Oleh:
Bayu Wahyudin*
Pengenalan
Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) merupakan rangkain acara rutin tahunan
yang diselenggarakan oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Acara ini diselenggarakan sebagai
proses pengenalan awal seputar kehidupan kampus dan seluk-beluk kegiatan
mahasiswa serta sebagai sambutan terhadap para mahasiswa baru. Rangkaian
kegiatannya biasa dilakukan sekitar empat hari, mulai dari pengenalan tingkat
universitas, fakultas hingga jurusan.
Dalam
kurun waktu tersebut, para mahasiswa
baru akan dijejali berbagai materi dan kegiatan-kegiatan seremonial yang cukup
melelahkan. Karena setiap harinya, PBAK berlangsung seharian penuh. Belum lagi
dengan adanya beberapa tugas dan perlengkapan-perlengkapan yang dibebankan
kepada mahasiswa baru, membuat mereka seolah kewalahan. Sebagai seorang yang
pernah mengikuti PBAK, kiranya saya cukup pengalaman untuk menceritakannya.
Selama
PBAK, para mahasiswa baru diwajibkan melengkapi diri dengan segala macam
perlengkapan yang dibebankan kepada mereka. Perlengkapan ini mulai dari
identitas diri, seperti selempang, id card, topi, dasi, pin, kertas
asturo, dan lain-lain. Bahkan ketika era saya dulu, dihari terakhir sempat
disuruh membawa bunga mawar dan cokelat segala. Saya kira ini rada unik,
mungkin perlengkapan-perlengkapan yang tak kalah uniknya juga dibebankan kepada
teman-teman di jurusan atau fakultas lainnya.
Momen
PBAK ini, jika ditilik dari sudut pandang bisnis memang bisa menguntungkan. Dimana
perlengkapan PBAK bisa dijadikan komoditas untuk mendatangkan laba. Meskipun
hanya diselenggarakna setahun sekali, tapi pangsa pasarnya jelas, yakni mereka
para mahasiswa baru yang jumlahnya bisa mencapai enam ribuan orang. Dalam waktu
yang bersamaan, enam ribu mahasiswa baru ini membutuhkan perlengkapan yang
relatif sama, selempang misalnya.
Hal
ini membuat permintaan (demnad) terhadap perlengkapan dan pernak-pernik
PBAK meningkat. Bayangkan saja, jika seorang penjual berhasil memasarkan 500
selempang saja, dengan estimasi keuntungan setiap selempang sekecil-kecilnya
Rp.10,000/selempang, maka terlihat berapa keuntungannya. Jadi, tak heran jika
menjelang PBAK, banyak pihak-pihak yang menawarkan dan menjajakan
perelngkapan-perlengkapan tersebut.
Oleh
karena itu, demi menjaga marwah PBAK yang begitu penting bagi para mahasiswa
baru, maka marilah kita jaga proses berlangsungnya. Karena jika berbicara soal
PBAK, masalahnya bukan hanya soal monopoli penjualan atribut saja, masih ada
persoalan lainnya. Janganlah kita nodai kegiatan yang sebetulnya mengasikkan
ini dengan ego dan kepentingan pribadi. PBAK ini sudah seperti hajatan kampus
selain pemilu raya, yang mana didalamnya melibatkan hampir seluruh civitas
akademika. Semoga saja kedepannya PBAK semakin riang gembira, dipenuhi cinta
dan gelak tawa, serta meninggalkan kesan “saya tak menyesal masuk UIN Jakarta”
pada setiap pesertanya.
*Penulis
merupakan mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik