Tak hanya fungsi ibadat yang dimiliki, para pengunjung juga datang
ke Masjid Agung Banten untuk berwisata dan berziarah. Jumlah pengunjung biasa
memuncak ketika menyambut Ramadan datang.
Sejak
Sultan Maulana Hasanuddin mendirikan Kesultanan Banten, ia mulai menyebarkan
agama Islam di barat Pulau Jawa. Masjid Agung Banten merupakan salah satu bukti
peninggalannya, menjadi salah satu masjid yang cukup tua di nusantara. Menurut
Takrim Masjid Agung Banten Edi Suaedi, masjid ini berdiri sejak 1556 di Kota
Serang, Banten.
Arsitektur
masjid yang tepatnya terletak di Barat Laut Kota Serang ini dirancang oleh
Lucas Cardeel dari Mongolia dan Tjek Ban Tjut dari Cina. Mereka kemudian
diabadikan sebagai Pangeran Wiraguna dan Pangeran Wiradiguna sebagai nama
Islamnya. Selain bangunan masjid, menara dan Gedung Tiyamah sebagai bangunan
untuk melaksanakan pertemuan-pertemuan, juga dirancang oleh arsitek yang sama.
Menara
masjid menjulang tinggi seperti mercusuar, hal ini menjadi lambang Masjid Agung
Banten. Sebelumnya, pengunjung dapat memasuki menara dan naik hingga puncak
untuk melihat pemandangan jauh dari atas. Namun sayang, akses untuk mencapai
puncak menara ditutup sejak pascarenovasi, sekitar Januari 2019. Berdiri sejak
1559, menara yang sebelumnya digunakan untuk mengumandangkan azan tersebut
sudah terlalu tua untuk dinaiki. “Untuk ketertiban pengunjung juga,” ujar Edi
Suaedi, Minggu (8/5).
Masjid
Agung Banten menjadi salah satu tujuan wisata religi khususnya bagi masyarakat
Banten. Sejak pertengahan tahun 2018, kondisi Masjid Agung Banten telah banyak mengalami
renovasi. Terdapat beberapa payung raksasa seperti di Masjid Nabawi, Madinah
yang melindungi pengunjung dari teriknya matahari. Lapangan tanah yang
mengelilingi masjid pun dipugar dengan pemasangan keramik agar pengunjung lebih
nyaman.
Tak
hanya sebagai tempat ibadah dan wisata, pengunjung juga kerap kali datang untuk
berziarah. Ziarah pertama diawali dengan kunjungan makam pendiri Kesultanan
Banten, Maulana Hasanuddin. Setelah itu, ziarah kedua dilanjutkan ke makam
Sultan Banten ke-13, Abul Mafakhir Muhammad Aliyuddin. Maqbaroh tak
pernah sepi oleh peziarah, yang mana biasanya akan lebih ramai lagi pada Minggu
dan malam Jumat. Kondisi tersebut membuat para pengunjung sampai mengantre
untuk masuk ke maqbaroh.
Seperti
halnya yang dilakukan oleh Maslan, salah seorang pengunjung dari Kramatwatu,
Serang. Setiap malam Jumat, Ia rutin melakukan ziarah berjemaah. Selain itu,
Maslan juga biasa mengunjungi Masjid Agung Banten bersama keluarganya untuk
berwisata. “Hanya satu jam dari rumah menggunakan motor,” katanya, Minggu
(8/5).
Untuk
sampai ke Masjid Agung Banten, pengunjung dapat memilih kereta sebagai
alternatif transportasi. Perjalanan kurang lebih ditempuh selama empat jam dari
Stasiun Tanah Abang. Pengunjung menaiki Kereta Rel Listrik Komuter tujuan
Rangkasbitung, kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan Kereta Api Lokal
dengan relasi perjalanan Rangkasbitung—Merak.
Setelah
melewati enam stasiun dari Rangkasbitung, pengunjung turun di Stasiun
Karangantu. Pengunjung akan disambut dengan gapura besar bertuliskan “Masjid
Agung Banten” setelah berjalan sejauh satu kilometer dari stasiun akhir. Menara
masjid juga terlihat menjulang tinggi dihiasi dengan payung-payung raksasa di
sekitarnya. Dengan menenteng alas kaki masing-masing dari pintu masuk,
pengunjung dapat memulai wisata religi mereka.
Muhammad Silvansyah S. M