Kampus
seharusnya menjadi representasi penerapan nilai demokrasi yang ideal.
Nilai-nilai demokrasi, seperti halnya mengedepankan musyawarah dalam
penyelesaian masalah menjadi pondasi utama kehidupan kampus. Dalam artian,
untuk memecahkan suatu persoalan tidak hanya dari satu pihak, melainkan
melibatkan semua komponen yang bersangkutan.
Namun
fakta di lapangan jauh berbeda, hal ini tercermin dalam penyelesaian masalah
yang menimpa Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dengan pihak rektor di Universitas
Sumatera Utara (USU). Tanpa adanya mediasi kedua belah pihak, Rektor USU Rutung
Sitepu memutuskan perkara sepihak.
Bermula
dari Cerita Pendek (cerpen) berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiranku” yang
diunggah di laman suarausu.com pada 12 Maret 2019. Kemudian pada 18
Maret 2019 diunggah pula di Sosial Media (Sosmed) Instagram, tak lama hal ini
sontak menyita perhatian publik, terutama Rektor USU. Rektor USU menganggap
cerpen tersebut mengandung unsur Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
Selepas
itu, pada 19 Maret 2019 Pengurus Suara USU dipanggil pihak Rektorat dan
dimintai klarifikasi terkait muatan konten cerpen. Secara sepihak, rektor meminta
agar cerpen tersebut ditarik dari laman Web Suara USU. Akan tetapi pihak Suara
USU enggan mencabut cerpen yang sudah diterbitkannya, karena mereka menganggap tidak
ada yang salah dengan cerpen tersebut.
Atas
penolakan pencabutan cerpen tersebut, pihak rektor mengancam akan mencabut
status Keanggotaan Suara USU. Namun pihak Suara USU tetap kekeh dengan
keputusan awalnya, untuk mempertahankan cerpen yang telah dimuat.
Terkait
persoalan yang menimpa LPM Suara USU, Pimpinan Umum (PU) Yael Stefany Sinaga memberikan
keterangan kepada LPM Institut via Sosmed Whatssapp, Kamis (11/4). Ia meminta jika
ada yang salah dari terbitan Suara USU, pihak rektor seharusnya mengadakan
dialog dan mengundang pakar yang kompeten untuk menilai. Tetapi pihak
rektor tidak menaggapi hal tersebut. “Bahkan pada tanggal 26 Maret 2019 kami pernah
mengadakan diskusi, tapi pihak rektorat berusaha membubarkan,” tegasnya.
Kementerian
Riset dan Teknologi (Kemenristekdikti) bagian Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa)
Neni Herlina turut menanggapi perkara yang menimpa LPM Suara USU. Ia menjelaskan
bahwa masing-masing perguruan tinggi memiliki wewenangnya sendiri sehingga
pihak Kemenristekdikti tidak bisa menyalahkan secara langsung pihak Rektorat
USU. “USU adalah Perguruan Tinggi Berbadan Hukum, mereka punya wewenang
sendiri,” Ungkap Neni saat ditemui di Kantor Kemenristekdikti, Senin (15/4).
Akan
tetapi Jejen juga menyayangkan, terkadang sebuah instansi mempunyai kelemahan
dalam managemen pengelolaannya. Jadi sebuah lembaga harus mempunyai standar
prosedur operasionalnya. “Kampus kan lembaga terdidik, harus memberikan contoh
yang baik kepada masyarakat dengan nuansa akademis,” tegas Neni.
Pakar
Pendidikan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta Jejen
Musfah pun angkat bicara mengenai kasus yang menimpa LPM Suara USU. Ia menyarankan
agar pihak Rektor USU meninjau ulang terkait polemik cerpen yang dimuat LPM
Suara USU. Lebih jauh, ia menganjurkan adanya dialog terlebih dahulu antara
pihak rektorat dan LPM Suara USU.
Namun,
Jejen juga menyayangkan sikap LPM Suara USU yang tidak mengindahkan teguran
dari pihak rektor. Ia berdalih, Suara USU merupakan bagian dari universitas. “Kecuali
kalau kita independen, tidak bergantung dengan pihak universitas,” ujarnya, Jumat (11/4).
Lain
halnya dengan Belmawa dan Pakar Pendidikan, hal serupa juga diungkapkan Ketua
Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Indepen (AJI) Sasmito Madrin. AJI sendiri menilai cerpen itu sebagai sebuah kebebasan berekspresi
dari
mahasiswa dalam menulis dan menyampaikan gagasannya. Sasmito menyarankan agar LPM
Suara USU dan pihak rektorat bisa lebih berkolaborasi. “Dosen yang diberi tanggung jawab sebagai pembina lebih
berperan aktif dalam dialog-dialog ini,” jelasnya,
Senin (8/4).
HERLIN AGUSTINI & SEFI RAFIANI