Sebuah lagu berjudul jagalah hati karya Snada, grup
nasyid Indonesia mengisahkan peran hati yang amat berpengaruh bagi seseorang.
Bait-bait di dalam lagunya menjelaskan kedudukan hati, yang dengannya pandangan
hidup seseorang diarahkan, dalam artian nasehat berbalut irama di lagu tersebut
mengajak pendengarnya agar senantiasa merawat hati, sebab dengan hati, perasaan
manusia diputuskan, yang pada gilirannya menentukan sikap. Lagu ini kemudian
dipopulerkan muballigh Aa Gym, yang
sering membawakan tema hati di ceramahnya.
Mengenai hati, Nabi Muhammad SAW menyebutnya bagai
segumpal daging yang memimpin seluruh kehendak gerak tubuh manusia. Di dalam
hadist riwayat Bukhari dan Muslim itu, disabdakan, hati ialah pembina,
pengatur, yang imperatif, yang dengannya seseorang bertingkah laku, berucap,
hingga berpikir. Hati juga ibaratkan raja dan anggota badan adalah rakyatnya.
Apabila hati menangkap sesuatu yang baik, maka anggota badan pun mengikutinya.
Pun sebaliknya, hati yang menyerap hal buruk, maka anggota badan juga
mengonsumsinya. Ibn Athaillah berujar dalam Tajul
Arus, hati itu laksana pohon kering yang membutuhkan asupan air. Buah yang
akan ia hasilkan sangat bergantung bagaimana pohon itu dirawat. Jelaslah bahwa
hati merupakan pengendali tingkah laku manusia.
Hubungan hati dan pembangunan sosial, bisa dijembatani
dengan teori sains modern, yakni pandangan sosiolog Peter L. Berger. Ia
mengatakan terdapat tiga tahapan manusia dalam memahami realitas, yakni obyektifikasi,
internalisasi, dan eksternalisasi. Obyektifikasi mengawali dengan melihat
kenyataan kemudian mempersepsikannya. Mata dan akal kita mencoba mengenali
kenyataan itu. Kemudian, internalisasi melanjutkannya dengan mencoba
mengonseptualisasikannya melalui dugaan, prasangka, tebakan, perkiraan dan
semacamnya berdasarkan pengalaman atau pengetahuan sebelumnya yang berkaitan
dengan kenyataan tersebut.
Hingga eksternalisasi menutupnya dengan mengucapkan
pernyaataan-pernyataan. Kita bisa telisik, pada tahap obyektifikasi dan
internalisasi, ketika seseorang mulai menduga-duga penafsiran akan sesuatu, dia
mencoba menghubungkannnya dengan pengalaman yang relevan. Apa yang telah ia
dapatkan, akan ia jadikan panduan dalam memberikan penafsiran.
Bagaimana jika hati, yang memiliki peran siginifikan di
proses berfikir manusia, telah dipenuhi perasaan dendam, benci, kedengkian,
amarah dan sebagainya, yang kemudian berlandaskan perasaan itu mengartikan
suatu kenyataan? Hasilnya mudah ditebak. Bahwa pemaknaan yang tercipta adalah
yang sesuai selera, yang sejalan dengan nilai, yang seirama. Tidak jarang,
kebenaran di dalamnya tertutupi oleh keegoisan tadi. Itu semua kembali kepada
hati. Bagaimana hati bisa sangat mengendalikan pemaknaan-pemaknaan kita akan
sesuatu.
Hati sangat menguasai, memengaruhi pikiran dan tindakan manusia,
sebagaimana di awal, hati adalah raja juga pemimpin dan anggota badan adalah
pengikutnya. Hati yang mempersepsikan segalanya dengan baik, bertumpu
kelembutan dan empati akan membuahkan yang baik pula. Pun sebalinya, hati yang
menampung dugaan dugaan negatif, akan membuahkan sikap negatif pula.
Rahasia umum kita, sebagai bagian dari masyarakat,
mengakui bahwa ukuran keberhasilan seseorang di pentas kehidupan adalah
materialis. Raga dipandang lebih utama daripada jiwa, lahir dianggap lebih
bernilai ketimbang batin. Budaya kita mengonfirmasikan hal itu. Rasa takjub,
hormat, lebih sering kita haturkan kepada mereka yang unggul di aspek fisik.
Akibatnya, perburuan materialis, dengan beragam upaya, yang terkadang harus
mengorbankan etika, moral, bahkan idealisme, kerap menjadi pandangan kita
sehari-hari.
Kita terjebak dalam lingkaran pertengkaran dambaan itu; saling
sikut, dengki, benci, dendam, adu domba, sumpah serapah hingga mengkritstal,
berujung konflik horizontal. Variasi keinginan, kebutuhan, dan kepentingan
mewujud dalam penyematan istilah antarkelompok yang bersebrangan. Ketegangan
ini bermula dari sikap pendewaan materialis, yang didukung perasaan angkuh dan
egois. Padahal manusia terdiri dari jiwa dan raga yang menyatu. Jiwa yang
merupakan duplikasi hati harus terus dipelihara agar seimbang dengan raga,
Dari sinilah sebetulnya, pembangunan sosial diciptakan. Masyarakat
yang rukun, harmonis, dan kompak berawal dari individu yang memposisikan hati,
sebagai penangkap sinyal realitas, berada di jalur-jalur kebaikan. Hati yang
memandang tetangga, rekan kerja, teman sekelas, dengan perhatian, hati yang
menilai orang lain dengan kepedulian, hati yang menafsirkan segala kenyataan
dengan penuh kebijaksanaan. Sehingga tindakan yang dimunculkan adalah tindakan
keteladanan dan keluhuran. Pada akhirnya, sebuah bangsa akan saling mendukung
keberhasilan antarsesama, menuju
cita-cita baldhathun thayyiba wa rabbun
ghafur, negeri yang dilimpahi karunia dan ampunan Allah SWT.