Oleh : Ajen Jaenudin
Selamat datang mahasiswa baru, di kampus biru
pembaharu, perubahan warna biru pada almetmu; dari gelap menuju terang, petanda
sinyal-sinyal perubahan UIN Jakarta harus disegerakan. Segenep ide/gagasan,
narasi dan karya mari kita dimunculkan. Nyalakan api perubahan; yang biru
menyala dan merah membara, di kampus tercinta UIN Jakarta. Api perubahan itu
penulis namai ‘Api Literasi’. Api adalah simbol semangat sedangkan literasi
adalah kemampuan menulis, Api Literasi maksudnya adalah semangat yang
menggebu-gebu untuk melakukan perubahan yang signifikan lewat tulisan.
Menulis adalah suatu cara untuk bicara,
suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa---suatu cara untuk menyentuh
seseorang yang lain entah dimana. Cara itulah yang bermacam-macam dan disanalah
harga kreatifitas ditimbang-timbang, hal ini diungkapkan Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya Ketika Jurnalisme
Dibungkam Sastra Harus Bicara. Menulis memicu lahirnya pergerakan dan
pencerahan yang menyebarkan inspirasi ke seluruh dunia, inilah alasannya
mengapa kita perlu menghidupkan Api Literasi guna untuk membawa perubahan,
memicu pergerakan dan menginspirasi banyak orang.
Dalam kesempatan acara Indonesia Lawyers Club yang ditayangkan
salah satu tv suwasta, Anies Baswedan mengungkapkan perubahan yang signifikan
akan terjadi bila ide/gagasan, narasi dan karya tersusun dengan rapi, hal yang
paling mendasar untuk mendapatkan itu semua adalah mengamati, berpikir dan
mulai menulis narasi. Perubahan terjadi dari suatu hal yang kecil dan mendasar
kepada yang lebih besar dan mengakar. Pada kesempatan kali ini penulis mengajak
kepada mahasiswa baru untuk menghidupkan api literasi dalam bidang kebersihan,
kerapihan, dan keamanan. Menggubah UIN Jakarta lewat karya (berupa tulisan:
baik essay, opini, surat menyurat atau yang lainnya).
Mengapa UIN Jakarta mesti digubah?
UIN Jakarta seperti bunga yang indah di mata dunia dan di mata masyarakat Indonesia.
Predikat terbaik pun acapkali diraih olehnya, bahkan UIN Jakarta dinobatkan
sebagai kampus terbaik nomor satu di Indonesia. Namun dibalik keindahannya,
Bunga tersebut tidak dirawat dengan baik, sehingga kami (mewakili mahasiswa
lama) merasa malu menjadi mahasiswa UIN Jakarta. Bagaimana tidak? Di kampus
nomor satu tersebut, kamar mandi di Mesjid Student Centernya masih semrawut,
pintu-pintu kamar mandi terbuka lebar namun tidak bisa ditutup, belum lagi
tempat pipis yang selalu tiris.
Cobalah sesekali bersafari pula ke jamban-jamban fakultas, di sana
ada noda yang membakas tanpa pernah tau kapan masalah kebersihan ini akan
tuntas. Belum lagi masalah kerapihan, tata kelola taman yang semrawut, dengan
bangku-bangku dibawahnya yang retak tak beratap, bila hujan kehujanan bila
panas kepanasan. Dan masalah keamananan yang kerapkali menyita perhatian. Berita
kehilangan laptop di musholla-musholla fakultas belum juga bisa diretas, berita
kehilangan sepeda motor masih menjadi teror dan penanganan kasusnya bisa
dibilang molor sehingga kisah ini menjadi horor bagi mahasiswa yang membawa
motor, sistem keamanan sangat rentan; karcis parkir UIN Jakarta hanya sekedar pencet
tombol untuk masuk sedangkan untuk keluar bisa bebas leluasa, tanpa diperiksa
dulu stnk dan kelengkapannya.
Masalah keamanan ini utamanya memang
harus segera diperbaiki sebelum jatuh korban lebih banyak lagi, termasuk
masalah keamanan adalah lintasan penyebrangan antara UIN Jakarta kampus satu
dengan UIN Jakarta kampus dua, antara pintu keluar dengan masjid Fathullah, setiap
kali melintasi jalur tersebut hati kami dag-dig-dug memberhentikan
kendaraan yang ada. Kadang beberapa kendaraan terus melaju tanpa mengiraukan
lambain tangan kami. Mengapa tidak jua dibuatkan jembatan penyebrangan? Agar
kami merasa tenang ketika menyebrang dan tidak menyebabkan kemacetan, ini bukan
sekedar efisiensi penyebrangan, lebih dari itu adalah soal keselamatan jutaan
manusia saat menyebrang, haruskah nyawa yang jadi taruhan?
Aku mendengar keluh kesah supir bus
antar jemput mahasiswa, yang mengantarkanku ketika menjemput peserta lomba
Olimpiade Al-Quran Se-Indonesia. Dia hanya ingin busnya diganti dengan yang
baru supaya nama baik UIN Jakarta tetap terjaga. Dia berkata ‘Bus tua ini tak
jua diganti, kadang saya malu membawa mahasiswa dengan bus tua yang hanya
menyala kipas angin separuhnya saja, sedangkan separuhnya lagi tak berfungsi
seperti semestinya. Ini kipas angin bukan Ac. Saya merasa bus ini sudah tidak
layak untuk mengangkut mahasiswa UIN Jakarta, sudah seharusnya bus ini
dimusiumkan dan diganti dengan yang layak sebagaimana semestinya. Saya berharap
setelah adik turun dari bus ini, adik segera menulis dan mengajukan bus baru
kepada para petinggi. Tulisan mahasiwa sangat berarti bagi kami agar bus baru
bisa terealisasi.” Ini juga soal keamanan. Keprihatinan dari curahan hati
seorang bapak supir bus, yang menggerakkan saya menulis opini ‘Api Literasi’.
Mari kita hidupkan. Mari kita nyalakan. Sebagai mahasiswa agent of change.
Mari menulis untuk perubahan. Lewat tulisan kita goreskan peradaban.
*Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir 2016
Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta