![]() |
sumber: Internet |
Oleh
Nurvienna Moeloek*
Saat
ini kesetaraan gender tidak lagi menjadi wacana baru. Paham feminisme hadir sebagai
penggerak dalam pembahasan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Pada
awalnya, kemunculan paham feminisme di Dunia Barat menjadi penyelaras agar
perempuan dan laki-laki mendapatkan hak yang sama.
Pasca
revolusi industri, ditandai dengan munculnya sistem pembagian kerja dan buruh.
Laki-laki di dalam rumah tangga adalah tulang punggung keluarga yang harus
mencari nafkah di luar rumah. Sementara, perempuan menjadi penanggung jawab
kerja domestik di dalam rumah. Perempuan hanya mengurusi persoalan rumah dan
anak, tanpa diberi kesempatan untuk berkarier di ruang publik.
Kehadiran
gerakan feminisme meruntuhkan sekat antara perempuan dan laki-laki. Gerakan ini
menyuarakan, bukan hanya laki-laki yang mampu bekerja di luar rumah pun
demikian dengan perempuan. Sementara revolusi industri hanya menempatkan peran
perempuan pada urusan sumur, kasur dan dapur. Akan tetapi, paham feminisme
berpandangan perempuan juga memiliki hak untuk mendapat pendidikan yang layak
serta pekerjaan yang setara dengan laki-laki. Inilah yang menjadi akar-akar ide
feminisme liberal.
Feminisme
liberal mempunyai ide-ide dasar tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki di
ruang publik. Ide tersebut tidak memandang perempuan dan laki-laki dari jenis
kelamin, tetapi menekankan pada nilai personal. Nilai personal ini secara
individual diperjelas, bahwa kemampuan laki-laki dan perempuan adalah sama dan
setara, sebagai contoh di bidang pendidikan dan pekerjaan. Selain itu, gerakan
ini hadir sejak era revolusi industri dengan isu yang diperjuangkan hak atas
properti setelah menikah dan hak pilih.
Di
Indonesia, perempuan dan laki-laki telah mendapatkan akses pendidikan yang
layak. Tertera di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 48 UU bahwa perempuan berhak untuk
memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai dengan persyaratan yang ditetukan.
Dan faktanya perempuan sudah banyak yang menjamah pendidikan hingga ke
perguruan tinggi. Ini menandakan tidak ada pembeda dan sekat dari sisi biologis
antara perempuan dan laki-laki di ranah pendidikan.
Semangat
untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi bagi perempuan patut diapresiasi.
Tak banyak dari mereka yang berasal dari golongan menengah ke atas. Sehingga,
tak jarang faktor dan kondisi ekonomi membuat mereka harus bekerja untuk
membiayai pendidikan yang ditempuh. Pekerjaan yang dilakukan pun beragam. Mulai
dari mengajar, pramuniaga, pelayan restoran, atau kasir. Pekerjaan-pekerjaan
tersebut juga bukan didorong faktor biologis, dimana secara jenis kelamin hal
itu cocok digeluti oleh perempuan. Faktor upah dan juga lamanya jam bekerja adalah
hal yang dipertimbangkan perempuan untuk menggeluti bidang tersebut.
Dampak
dari mahasiswi yang bekerja ketika menempuh pendidikan di perguruan tinggi menjadi
polemik. Tidak hanya dampak positif, dampak negatif pun akan timbul. Dampak
negatif yang ditimbulkan berupa turunnya minat belajar disebabkan terkurasnya
tenaga dan pikiran. Mahasiswi yang bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup, lebih
lama menghabiskan waktu untuk bekerja dibanding menuntut ilmu. Selain itu,
secara idealisme tugas mahasiswa yang menjadi agent of change dalam
tatanan masyarakat pun terkikis.
Tugas
pemerintah seharusnya menjadi penyelenggara pendidikan dengan baik, tetapi
justru tidak berjalan sebagaimana mestinya. Termasuk tidak menjamin perempuan
untuk bisa menempuh pendidikan dengan baik. Seharusnya, pemerintah memberikan
jaminan bagi para perempuan untuk dapat mengenyam pendidikan sampai ke jenjang
perguruan tinggi sekalipun. Selain kebijakan berupa beasiswa dan kebijakan lain
pun mesti direalisasikan agar perempuan di Indonesia lebih banyak yang maju
lagi di kemudian hari.
*Mahasiswi
Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta