Kericuhan serta perlawanan terjadi antara
pihak kepolisian dan aktivis. Sehingga para aktivis saling menjaga serta
melindungi diri dalam perubahan mekanisme era reformasi 1998.
Kondisi
sosial politik di Indonesia sangat mencemaskan dalam masa pemerintahan era
Soeharto pada tahun 1997. Banyak Terjadi krisis moneter, barang-barang sembako
yang sulit didapat, biaya hidup yang mahal, dan terbungkamnya demokrasi.
Masyarakat mulai mengalami kejumudan terhadap pemerintahan yang telah berkuasa
selama 32 tahun.
Sehingga
muncul Mahasiswa sebagai agen perubahan. Mahasiswa mulai melakukan serangkaian
aksi solidaritas. Aksi tersebut bertujuan terhadap isu lokal yang tak lain penghilangan dan pembunuhan
aktivis. Tak hanya itu, kini isu lokal berubah menjadi isu nasional. Alhasil,
timbul Puncak aksi yang dilakukan dalam skala nasional oleh mahasiswa dari
seluruh Indonesia adalah dengan menduduki gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
di Senayan saat reformasi 1998.
Dalam
hal ini bukan hanya mahasiswa yang mengikuti serangkaian aksi. Mahasiswi pun
turut serta ke jalan-jalan dan gedung DPR. Bersama-sama tanpa memandang jenis
kelamin dan bias secara gender, mahasiswa dan mahasiswi bertekad untuk menjadi
agen perubahan dalam sejarah Indonesia. Institut berhasil mewawancarai Dosen
sekaligus Sekretaris Program Studi (Prodi) Ilmu Politik Suryani yang juga salah
satu aktivis mahasiswi. Ia ikut andil dalam reformasi tahun 1998.
Apa
latar belakang dan kesan yang teringat saat menjadi aktivis?
Pada
saat saya diajak menjadi aktivis oleh bang Ray Rangkuti dalam mengikuti
pelatihan secara intens di organisasi luar kampus yaitu Pusat Informasi dan
Jaringan Aksi untuk Reformasi (PIJAR) Indonesia. Beberapa mahasiswa dari
berbagai kampus melakukan advokasi. Selain
itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang menjadi rumah bersama
kelompok aktivis kampus dari berbagai organisasi, sehingga muncullah sebuah
konsolidasi. Tak hanya itu, serangkaian aksi 1998, yang berawal dari
aksi-aksi kecil seperti aksi solidaritas
dikarenakan kejadian yang dianggap perlu diangkat secara lebih nasional
walaupun kasusnya adalah kasus lokal. Aksi dilakukan di UI (Salemba), sepanjang
jalan Diponegoro, DPR, Kejaksaan, KPU dengan cara Long March (jalan) tidak
dimobilisasi.
Apa melatarbelakangi
mengikuti aksi 1998?
Saya
harus menjadi bagian perubahan itu, meskipun saya tidak dipandang sebagai
sesuatu yang memiliki peran besar, namun, memotivasi diri saya dan berkeinginan
memiliki sejarah yang bisa dikenang diri sendiri, saya dapat bangga pada diri
sendiri dan saya adalah bagian dari perubahan itu. Saat
itu, saya tidak memikirkan hasil yang penting dalam melakukan yang benar. masyarakat
sudah tahu bahwa orde baru telah melakukan
kejahatan yang masif selama bertahun-tahun. Lalu orang tua saya mendukung untuk
mengikuti aksi perubahan itu, hingga saya merasa nyaman.
Setelah
mengikuti aksi 1998, apakah pengaruh reformasi langsung dirasakan?
Ketika
Soeharto turun dari singgasana kekuasaan. Sistem secara perlahan berubah,
kesadaran politik masyarakat bermunculan. Salah satu indikatornya, kami para
mahasiwa menduduki DPR. Kami tidak satu detik pun kekurangan makan. Masyarakat
memberi sumbangan yang berlimpah. Hal ini mengindikasi masyarakat menyambut
baik akan ada perubahan, mereka menghendaki perihal itu. Akan
tetapi, mereka tidak punya kekuatan cukup untuk menjadi pressure group.
Karenanya berharap pada kekuatan mahasiswa dan beberapa elit politik nasional
yang lain. Kebebasan berorganisasi pun lebih terbuka dengan muncul banyaknya partai-partai
politik. Hal ini pun dipersiapkan guna menyambut pemilu di tahun 1999.
Di
saat aktivis perempuan melakukan aksi 1998, bagaimana kondisi di lapangan?
Disitu
banyak terjadi kericuhan, serta perlawanan antara pihak kepolisian dan pihak
aktivis. Banyak teman teman saya dipukul, ditarik-tarik. Tapi, kita menyelamatkan
diri dari kericuhan tersebut. Hingga kita membangun koordinasi bersama-sama.
Hal itu yang didapat saat mempelajari pelatihan aksi di PIJAR.
Tepatnya
di depan Rumah Sakit Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Di sana ada pos, saya pun naik dan berorasi. Saya mendapat teguran bukan hanya
dari pihak kepolisian tapi juga dari pihak kampus, yaitu oleh dekan dan dosen
pembimbing akademik saya. That’s a life, itu tidak menggugurkan tekad
saya yang telah kita bangun bersama teman teman untuk bisa menjadi bagian dari
agen perubahan.
Bagaimana
tanggapan ibu terhadap reformasi 1998 dan peran mahasiswi saat itu?
Peran
mahasiswi sangat besar. Bahkan banyak dari teman-teman perempuan lebih berani
dibandingkan dengan laki-laki. Hingga saat itu, memang tidak membangun sekat
antara laki-laki dan perempuan, jadi kita tidak peduli saat itu. Ini menjadi
sesuatu yang bukan karena kita laki-laki atau perempuan untuk menjadi berani
tetapi karena kita memiliki tekad untuk menjadi bagian dari agen perubahan itu.
Bagaimana
tanggapan ibu terhadap mahasiswa dan mahasiswi
yang ada saat ini?
Sangat
memprihatinkan, pertama daya kritis mahasiswa menjadi sangat rendah. Terpengaruh
oleh sistem kampus secara sistemik, sistem pembelajaran dan kenyamanan suasana kondisi
sosial politik yang sudah dirasakan sekarang. Semua saat ini mudah, mahasiswa
atau mahasiswi saat ini dimanjakan dengan fasilitas yang ada.
Dulu
kita tidak punya tuntutan yang sifatnya materiel dan berlebihan sehingga kita
punya banyak waktu untuk bisa menggeluti hal-hal yang sifatnya non materiel. Tidak
punya target apa-apa. Selain itu, kita juga membuat waktu yang lebih produktif.
Semisal saya lebih memilih terlibat di organisasi-organisasi diskusi seperti
Formaci. Lalu bersama bang Ray, bang Ace dan mas Anik membuat Lingkar Studi
Advokasi dan Demokrasi. Kita mampu membuat diri kita terlibat dengan organisasi
di luar. Saya juga aktif di organisasi perempuan.
NVM