Oleh:
Fauzan Nur Ilahi*
Nama
kegiatan kampus yang tak berguna dan merugikan itu adalah PBAK. Iya, PBAK.
Kegiatan
Pengenalan Budaya Akademik dan Kampus atau yang lebih akrab dengan akronim PBAK
ini, sejatinya adalah suatu kegiatan yang diadakan, sesuai dengan namanya, atas
dasar pemikiran untuk memperkenalkan serba-serbi dunia akademik dan kampus
kepada para mahasiswa baru. Kegiatan ini biasa dilaksanakan saban tahun sekali
di berbagai sekolah dan kampus-kampus Indonesia. Tidak terkecuali di kampus
tercinta ini, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tetapi
dalam penerapannya, kegiatan tahunan ini sepertinya masih jauh panggang dari
api. Terjadi semacam pergeseran orientasi dari yang semula diadakan sebagai ajang
pengenalan seluk beluk kampus, menjadi ajang pembodohan dan pemangkasan akal
sehat kepada para mahasiswa baru (selanjutnya akan disebut “Maba”) oleh para
panitia pelaksana. Oleh sebab itu, untuk membahas fenomena inilah tulisan ini
kemudian lahir. Penulis menilai, regulasi PBAK yang kian tahun bukannya kian
membaik malah semakin tidak jelas ini, tidak bisa kita biarkan begitu saja.
Dalilnya sederhana: Kegiatan apapun yang terindikasi memangkas kebebasan dan
akal sehat kita, sudah seharusnya kita lawan.
Memaksa
Pikiran Seragam (Militeristik)
Kita
mungkin sudah sama-sama tahu bahwa salah satu fungsi perguruan tinggi, universitas,
atau kampus yaitu untuk memaksimalkan potensi akal dari para mahasiswanya. Jika
kita menggunakan parameter psikologi, maka kita akan paham bahwa setiap manusia
dilahirkan dengan kemampuan dan potensi yang beragam. Begitu pun dengan pikiran-pikiran
yang mereka miliki.
Tetapi
regulasi dalam kegiatan PBAK sepertinya tidak peduli terhadap premis ini. Buktinya
sederhana. Dalam prakteknya, banyak aturan yang terdapat dalam PBAK
mengharuskan para mahasiswa untuk seragam dalam segala hal. Dimulai dari hal
sederhana seperti warna pakaian atau atribut, jargon atau slogan, barang-barang
yang tidak jelas fungsinya apa, hingga akhirnya mencakup hal yang substansial:
pemikiran pun dipaksa untuk seragam.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa dalam penerapan PBAK sangat kental dengan aroma
milteristik. Keberagaman seringkali diberangus oleh para pelaksana itu sendiri.
Alasan para panitia atau yang akrab disapa “senior” ini pun begitu klise.
Dengan dalih melatih mental dan juga fisik, mereka menganggap sah memberi hukum
yang aneh-aneh apabila para maba tidak mengikuti instruksi atau komando yang
diberikan. Jika demikian, bagaimana pikiran-pikiran yang kreatif dari para
mahasiswa mau muncul, jika di tahap awal perkuliahan saja mereka dipaksa untuk
sama dalam semua hal. Aneh, bukan?
Sebagai
perbandingan, di Amerika Serikat, tepatnya di Universitas of New Mexico,
alih-alih mahasiswa mendapat aturan-aturan di luar nalar seperti di atas,
justru mereka mendapat pelajaran berharga semisal ilmu keuangan, konsultasi, atau
kasus pelecehan seksual, selain tur mengelilingi kampus. Dalam waktu beberapa
hari, maba di sana mempelajari tema-tema positif tadi dan saling berinteraksi
dengan kawan-kawan mereka (lih: santafenewmexican.com). Pun di kampus Hamsphire
College, Amerika Serikat. Para maba justru diajak duduk melingkar di taman
kampus guna berdiskusi dan membahas isu-isu penting yang tengah terjadi. Dengan
pola kegiatan yang seperti ini, maba tentu lebih terlihat sebagai manusia yang
dihargai keberagaman potensi akalnya dan bukan dianggap bagai binatang
peliharaan yang siap ditarik ke sana dan ke mari.
*Penulis
adalah Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat Islam, Prodi Studi Agama-Agama Semester 7 dan Pegiat Kajian di
Indonesian Culture Academy