Keluar
Jika mengacu terhadap Sustainable Development Goal (SDGs), sebagai
kelanjutan Millenium Devoplment Goals (MDGs), beberapa di negara dunia telah
menetapkan kesataraan (gender) sebagai salah satu tujuan (goals). Artinya,
kesetaraan gender yang dimaksud di sini adalah yang terkait dengan pemberdayaan
perempuan yang terkmaktub dalam pilar atau benteng pembangunan manusia.
Saharusnya ini dijadikan realisasi di dalam macam-macam bidang, termasuk bidang
politik. Menurut analisis saya. Jalan bagi kaum perempuan sudah terbuka sejak
lama untuk berkiprah di kancah politik
internasional.
Namun demikian, perjuangan perempuan masih menemui jalan berliku
karena hingga saat ini untuk mencapai wilayah publik (lembaga ligislatif) harus
melalui pintu partai politik sebagai satu-satunya mesin politik di Indonesia.
Padahal, tidak semua partai politik berpihak kepada perempuan. Artinya dunia
politik masih kental dengan budaya maskulinisme.
Misalnya, rapat partai dilakukan pada malam hari hingga menjelang
subuh. Keadaan ini menyulitkan ruang bagi perempuan, yang secara tradisional
terkait dengan beban kewajiban untuk menjaga anak dan melayani suami. Sehingga,
hal tersebut menghambat kebebasan perempuan untuk berperan lebih jauh lagi di
kancah politik.
Dalam pemberdayaan perempuan kita sering melupakan atau pura-pura lupa
sekalipun unit kecil dalam kelembangaan masyarakat “keluarga”, di mana “ibu”
mengambil peranan penting di dalamnya. Di tambah mayoritas perempuan tidak
mandiri secara ekonomi. Artinya, secara finansial masih bergantung terhadap
suami.
Kalau pun, aktivis perempuan telah berhasil mendesak sikap afirmatif
dalam UU Pemilu yang memuat kuota 30% bagi keberadaan calon anggota legislatif
perempuan, itu pun tidak berjalan mulus menundukkan perempuan sebagai wakil
rakyat. Tidak hanya itu, sistem zipper yang sedianya dianggap mampu
menaikkan keterwakilan perempuan di parlemen justru harus “kandas” karena
“dipatahkan” melalui (MK) Keputusan Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, perjuangan perempuan dalam upaya menegakkan
kesetaraan gender masih jauh dari harapan. Kalau pun ada olok-olok perjuangan
perempuan di parlemen bisa berfungsi efektif sebagai kekuatan pengimbang dan
pengontrol (cheks and balances) atau sebagai wadah pemberdaayan kaum perempuan di
Indonesia, pada akhirnya berujung kandas.
Oleh karena itu, perjuangan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan
gender tidak dapat dilakukan oleh kaum perempuan sendiri, melainkan diperlukan
afiliasi atau kerjasama dengan entititas sosial lain yang memiliki kepekaan
tehadap persoalan perempuan (gender sensitivity).
Di samping itu, perjuangan tersebut juga memerlukan komitmen bersama
dari pengambil keputusan, tokoh masyarakat,tokoh agama, tokoh adat, LSM, kaum
cendekiawan, beserta seleruh elemen masyarakat dalam rangka meligitimasi
berbagai kendala kultural, struktural, dan instrumental dalam upaya mewujudkan
kesetaraan gender di muka bumi ini.
*Penulis adalah mahasiswa Jurusan Studi Agama-Agama