Sore itu, seperti biasanya aku kembali dari kampus. Akhir-akhir ini hujan terus mengguyur setiap sore. Aku yang pada dasarnya memang tidak menyukai jas hujan dan payung lebih memilih berhenti dan menepi. Di setiap waktu inilah pikiranku mulai menggerayang, aku mencoba melepas otakku untuk berpikir, berpikir tentang hal yang paling kritis untuk aku lamunankan. Sudah beberapa semester ku tempuh, aku ditantang oleh keadaan untuk hidup mandiri, dan karena kemandirian pulalah aku menjadi pribadi perenung. Aku suka menebak-nebak kejadian apa yang akan datang ditiap detik dan menit hidup ini. Sekejap, renunganku kali ini jatuh pada ketidakperdayaan keluargaku. Kemerdekaan keluargaku dapat dinilai tidak lebih, namun tidak juga kurang dalam artian sejahtera, tapi kuakui, banyak kurangnya. Padahal sudah bertahun-tahun lamanya si jawatan itu berkuasa, dan untuk seorang yang berjiwa muda, berbagai persoalan hidup sudah banyak aku rasakan, salah satu yang terberat adalah saat harus kehilangan sosok Ibu. Ibuku beberapa bulan yang lalu meninggal dunia. Kuingat lagi masa-masa itu, masa-masa saat kulihat Ibu masih kelihatan sehat. Tanpa disertai angin maupun hujan, penyakit itu melekat dengan sembarangnya dan enggan untuk pergi, seolah-olah sudah menjadi bagian dari tubuh Ibuku. Aku ingat betapa hancurnya hati ayahku ketika Ibu meninggal. Mungkin karena kesedihan yang amat mendalamlah yang membuat keadaan Ayahku sekarang tidak jauh berbeda dengan Ibuku dulu. Ayahku terkena komplikasi. Penglihatannya pun sudah tidak jelas, beberapa hari lalu ia menjalani pengobatan, namun bukan dari tangan-tangan dokter di rumah sakit, mungkin bisa dikatakan pengobatan alternatif. Tetapi setelah ku pikir-pikir, pengobatan ayahku ini ajaib sekali, karena ia langsung sembuh pasca pengobatan itu.
Bermula ketika Ayahku pergi tanpa pamit dan izin, ia memaksaku
untuk mengganggu tetangga-tetanggaku di waktu sembahyang maghrib mereka. Masih
kuingat dengan jelas, bukan keberadaan Ayah yang kuterima, malah jawaban bahwa Ayahku
hanya menitipkan au pada mereka. Bukan main paniknya aku, namun sehari
kemudian—tepatnya sore hari—ia kembali. Ia
ceritakan semuanya. Tapi, aku hanya menyerap sebagian karena sebagian lainnya
adalah bagian
yang kurasa kurang penting. Yang membuat
penasaran untukku adalah bagaimana
ia bisa pergi tanpa memberi tahu aku, anaknya. Sekembalinya ia,
kulihat kepalanya yang diperban, ia hanya mengatakan:
"Kepala Ayah di lubangi tanpa infus, lalu di ambil kankernya" Aku
terkejut, Ayahku ternyata menderita kanker, ia mengatakan padaku bahwa ia juga
baru mengetahui itu saat sedang diobati. Tapi kusadari, akhir-akhir ini ia
mengeluhkan sakit kepala luar biasa. Tapi aku tidak
menyadari itu sebagai suatu yang berbahaya. Betapa
malangnya nasib Ayahku.
"Bagaimana Ayah bisa
sampai kesana?" Tanyaku penasaran
"Teman Ayah ingin berobat ke luar kota, ia memohon pada Ayah untuk menemaninya, bahkan
menawarkan agar Ayah diobati. Dalam situasi seperti itu, Ayah tidak berpikiran untuk
meluluskan keinginannya karena Ayah tahu kamu akan khawatir, namun karena ia
memaksa, Ayah mengiyakan" Katanya berusaha menghubungkan setiap
pertanyaanku. Aku hanya membisu, aku merasakan hantaman benda tajam, aku
anak yang
jahat. Beberapa waktu lalu Ayahku sedang
berada di ambang kematian,
sedangkan aku tak tahu apapun.
Kupikirkan ini semua lebih dalam, dan kudapati kenyataan,
aku hanyalah seorang pemuda yang
tinggal di tempat yang bisa dikatakan
tidak layak. Meskipun sudah kukatakan, aku tinggal di tengah-tengah kota,
hidupku setelah perginya Ibu, tidaklah sungguh baik. Rumahku sudah reyot, dengan
dinding-dinding bangunan yang dari luar kelihatan masih kuat namun nyatanya di dalam sana sudah
hancur
tersisa kerangka-kerangka bangunan.
Dahulunya keluargaku paling disegani masyarakat, karena Ayah dikenal sebagai pengumpul sampah yang ada di tengah maupun pinggir jalan, ini membuat orang terbantu. Tapi, dulu, banyak orang
yang bertanya padaku, “apa tidak khawatir?” Aku hanya
tersenyum.
Saat aku kecil, Ayah selalu mengatakan "di zaman
seperti ini semua orang bekerja, dan melakukan semuanya hanya atas dasar itu"
Aku belum sepenuhnya paham. Lalu, ia mengajak ku naik sepeda butut nya, butuh
perjuangan ketika aku harus duduk di kursi belakang, karena tinggiku yang tidak
melampaui ukuran sepeda, aku perlu digendong Ibu untuk duduk di kursi belakang.
Ia kemudian mengajakku bersepeda di jalan raya, sambil menunjuk banyaknya sampah yang
berada ditengah jalan, bahkan saking lamanya dibiarkan, sampah itu sudah
menempel. Baru ku sadari pula, sampah-sampah itu
asalnya dari TPA di pinggir jalan, yang
pagarnya sudah hancur dan tersisa tembok-rembok bongkahan. Aku yang saat itu
belum terlalu paham hanya melihat itu dari kacamata anak kecil. Aku lebih terpesona pada pemandangan lapangan pesawat terbang yang amat luas di pinggir jalan.
Lapangan itu dikelilingi rumput dan beberapa traktor besar untuk membajak sawah, aku bahagia dan bertepuk
tangan saat pesawat di atas kepalaku membuat jalanan gelap, suara baling-balingnya sangat riuh dan berisik, sayangnya aku tidak bisa menerobos masuk, karena dibatasi pagar dengan kawat tinggi, jadi aku hanya bisa menonton di
atas sepeda butut ayah.
Setelah pesawat berlalu, Ayah turun dari sepeda lalu
mengangkatku, kemudian menyuruhku diam dipinggir jalan, aku disuruh untuk memperhatikannya
memungut sampah-sampah tersebut. Ia
terlihat kesulitan saat memungut sampah plastik yang sudah menempel, sambil
memungut ia mengangkat tangannya ke atas, lalu semua orang yang berkendara akan
berhenti. Aku bosan menunggu Ayah, aku membalikan badan melihat
ke arah lapangan, dan betapa indah pemandangan yang disuguhkan. Warna hijau dimana-mana, di kejauhan
terdapat rumah besar bagi pesawat-pesawat itu. Aku terkagum-kagum. Rambutku
berkibar-kibar. Mesipun sejuk, perasaanku tidak enak, suasana pun mulai
berubah, angin mulai terasa sangat kencang, awan kelihatan mulai gelap, seperti
akan malam. Namun aku masih ingat, hari itu masih pukul setengah tiga. Suara kendaraan
makin terdengar memburu, kendaraan-kendaraan itu seolah sedang berbalapan untuk
menentukan siapa yang akan sampai duluan sebelum hujan turun, tapi aku baru
tersadar, Ayahku sudah tidak ada ditengah jalan. Beberapa
orang dipinggir jalan berkerumunan, seseorang
menggendongku lalu membawaku ketempat Ayah. Kulihat
Ayah tidak sadarkan diri dengan darah dimana-mana dan tangan yang memegang
plastik yang menempel tadi.
_______
“Tin... Tin...” Tiba-tiba saja terdengar suara klakson
mobil, kukira itu bagian dari khayalanku, ternyata tempatku duduk adalah kedai
pemilik mobil itu. Dasar laknat, ia mengagetkanku dari lamunan masa kecil, aku terlihat kikuk. Aku berjalan pergi, hujan pun
sudah berhenti. Sambil berjalan, kuingat kembali kisahku tadi, saat Ayah
memberi tahu penyakitnya, aku menangis
tersedu-sedu, Ayah memelukku lalu mengusap rambutku dengan tangan kasar
miliknya, tangan itu yang membuat keluargaku hidup hingga sekarang, tangan itu
pula yang menjadikan aku bisa bersekolah karena pungutan sampah itu. Aku
mencium Ayah lalu memintanya untuk beristirahat. Aku kembali tertengun. Ya,
Ayahku memang seorang pemungut sampah—di akhir pekan. Hari-hari biasanya
ia kerjakan dengan membuat kerajinan dari
sampah-sampah itu, dan itu masih ia lakukan sampai sekarang, meskipun aku sendiri sudah bisa
menghasilkan sedikit uang dari kerja paruh waktuku. Prinsipnya hanya satu : “Mereka
yang bekerja sekedar mencari uang tidak bisa merasakan bagaimana rasanya
mencari uang tanpa meninggalkan kewajibannya mengabdi untuk masyarakat”, Ayahku
memungut sampah bukan untuk mencari penghidupan dari sampah-sampah itu, orang
lain hanya menganggap sampah-sampah itu tidak penting, berbeda dari pandangan
Ayah, yang menganggap itu adalah suatu bahaya bagi pengendara yang melewatinya,
karena bisa saja sampah itu terbang menutupi jalan para pengendara dan membuat
kecelakaan. Ayahku sudah seringkali berbicara dengan pihak TPA, mereka sempat
kaget dengan apa yang dikatakan Ayah, awalnya mereka menunjukan kesediannya
menanggapi pendapat Ayah untuk merenovasi pagar penutup TPA tersebut, namun hingga
sekarang itu hanya omong kosong. Yang kusesali hingga sekarang, Ayahku seringkali celaka untuk sebuah sampah.
Ku hentikan lamunanku
di perjalanan pulang, lalu bergegas untuk pulang. Sesampainya Aku di rumah, semuanya kelihatan sepi, Tapi aku yakin Ayah ada di rumah. Aku
pergi masuk dan melewati kamar Ayah, Ayah sedang tertidur. Kupandangi ia dengan
mata sayu. Wajah berumurnya sudah kelihatan berbeda sejak dua belas tahun yang
lalu. Rambutnya hampir seluruhnya memutih,
garis air mata terlihat jelas, ku ingat saat itu ia
menangis tidak berhenti saat Ibu meninggal. Aku tersenyum, setidaknya ia
tidak
kurus. Meskipun tidak sesehat dulu,
ia tidak kurus kering, hanya saja wajahnya seperti pucat dan sakit. Aku menciumnya lalu berjalan kembali
ke kamar. Pagi harinya, memasuki minggu keempat dibulan Mei, aku berangkat
kuliah berjalan kaki. Aku lakukan ini sudah bertahun-tahun semenjak diterimanya aku
di Univeristas ini. Dulunya aku sadar, seharusnya aku tidak perlu kuliah. Itu
akan membebani Ayahku, tapi aku ingin membuat Ayah bangga. Aku tidak ingin
merepotkan Ayah dikemudian hari karena menjadi pengangguran.
Beberapa waktu yang lalu, kampusku baru saja tertimpa
musibah
besar. Para Mahasiswa banyak yang menjadi korban. Padahal mereka hanyalah rakyat yang memiliki hak
untuk berbicara. Beberapa di antara mereka ada yang mati. Memang, pada saat itu
Negara dalam keadaan yang semrawut, demo dilakukan hampir di seluruh kalangan masyarakat di berbagai daerah. Tempatnya pun tidak pandang bulu. Kampus dan
Mahasiswa yang menjadi tumpuan dan harapan masyarakat tidak bisa hanya diam
mengetahui ini. Dalam demo itu, beberapa teman-temanku
banyak yang mati.
Hari ini Aku dan beberapa teman satu jurusan akan
kerumah orang tua salah satu temanku yang tewas. Kami tidak bisa mengunjunginya pada hari
kematiannya, karena kami sendiri masih syok. Aku dan temanku berboncengan menggunakan
sepeda motor yang mirip seperti kepunyaan Ayah. Sesampainya dirumah almarhum
temanku, kami disambut oleh sang Ayah yang kelihatan masih sedikit terpukul.
“Silahkan masuk anak-anak” Sapanya hangat. Aku dan beberapa teman masuk ke
dalam dan bertemu Ibu temanku. Saat itu Aku kasihan sekali padanya, Wajahnya
pucat dengan mata terlihat merah, terdapat lingkaran hitam di bawah matanya,
saat ia menunduk makin kelihatan lingkaran itu.
Saat
itu, kami semua hanya terdiam,
tak berani bertanya macam-macam. Ia juga hanya duduk termenung, namun sesekali
menyunggingkan senyum. Temanku izin kebelakang, bersamaan dengan itu tiba-tiba saja mulutnya bergetar.
“Syukurlah masih ada
anak-anak yang selamat” Katanya menunduk namun kulihat ia tersenyum saat mengatakan
itu, kami hanya berkata seadanya dan mengucapkan syukur pula. Ia mencoba kembali mengatakan sesuatu, tapi kelihatan
sangat sulit, suara sesegukan membuat perkataannya tidak jelas. Beberapa kali
suaminya mengingatkan untuk tidak terlalu memaksakan. Ayah temanku itu kemudian
membawa beliau masuk ke kamar. Beberapa menit kemudian ia kembali
dan duduk
berkumpul bersama kami. Ia mulai
bercerita pada hari dimana peristiwa berdarah itu terjadi. Sore itu, ia sedang
beristirahat setelah pulang bekerja, sementara istrinya sedang di dapur. Media
massa menyebarkan berita itu bagai angin. “Istri saya sempat pingsan beberapa kali, pikiran
kami tidak bisa tenang, selepas maghrib kami ingin menyusulnya ke kampus, namun
kami mencoba berpikir jernih, aparat menembakan peluru kesegala arah, kami juga
mendapat informasi bahwa sasarannya bukan lagi hanya Mahasiswa melainkan juga
orang luar” ceritanya pelan. Aku dan yang lainnya mendengarkannya
dengan seksama.
Ayah temanku bercerita panjang lebar, beberapa kali ia
menyeruput kopinya dan mempersilahkan kami
untuk meminum dan memakan suguhan. Ia kembali bercerita, pada hari itu,
Istrinya mengatakan bahwa malam sebelum peristiwa itu terjadi, anaknya sempat
mengatakan hal yang tidak dimengerti. Kami dibuat penasaran. Salah satu temanku
yang baru saja kembali dari toilet ikut penasaran lalu bertanya “Apa itu sebuah
firasat?” Kami memandangnya dengan melotot. Ayah temanku hanya tersenyum.
“Malam itu, anak saya meminta untuk ditemani Ibunya mencuci mobil, Anak saya
termasuk manja pada istri saya, istri saya tidak melihatnya sebagai suatu
firasat. Mereka berdua bersenda-gurau, saat itu saya sedang menonton televisi
di ruang tengah. Samar-samar saya dengar tawaan mereka berdua. Ternyata setelah
saya tanyakan hal itu pada istri saya pagi harinya, anak saya bercerita bahwa besok ia akan
memberikan kado minyak wangi untuk teman wanitanya. Istri saya kaget luar biasa
lalu menggoda anak saya. Namun perbincangan setelahnya sunyi, karena anak saya
tiba-tiba mengatakan bahwa ia sedang dilanda rasa takut. Istriku memecah keheningan
lalu kembali menggodanya, saat itu ia
mengira bahwa anak saya takut untuk menyatakan perasaan” Pada kalimat terakhir,
Ayah temanku mengeluarkan air mata. Karena terlalu fokus pada cerita Ayah
temanku, kita tidak menyadari bahwa Ibu temanku itu keluar
dari kamar, lalu duduk ditengah-tengah kami. Ia terlihat sudah sedikit membaik
daripada tadi, aku rasa ia mendengar semua perbincangan kami. Untuk menghibur,
teman saya yang lainnya mencoba menghibur ”Bu, Elang suka bilang ke saya, walaupun dia sudah makan siang
di kampus, ia akan tetap makan masakan Bunda Teti di rumah” kata temanku
tersenyum. Beberapa temanku yang lainnya mulai ikut membuka mulut menceritakan
kebaikan temanku itu.
Aku sendiri merasakan firasat yang tidak enak sebelum
peristiwa itu datang. Hari itu, aku bersama Elang, berniat mengumpulkan tugas setelah sekian lama kami
mengerjakannya semalaman. Setelah kami mengumpulkan tugas,
ia mengajakku untuk melihat sebuah
proyek di samping kampus. Wajarlah, kami jurusan Arsitektur.
Sesampainya di sana, kejadian janggal mulai terjadi. Tiba-tiba saja
seorang pekerja proyek memberikanku sebuah pensil,
ia bilang, pensil itu adalah kenangan terakhir bagi Elang, saat itu Elang tidak
sadar. Aku tidak dapat mencerna
apa yang pekerja itu katakan, aku berusaha tidak
memikirkannya. Lalu, saat kami berdua akan kembali ke
kampus untuk mengikuti demonstrasi, seorang wanita datang pada kami sambil
menangis, ia menangis sambil menatap Elang. Kami
mengabaikannya, dan menganggapnya sebagai orang sakit jiwa. Sesampainya di
kampus, tepatnya
di parkiran kampus, kami di kejutkan
kembali oleh munculnya seorang wanita berbeda, ia menangis sambil menunjuk
temanku itu, kulihat wajah Elang kala itu,
ia mulai kelihatan panik, aku mencoba menenangkannya.
Hari semakin sore, aksi
Mahasiswa akan dilanjutkan dengan long
march menuju
Gedung DPR. Beberapa
Mahasiswi terlihat sedang membagikan bunga kepada aparat sebagai tanda aksi
damai. Namun,
aksi ini malah mendapatkan kecaman dari aparat. Pihak aparat memerintahkan
Mahasiswa kembali ke kampus, awalnya mahasiswa setuju untuk kembali. Ada kejanggalan dimana pihak aparat tiba-tiba saja
seperti berubah pikiran. Suara tembakan dilangit mengangetkan seluruh
mahasiswa. Sebelumnya, terdapat seorang mahasiswa yang tidak dikenal menyerang
kumpulan Mahasiswa yang berorasi dengan kata-kata yang membuat naik pitam. Beberapa Mahasiswa yang terpancing emosinya mulai
mengejar Mahasiswa itu, tidak diduga-duga, Mahasiswa
itu
malah berlari dan menyembunyikan
diri dibalik aparat. Aku dan teman-teman lainnya
hampir saja dibuat naik darah, namun bisa dihentikan oleh pihak panitia acara
orasi. Mereka kembali berjalan menuju
kampus, tapi,
tiba-tiba saja terdengar suara peluru
meluncur di atas langit. Aku, Elang, juga Mahasiswa lainnya
kaget dan berusaha melarikan diri. Melihat situasi
yang semakin tidak terkendali, Aku berpesan pada Elang untuk bertemu kembali di depan kantor pos satpam
kampus. Sementara
itu, aparat semakin gencar
menembakan peluru ke segala arah. Setelah semua yang terjadi, aku menyebut hari itu sebagai hari berdarah, aku berpikir, apakah
aku bisa selamat? Aku merasakan semua orang pada saat itu ketakutan, dan tidak pernah mengira bahwa aparat akan
sekejam itu.
Aku berusaha meloloskan diri dengan melompat pagar yang
membatasi kampusku dengan kampus sebelah, belum sampai di dalam kampus, aku merasakan panas pada bagian perut, setelah kusadari, aku
terkena peluru karet, namun aku sangat
bersyukur karena peluru tersebut tidak sepenuhnya mengenai bagian perut. Peluru
tersebut meleset mengenai kancing celana, hanya saja
kurasakan perutku perih, mungkin ini efek dari peluru tersebut. Seketika aku teringat pada El dan teman-temanku yang lainnya. Aku memandangi
sekelilingku, aku tak bisa menahan perasaan duka, marah, dan emosi dari darah, luka, pecahan kaca yang tercecer, juga penghinaan
dan kebrutalan pada saat itu. Setelah ku rasa cukup aman, aku mencoba berlari menuju tempat di mana aku berjanji bertemu dengan Elang. Tapi ia tidak ku temukan. Beberapa menit kemudian, aku dapat info bahwa Elang
tertembak peluru tepat pada jantungnya, peluru itu menembus hingga memecahkan
kado untuk teman wanitanya. Saat itu aku jatuh ambruk, lalu berusaha menemui Elang.
Aku kembali
memfokuskan pada situasi sekarang, Ayah dan Ibu Elang menangis di depan kami,
mereka sangat kecewa dengan pemerintah. Mereka dijanjikan harapan mengenai
pengusutan kasus ini, kematian Elang dihargai dengan sebuah plakat bertuliskan
pahlawan reformasi. Namun, keduanya berkata pada kami: “Bukan penghargaan yang
kami inginkan! Kami menginginkan penjelasan yang konkret terhadap penyebab
kasus ini, siapa dan apa yang menyebabkan anak-anak kami harus mati di tangan
aparat yang sudah seharusnya berusaha mencoba membuat masyarakat aman dan
sejahtera” Kami hanya memandang keduanya dengan amarah di hati kami, kami juga
merasakan ketidakadilan atas apa yang kami dapatkan.
Beberapa bulan kemudian, Ayahku meninggal. Aku tidak
kuasa memberi pengobatan mahal, dokter-dokter di luar sana terlebih dahulu
mempertimbangkan seberapa banyak uang yang kumiliki. Namun di sisi lain aku
tidak bisa mencegah semua takdir yang sudah Tuhan kuasakan. Tapi, kadangkala
aku masih seringkali menyalahkan negara ini. Ayahku juga seorang pejuang.
Pejuang masyarakat, mengenai kejadian yang terjadi di kampus, itu merupakan
ingatan yang tidak akan pernah kami lupakan. Masih kuingat pula, beberapa hari
setelah kedatangan kami ke rumah temanku itu, Aku ditunjuk untuk ikut sebagai
saksi dalam pengusutan aparat yang menembak teman-teman kami. Aku, beberapa
teman, polisi, pihak kampus, juga beberapa orang yang berkepentingan juga
diikutsertakan dalam penelitian ini. Yang akan diteliti adalah peluru yang
menembus korban dari jurusan lain, peluru itu tidak sampai keluar, melainkan
bersemayam di dalam tubuhnya. Masih dalam ingatanku pula, kami harus membongkar
makamnya. Akan tetapi, polisi terlebih dahulu meminta izin keluarga untuk
mengotopsi jenazah dengan maksud mengambil barang bukti berupa peluru yang
nantinya dapat dijadikan sampel pembanding, untuk mengetahui jenis peluru dan
senjata apa yang digunakan si pelaku. Namun dalam proses penelitian ini, terdapat
banyak kejanggalan. Saat polisi dari pihak kami berniat meminjam senjata pada
aparat—yang pada saat itu dicurigai
pemilik satu-satunya senjata bagi peluru itu—mereka mengatakan keberatan atas
permintaan kami, namun beberapa hari kemudian, mereka berubah pikiran.
Akhirnya tanpa berpikir lama-lama, pihak kami mengadakan
uji coba, namun kembali terjadi kejanggalan. Seperti yang sudah kita ketahui,
setiap aparat memiliki senjatanya masing-masing, namun aparat-aparat itu kembali
mempersulit kami dengan menggunakan senjata itu secara bergantian ketika hendak
diadakan uji coba. Perlu disadari, bagaimana pun cara kami mengungkapkan
peristiwa berdarah ini, ada sosok-sosok yang mencoba menghalanginya. Makin
jelas persoalannya, Aku semakin menyesali kepergian mereka, tapi aku yakin
mereka pasti tidak mati sia-sia. Dalam hatiku terenyuh, Pemerintah macam apa
yang membuat masyarakatnya merasa tidak aman dan sejahtera, pada suatu saat
nanti aku atau yang lainnya berjanji dapat mengungkap kasus ini untukmu,
mencari tahu si pengecut yang mengambil hidup para pejuang negara.
*Judul ini saya kutip dari salah satu lirik puisi seorang
Mahasiswa Trisakti yaitu Pramudya Wardhana dengan judul “Aku Peduli” sebagai
wujud bela sungkawanya pada korban Tragedi Trisakti, 1998.
*Penulis merupakan mahasiswi Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia.