Perguliran tumpu kepemimpinan adalah salah
satu indikator penting akan sehatnya demokrasi bangsa. Demokrasi yang sehat
selalu memberikan ruang dan kesempatan yang luas kepada putra-putri tanah air untuk
berkontestasi mengabdi dan mengerahkan segenap kemampuannya dalam memimpin dan
membangun bangsa. Seperti itulah pemahaman sederhana saya akan pesan dan tujuan
dari dilaksanakannya Pesta Demokrasi yang telah menjadi ritus politik di negara
kita ini.
Dalam rangka merawat demokrasi bangsa, tahun
2019 ini adalah momentum politik yang cukup hangat bagi seluruh elemen
masyarakat untuk melibatkan diri pada Pesta Demokrasi. Disamping Pilpres dan
Pileg, khususnya bagi saya dan seluruh mahasiswa UIN Jakarta, tahun inipun
adalah momentum politik yang sangat menarik dalam menghadapi Hajat Besar
Pemilihan Umum Mahasiswa Raya (Pemira) UIN Jakarta 19 Maret mendatang.
Serangkaian persiapan terus digencarkan oleh Komisi
Pemilihan Umum UIN Jakarta dalam menyambut hajat besar tersebut. Dari sejak tahap
pemberkasan dan verifikasi perangkat administrasi pencalonan, sampai kepada
ritual kampanye dan debat para calon kandidat. Kendatipun dalam perjalanannya
mengalami kericuhan dan gesekan-gesekan panas, namun pada akhirnya semua pihak
menemukan titik legowo.
Selaku mahasiswa UIN Jakarta, saya ingin mencoba
ikut berpartisipasi menyambut Pesta Demokrasi ini. Saya cukup tertarik dengan
digelarnya Debat Kandidat Calon Ketua dan Wakil Ketua DEMA UIN Jakarta
tertanggal 15 Maret di Hall Student Center kemarin. Saya coba ikuti dan
pelajari dari awal sampai acara tersebut berakhir, meskipun memang tidak semua
hal dapat saya tangkap dengan baik akibat keriuhan yang terjadi. Sebagai
mahasiswa yang selalu belajar menjadi demokratis, ada beberapa catatan kecil
yang ingin saya sampaikan sebagai bentuk suara aspirasi.
Dalam sesi pemaparan Visi-Misi pada acara
debat kemarin, pasangan Hudori-Hamdi (Kubu 01) menawarkan visi “Menjadikan
Dema Universitas Media Aspirasi, Inspirasi, dan Berkarya Mahasiswa UIN Jakarta.”
Hal ini sangat menarik perhatian saya,
pasalnya Kubu 01 menyampaikan Visinya berangkat dari permasalahan yang analitis.
Namun bagi saya, titik permasalahan yang dijadikan landasan pembangunan Visi
mereka adalah titik permasalahan yang terbilang klasik. Seperti tersendatnya
birokrasi dan ekslusifitas peran DEMA-U yang melatarbelakangi mereka menyelipkan
terma Aspirasi dalam Visinya, sepanjang keikutsertaan saya dalam debat
kandidat di kampus ini, masalah tersebut
terus saja hadir dalam gagasan para paslon kandidat.
Adapula dengan terma Inspirasi dan berkarya
yang tercantum, terma ini adalah diksi yang menurut saya bernilai pasif,
sebab Visi tersebut dibangun dengan kalimat Menjadikan Dema-U (sebagai)
Media, bukan sebagai Pelopor.
Kendatipun saya juga cukup tertarik ketika mendengar
kalimat Digitalisasi Kampus dan kaitannya dengan Revolusi Industri 4.0 muncul,
namun setelah saya pelajari penjelasan Kubu 01 lebih jauh, saya berasumsi bahwa
Kubu 01 tidak menganggap Revolusi Industri 4.0 ini sebagai permasalahan
kompleks yang perlu dikaji secara masif dan lalu diejawantahkan ke dalam setiap
perangkat pembangunan SDM mahasiswa dan kampus. Tetapi dari penjelasannya, Kubu
01 lebih hanya menangkap semangat digitalnya saja, yang kemudian coba digunakan
sebagai sarana implementasi program. Hal ini saya asumsikan sebab Kubu 01 tidak
mencantumkan wacana besar tersebut dalam Visinya.
Beralih ke pasangan Sultan-Ari (Kubu 02) yang
menawarkan Visi “Terwujudnya DEMA UIN sebagai Organisasi yang Berdemokrasi,
Intelek, dan Berkarakter Islami”. Visi dari Kubu 02 inipun cukup menarik untuk
di kupas. Pertama dari segi bahasa, Visi tersebut menempatkan DEMA-U sebagai
objek sasaran pembangunan, bukan sebagai subjek. Memang di dalam terma Berdemokrasi
seluruh mahasiswa dapat terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung,
namun tidak sama halnya dalam diksi Intelek dan Berkarakter Islami. Mengapa
demikian, sebab kalimat yang digunakan dalam Visi tersebut ialah “Terwujudnya
DEMA UIN” bukan ”Terwujudnya Mahasiswa UIN”. Terlepas dari siapa
atau apa yang keliru, saya yakin objek sasaran yang dimaksud dari Visi tersebut
adalah Mahasiswa UIN Jakarta secara umum.
Kemudian yang kedua dari segi substansi, terma
Berdemokrasi memang secara baik dijelaskan dengan pemaparan masalah yang
cukup kongkrit, tetapi pada terma Intelek dan Berkarakter, saya
tidak mendapat penjelasan yang mendalam. Padahal justru, saya sangat- menunggu-nunggu
penjelasan tentang latar belakang masalah dari munculnya dua terma tersebut.
Bahkan saya selaku mahasiswa akan sangat tercengang manakala dihadirkan juga
data yang kongkrit perihal permasalahan intelektual
Mahasiswa UIN Jakarta, sampai-sampai perlu di jadikan Visi. Sebab hal ini akan
membukakan mata kita semua selaku mahasiswa yang semestinya jauh dari degradasi
Intelektual.
Terlepas dari catatan kecil saya ini, banyak
sekali hal yang harus saya apresiasi dan saya harapkan dapat terimplementasi
dari Visi-Misi kedua kandidat pasangan calon. Baik Kubu 01 maupun Kubu 02,
secara mesra membawa gagasan yang cukup senada, seperti advokasi dan
pengentasan masalah-masalah sosial-ekonomi mahasiswa yang mengalami
ketersendatan dalam proses kuliahnya, mendobrak wajah dan wijhah DEMA-U yang
eksklusif dan menjadikannya wadah yang inklusif, pengintegrasian forum-forum
kajian kecil di setiap lokal Fakultas maupun Jurusan menjadi forum besar sekup
Universitas, dan lain sebagainya. Tetapi dari itu semua, secara umum saya
melihat bahwa Visi-Misi yang ditawarkan oleh kedua paslon kandidat, mayor ke
arah pembenahan dan minor ke arah pembangunan.
Ada juga yang masih janggal dalam benak saya,
yang memang mesti diberikan penjelasan lebih lanjut, yakni pencantuman terma Islami.
Pada Kubu 01 terdapat terma Islami dalam salah satu Misinya yaitu UIN
Islami, begitupun pada Kubu 02 diksi tersebut bahkan terdapat dalam Visinya
yaitu Berkarakter Islami. Hal ini membuat saya heran, sebagai mahasiswa
muslim dan kuliah di kampus Islam, mengapa masih saja ada label Islami yang
mesti dibangun dalam Visi-Misi masing-masing paslon kandidat. Seberapun saya
sadari, pengamalan nilai-nilai ke-Islaman masih cukup bias di kalangan
mahasiswa UIN Jakarta, tapi alangkah hebatnya manakalah kedua paslon kandidat
mampu menawarkan dan memaparkan gagasan Islami-nya dengan hasil kajian,
analisa masalah, dan data yang kongkrit, sehingga menjadi apriori untuk
dicantumkan dalam Visi-Misi dan mampu menumbuhkan kesadaran keberislaman seluruh
elemen yang bernaung di UIN Jakarta.
Tidak hanya kepada paslon kandidat, saya pun
punya catatan kecil untuk KPU UIN Jakarta, khususnya dalam penyelenggaraan
debat kandidat kemarin. Pertama terkait dengan waktu, kita memang sama-sama
telah menyadari bahwa bangsa kita memiliki permasalahan dalam manajerial waktu.
Beberapa hari sebelum dan sampai pada hari pelaksanaan debat kandidat
berlangsung, akun resmi Instagram KPU UIN Jakarta telah memposting pengumuman debat
kandidat sebanyak empat postingan. Disana tertulis dan diingatkan bahwa acara akan
berlangsung pukul 14.00 WIB.
*Mahasiswa Perbandingan Madzhab UIN Jakarta